Suami-Isteri Saling Mengasih dan Menghormati
Oleh: Pdt. Ruben Tallo
Pendahuluan
“Seandainya Yesus
Kristus bukan TUHAN..., dan seandainya Alkitab tidak ditulis dan ada seperti
sekarang ini..., maka bagiku tidak ada setitik pun harapan untuk pertahankan
rumah tangga yang terancam perceraian karena kasus yang berat ini.” (Penulis).
Namun, ada kasus ini ...
Deskripsi Kasus
“Kasus perceraian. Sepasang
suami isteri, Max
dan Judy, sudah lama memiliki konflik
antara satu dengan yang
lain. Hubungan mereka semakin
renggang karena Max
sudah lama tidak memiliki pekerjaan, bahkan
menggunakan uang Judy
untuk memulai usaha bersama
adik laki-lakinya,
yang berujung kepada kegagalan. Rumah
mereka, yang banyak dibiayai oleh Judy pun
kemudian dijadikan agunan
hutang oleh Max untuk memperoleh
modal baru bagi usahanya
dengan adiknya. Usaha
ini kemudian kandas. Judy pun sangat
terkejut ketika memperoleh
surat tagihan hutang dari bank.
Tabungan yang disimpan Judy untuk uang
kuliah kedua anak perempuan mereka pun
harus terpakai untuk membayar
hutang agunan. Ketika Judy meminta tanggungjawab
Max, dia hanya mengatakan
bahwa itu kewajiban Judy
untuk mendukungnya sebagai isteri yang baik, dan anak mereka sebaiknya segera dinikahkan saja supaya tidak memerlukan biaya kuliah. Orang tua Max selama ini juga selalu menjelek-jelekkan
Judy karena tidak bisa
memiliki anak laki-laki. Kemarahan Judy
memuncak dan ia
ingin menceraikan
Max, namun dia merasa
kasihan terhadap kedua puterinya. Nasihat apa yang akan anda berikan kepada Judy?”
Analisa Kasus
Penulis memulai
tulisan ini dengan 10 perintah paradoks dari Kent M. Keith yang terkenal itu. Ia
menuliskan perintah-perintah ini pada tahun 1968 yang kemudian dipajangkan di
panti asuhan bunda Teresa di Kalkuta, India. Isi perintahnya sbb:
1.
Manusia sering bersikap tidak logis, tidak masuk akal, dan mementingkan diri
sendiri,
bagaimanapun sayangi mereka.
2. Bila anda melakukan kebaikan, orang akan menuduh anda memiliki motif tersembunyi
2. Bila anda melakukan kebaikan, orang akan menuduh anda memiliki motif tersembunyi
yang mementingkan diri sendiri, bagaimanapun
lakukan kebaikan itu.
3. Jika anda sukses anda akan memiliki sahabat-sahabat palsu dan musuh-musuh yang
3. Jika anda sukses anda akan memiliki sahabat-sahabat palsu dan musuh-musuh yang
sejati, bagaimanapun raihlah kesuksesan
itu.
4. Kebaikan yang kita lakukan hari ini akan dilupakan esok hari, berbanding terbalik jika
4. Kebaikan yang kita lakukan hari ini akan dilupakan esok hari, berbanding terbalik jika
kita melakukan kesalahan, bagaimanapun
lakukan kebaikan itu.
5. Kejujuran membuat anda rentan, bagaimanapun jujur dan terbukalah.
6. Pria dan wanita paling hebat dengan gagasan paling besar dapat dijatuhkan pria dan
5. Kejujuran membuat anda rentan, bagaimanapun jujur dan terbukalah.
6. Pria dan wanita paling hebat dengan gagasan paling besar dapat dijatuhkan pria dan
wanita yang paling kecil dengan pikiran
yang paling kecil, bagaimanapun berpikir
besarlah.
7. Orang bersimpati pada pihak yang lemah, tetapi mengikuti pihak yang kuat,
7. Orang bersimpati pada pihak yang lemah, tetapi mengikuti pihak yang kuat,
bagaimanapun berjuanglah bagi pihak yang
lemah.
8. Apa yang anda bangun selama bertahun tahun dapat hancur dalam semalam,
8. Apa yang anda bangun selama bertahun tahun dapat hancur dalam semalam,
bagaimanapun membangunlah.
9. Sesungguhnya manusia membutuhkan pertolongan tetapi mungkin mereka akan
9. Sesungguhnya manusia membutuhkan pertolongan tetapi mungkin mereka akan
menyerang anda jika anda menolong mereka, bagaimanapun
tolonglah mereka.
10. Lakukan yang terbaik pada dunia dan anda akan kecewa, bagaimanapun lakukan yang
10. Lakukan yang terbaik pada dunia dan anda akan kecewa, bagaimanapun lakukan yang
terbaik pada dunia.
Karena semua itu bukanlah antara engkau dengan mereka,
tetapi antara engkau dengan Allah.(Rowikarim website 2012).
Kasus pak Max dan ibu Judy tersebut di atas, ada kaitan erat
dengan perintah-perintah paradoks Keith ini. Khususnya, sangat menantang sikap
dan keputusan dari ibu Judy sebagai korban, apakah ibu Judy mampu untuk tetap
sayangi keluarganya, tetap lakukan kebaikan, tetap bekerja demi kesuksesan,
tetap jujur dan terbuka, tetap berpikir besar, tetap berjuang bagi yang lemah,
tetap membangun, tetap menolong , dan tetap lakukan yang terbaik untuk rumah
tangganya? Nah, di sini ibu Judy sangat membutuhkan pertolongan lewat pelayanan
pendampingan pastoral.
Menurut penulis pertama-tama perlu kita pahami kembali
tentang siapa manusia itu menurut pemahaman iman kristiani (rohani). Manusia
adalah salah satu ciptaan Allah yang menurut “gambar dan rupaNya” (Kej. 1:26-27). Ungkapan “gambar Allah” ini
menunjukkan hubungan vetikal yang sangat hakiki antara Allah sebagai Pencipta
dan manusia sebagai makhlukNya. Ada hubungan yang intim sebagai Bapa dan anak,
sebagai makhluk yang bisa bertanggung jawab di antara ciptaan lainnya dengan hidup
yang mencerminkan keberadaan Allah terhadap makhluk yang lain. Sedangkan
pengertian hubungan horisontalnya adalah manusia selalu mempunyai hubungan
dengan sesamanya dan dengan alam. Intinya, manusia adalah makhluk yang paling
utama. Kedudukan manusia yang lebih tinggi ini dinyatakan sebagai manifestasi
dari kasih dan anugerah Allah yang mengherankan. (Abineno 1987a, 33-37).
Manusia terdiri dari suatu keutuhan tubuh, jiwa, dan roh
yang suatu saat akan kembali kepada Allah. Tubuh manusia itu terdiri dari debu
dan daging yang Allah hembuskan nafas hidup ke dalamnya. Manusia tidak
diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan supaya mereka hidup sebagai suami
isteri yang juga dianugerahkan kehidupan seksual oleh Allah. Penciptaan Allah
terhadap manusia menjadi sangat baik adanya ketika mereka menjadi sepadan
antara laki-laki dan perempuan. Sepadan artinya menjadi kawan hidup sehingga
keduanya menjadi manusia yang komplit. Ungkapan “Inilah dia, tulang dari
tulangku dan daging dari dagingku” adalah suatu bukti komplitnya mereka sebagai
manusia perempuan (isya) di samping dia sebagai
manusia laki-laki (isy). Pada mulanya Allah
menghendaki perkawinan monogami antara laki-laki dan perempuan, seperti yang
dinyatakan dalam (Kejadian 2:24). Setelah mereka jatuh ke dalam dosa, istri
tidak sederajat lagi dengan suaminya. Relasinya berubah menjadi relasi dalam
ketergantungan sebagai hukuman atas dosa mereka. Hingga pada masa rasul Paulus
baru ada pemulihan lagi bahwa dalam Kristus hal ini tidak berlaku lagi atau
tidak ada perbedaan derajat lagi karena “... tidak ada laki-laki atau perempuan”
(Gal. 3:28). Maksudnya, jemaat yang ditempatkan oleh Tuhan yang ada perbedaan
seksual dalam dunia lama tidak berlaku lagi “karena kamu semua adalah satu di
dalam Kristus.” (Abineno 1987b, 38-44).
Selanjutnya dari segi psikologis penting juga untuk
memahami manusia seutuhnya. Psikologi menekankan keutuhan pribadi manusia sudah
dimulai sejak abad ke-18. Pada tahun 1799, Pierre Cabanis mengembangkan tesis
bahwa penyakit fisik dapat berasal dari penyakit psikis. Gagasan ini mendapat tanggapan
lanjutan ketika psikologi modern tumbuh dan psikiatri dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan medis. Dengan demikian pendapat William James bahwa “jalan
menuju kesehatan pribadi adalah jalan penyatuan unsur-unsur yang ada dalam
pribadi manusia,” mendapat dukungan dan pembenaran. (Crapps 1993a, 32). Ada
juga pendekatan studi tentang kepribadian yakni psikologi
daya kemampuan
yang menurut psikolog William McDougall ada pengaruh dari insting. Insting adalah
“kekuatan yang ada pada manusia yang berakar dalam struktur biologis, yang
memulai dan memungkinkan segala perilaku manusia.” (Crapps 1993b, 34). Dalam
agama dan kepribadian mengandung hal-hal yang sangat menyerupai psikologi daya
kemampuan ini secara populer, nampak
pada istilah-istilah ciri, sikap, faktor, sentimen, dan kecenderungan.
Selanjutnya Gordon W. Allport memiliki pandangan tentang ciri (tarit) sebagai ungkapan yang berguna untuk mengerti kepribadian
manusia karena memiliki kekuatan dan menentukan perilaku manusia. Ciri adalah
“merupakan kekhasan yang tetap dan membedakan pribadi yang satu dengan yang
lain serta memberikan kepada setiap pribadi penampilan yang tetap.” Keutuhan
kepribadian ini merupakan konsep penting juga dalam psikologi agama. Psikologi
agama mencakup seluruh panorama pengalaman yang diyakini dan diakui sebagai
wahana untuk memberi arti dan kesatuan kepada kehidupan. Psikologi agama
mempelajari berbagai tingkat penghayatan agama secara pribadi dalam konteks
manusia seutuhnya. Psikologi agama adalah hakikat beriman. (Crapps 1993c, 35).
Untuk sebuah perkawinan biasanya ditandai oleh suatu
wujud psikologi tentang
hubungan
sebagai identitas pasangan perkawinan yang dirajut bersama sejak bertemu,
berkenalan, bergaul, dan kawin. Namun,
terkadang muncul masalah atau kasus dalam rumah tangga. Karena itu, penyuluhan,
konseling dan terapi untuk sebuah perkawinan harus dipusatkan pada peningkatan
kualitas hubungan perkawinan. Gangguan di dalam hubungan perkawinan ini akan
melanjutkan, memperhebat, dan menghasilkan lapisan-lapisan gangguan psikologi
dalam batin. Sebuah perkawinan yang tidak berbahagia terjadi karena
masing-masing pihak saling merusak kepuasan kebutuhan pasangannya dalam tingkat
yang tinggi. Misalnya, pengrusakan kebutuhan secara hebat sehingga mendatangkan
kebutuhan neurotis yang mempunyai dua ciri yaitu: pertama, kebutuhan normal yang dibesar-besarkan hingga
tidak ada seorangpun bisa memuaskannya; kedua, kebutuhan neurotis yang
bertentangan, yakni kebutuhan yang pada tingkat sadar menginginkan sesuatu hal,
tetapi dalam ketidaksadaran menginginkan sesuatu yang sebaliknya. Hal ini
menimbulkan pertentangan batin, konflik antar pribadi, dan frustrasi yang lama menyebabkan pertengkaran, kurangnya
komunikasi, bertambahnya kebencian, dan kerenggangan emosional antara suami
isteri. Memang untuk memulihkan keadaan seperti ini butuh waktu yang lama
karena perkawinan adalah suatu hubungan manusiawi yang sangat rumit. Di sinilah
tugas seorang konselor untuk menyadari, mengerti, dan bisa mencegah
perselisihan yang menyakitkan perkawinan mereka. (Clinebell 2002a, 335-336).
Faktor lain yang bisa menimbulkan konflik dalam sebuah
perkawinan adalah adanya kelaliman dan kegeraman, suka berkelahi dan menggoda
orang, keadaan sosial-ekonomis, ketegangan individualitas, ketegangan antara
kehidupan nikah dan kehidupan jabatan. Ada faktor-faktor praksis yang menjadi
sumber masalah dalam setiap rumah tangga seperti yang dikatakan oleh Abineno yaitu:
(1) Penundaan pembentukan keluarga. Artinya, suami-istri bersepakat untuk menunda
adanya proses persetubuhan dan penghamilan diputuskan dengan cara menggunakan
alat-alat kontrasepsi dan cara coitus
interruptus
(pemutusan persetubuhan); (2) Ketiadaan anak. Ada golongan suami-istri
bersepakat tidak mau mendapat anak dengan cara pervers yakni melepaskan nafsu
birahi secara abnormal. Ada kelainan psikis dan penyakit bawaan yang dapat
menurun kepada anak-anak mereka. Ada juga yang tidak mempunyai anak karena kemandulan;
(3) Adanya anak yang tertalu banyak pada tahun-tahun awal dari perkawinan. Sebenarnya
mereka butuh waktu lagi untuk penyesuaian dalam banyak hal. Namun, ketika
mereka sudah mempunyai anak yang banyak, akan muncul konflik yang membahayakan
kebahagiaan rumah tangga; (4) Kekuasaan suami. Masih ada kebiasaan seperti ini
dalam rumah tangga Kristen. Si isteri bekerja keras seperti “hamba” dan suami
hidup seperti “tuan” yang memegang kekuasaan. Pasangan suami-istri adalah
persekutuan hidup dari dua orang yang saling melayani di dalam segala hal
sehingga tidak ada yang merasa bekuasa atas pihak yang lain; (5) Perkawinan
tanpa kasih. Misalnya ada sikap untuk tidak mau hidup bersama, tidak menghargai
yang lain, hingga menimbulkan kecemasan
dan kekecewaan yang mendalam. Hal ini sangat besar konsekuensinya dalam hal
hubungan seksual, pada hal hubungan seks
adalah penyataan kasih yang semesra-mesranya atau ungkapan kasih yang
semurni-murninya dari suami-istri secara badani. (6) Perkawinan campur. Artinya
secara konfensional. Misalnya, antara seorang yang berkeyakinan Protestan
dengan yang tidak beragama Protestan, bahkan dengan yang sama sekali non
Kristen. Hal ini sangat berkaitan dengan persekutuan iman manusia yang
dikuduskan oleh hubungan kasih di dalam tubuh Kristus. Persekutuan iman adalah
hal yang esensial dalam perkawinan. Perlu diingat bahwa persekutuan iman adalah
sesuatu yang berpangkal di dalam hati, merangkumi seluruh eksistensi manusia
yakni: hidupnya, pikirannya, perasaannya, tindakannya, dan tidak terpelas dari
sumber hidupnya yaitu TUHAN Allah; (7) Perusak rumah tangga. Artinya, ada
perbuatan yang mengganggu dan merusak rumah tangga orang lain. Hal ini bisa
terjadi berawal dari sebuah persahabatan demi kepentingan pribadi lalu mengarah
kepada perselingkuhan; (8) Pengaruh alkohol (miras); dan (9) Persoalan
penolakan fisik yang terjadi karena faktor-faktor fisik dan psikologis.
Kasus yang dihadapi pak
Max dan ibu Judy ini disebabkan oleh empat persoalan yaitu: ketiadaan anak;
persoalan kekuasaan suami, perkawinan tanpa kasih, dan persoalan perusak rumah
tangga. Untuk persoalan ketiadaan
anak, nampak dari sikap
orang tua Max yang tidak suka dengan ibu Judy karena tidak ada anak laki-laki. Padahal
bisa saja ada faktor tertentu yang menyebabkan hal itu terjadi. Tetapi mereka tidak
mau tahu. Dalam hal kekuasaan
suami nampak
dalam sikap pak Max yang menunjukkan sikap masa bodoh, bahkan masih tega
berpikir bahwa apa yang ibu Judy rasakan dan kerjakan adalah kewajiban ibu Judy
untuk mendukungnya sebagai seorang istri
yang baik. Juga nampak dalam sikapnya yang menyuruh supaya anaknya dinikahkan
saja karena biaya kuliah tidak ada lagi. Lalu dalam hal perkawinan tanpa kasih, sangat dominan dengan lebih
mementingkan atau mengasihi keluarga pak Max (adik laki-lakinya) melalui bisnis
yang ujung-ujungnya gagal, lalu tidak mengasihi isteri dan anak-anaknya. Akhirnya, dalam soal
perusak rumah tangga nampak secara implisit dalam sikap adik laki-lakinya yang tidak mau
tahu tentang kondisi rumah tangga pak Max yang terpuruk dalam hal ekonomis dan harus
membiayai perkuliahan anak-anak mereka. Juga sikap orang tua Max yang tidak suka
dengan ibu Judy.
Pendampingan pastoral
dalam kasus ini perlu penyadaran akan tanggung jawab, penopangan, dan kerelaan
untuk rekonsiliasi antara pak Max dan ibu Judy demi keselamatan rumah tangga
mereka. Pendampingan pastoral menurut Dr. G. Heitink adalah suatu
profesi pertolongan; seorang konselor mengikatkan diri dalam hubungan
pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang Injil dan persekutuan dengan
Gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan
persoalan kehidupan dan iman.(Hommes dan
Singgih 1992a, 405), Definisi ini dimiliki oleh
pendeta dalam terang Injil dan persekutuan dengan Gereja dan dimiliki oleh
konselor yang berpusat pada hubungan antar pribadi dalam pendekatan konseling.
Dalam bidang psikologi, Carl Rogers menekankan empati, kesesuaian, dan
perhatian positif tanpa syarat, menjadi metode pendampingan pastoral dalam arti
konseling pastoral. Sedangkan proses psikologisasi dalam pandangan teologis
nampak pada kata-kata kunci “kasih,
harapan, dan kebebasan” yang sangat penting dalam konseling.(Hommes dan Singgih 1992b, 405-406).
Pendampingan pastoral yang monolog
dapat dijelaskan sebagai konsep diastasis yakni pewartaan sabda Allah dalam situasi
konkret manusia secara pribadi. Isi pewartaannya adalah pengampunan dosa untuk
menjembatani jurang yang sangat lebar dan dalam antara Allah dan manusia. Selanjutnya,
pendampingan pastoral dengan konsep korelasi, artinya adanya korelasi antara pertanyaan
manusia yang dijawab oleh Allah melalui penerimaan terhadap manusia karena
adanya pembenaran melalui rahmat oleh iman. Pendampingan ini bersifat
membebaskan dan memperkaya kehidupan. (Hommes
dan Singgih 1992bc, 406-407).
Pendampingan pastoral yang dilakukan
oleh Yesus adalah penggembalaan melalui khotbah dan tindakan konkret seperti
menyembuhkan. Yesus mendorong orang-orang untuk datang kepadaNya dan menghayati
rahmat dan keadilan Allah bagi mereka sendiri. Dalam percakapan dengan Yesus
orang akan menemukan sendiri bahwa ia membutuhkan keselamatan. Dengan mengikuti
jejak Yesus maka kita terlibat dalam suatu relasi dengan orang lain dan inilah
yang berhubungan dengan konseling dan komunikasi. Dalam pendampingan pastoral
kita memiliki relasi timbal balik dan orang saling terbuka terhadap yang lain dan persekutuan
yang mendalam dapat terjadi. (Hommes dan
Singgih 1992d,
414).
Selanjutnya,
penyadaran tentang arti perkawinan menurut iman kristiani. Pandangan PB tentang
perkawinan dan perceraian sangat erat hubungannya. Hal ini dapat kita ketahui
dari ucapan-uccapan Yesus dalam Injil Sinoptik dan pandangan rasul Paulus dalam
surat-suratnya. Dalam ajaran Yesus
tentang perkawinan ini lebih mantap lagi dengan melukiskan diriNya sebagai
mempelai laki-laki (Mat. 22:1-4; Mat.25:1-13; Mrk.2:19). Sesungguhnya hampir
semua berpusat pada masalah perceraian (Mat 5:31-dst; 19:3-9; Mrk. 10:11-dst;
Luk.16:18), namun, Yesus sama sekali tidak setuju dengan perceraian. Bahkan dalam
Matius 19:6 dan Markus 10:9, Yesus mengutip kisah Penciptaan dalam Kejadian
1:27 untuk mendukung ajaranNya. Dalam ajaranNya Yesus tidak membedakan martabat
laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Ajaran-ajaran yang berkaitan dengan
perceraian ini dalam Markus dan Lukas mencantumkan larangan mutlak untuk
bercerai. Ketika Matius mencatat ulasan tentang Musa yang memberi surat cerai,
itu terjadi karena ketegaran hati orang Yahudi semata, bukan karena Allah
mengizinkan perceraian yang Allah sendiri telah mempersatukan laki-laki dan
perempuan dalam sebuah perkawinan yang kudus. (Guthrie 1999, 309-310).
Deursen juga
mengatakan bahwa Musa memberikan surat cerai yang membuat para sarjana Yahudi
sibuk menggumuli berbagai masalah tentang surat ini adalah untuk mempersukar
perceraian, bukan untuk mensahkannya. Surat cerai ini disebutkan beberapa kali
dalam Alkitab yaitu (Ul.24:1-4; Yer.3:8;
Mat.5:31; 19:7-8; Mrk.10:4-5). (Deursen 1998, 121). Selanjutnya, dalam
ajaran Paulus juga selalu ada solusi untuk tidak boleh ada perceraian. Bagi
Paulus, jika ada rumah tangga yang salah satunya tidak beriman kepada Kristus,
maka yang beriman (isteri atau suami) harus menyelamatkannya (I Kor.7:12-16).
Intinya, sebagai rumah tangga Kristen harus mempertahankan panggilan Allah
untuk hidup dalam damai sejahtera, atau orang-orang Kristen diharapkan untuk
memberi contoh melalui perkawinan yang mantap.(Guthrie 1999, 311).
Pergumulan ibu Judy
ini perlu juga kita tinjau dari peranan-peranan wanita dalam PB sebagai
penguatan menuju rekonsiliasi dengan suaminya. Pada masa itu ada
contoh yang sangat menarik telah diperlihatkan oleh Yesus untuk melawan
tradisi-tradisi Yahudi yang mendiskriminasi kaum perempuan yakni dengan
menghadiri undangan Maria dan Marta untuk datang ke rumah mereka. Ketika Yesus
berada di rumah mereka, Yesus membiarkan Maria untuk bergabung dengan mereka
yang belajar dari Yesus yang sedang mengajarkan tentang hukum Taurat dan tentang
mengasihi sesama manusia. Peranan Maria yang tekun dalam mendengarkan ajaran
Yesus ini merupakan bagian yang terbaik yang tidak akan diambil dari padanya,
apa pun yang dituntut oleh berbagai tradisi zaman itu. Hal ini sudah merupakan
hal yang luar biasa kalau ditinjau dari sikap standar para rabi Yahudi yang
menganggap perempuan lebih rendah martabatnya. Kemudian contoh lain dalam
cerita tentang kebangkitan Yesus sangat memberi peranan penting bagi kaum
perempuan. Pertama, berkaitan dengan kesaksian mereka tentang kebangkitan Yesus
bukan suatu hal yang dibuat-buat, karena dalam tradisi Yudaisme wanita tidak
dapat memberikan kesaksian yang mempunyai kekuatan hukum; kedua, kaum perempuan
diberi kesempatan dalam salah satu peristiwa sangat penting (kebangkitan Yesus)
dalam Injil.(Chilton 2000, 174-176).
Khusus berkaitan
dengan pergumulan pak Max dan ibu Judy dalam rumah tangga mereka yang terancam
perceraian ini, perlu diingatkan pula tentang cinta antara orang tua dan anak
dan objek cinta itu sendiri. Hal ini penulis terinspirasi oleh pandangan Eric
Fromm dalam bukunya The Art of
Loving.
Secara khusus dalam hubungan anak-anak pak Max dan ibu Judy yang sudah dewasa
dengan mereka. Ketika anak sudah menginjak usia dewasa sudah mampu mengatasai
egosentrismenya. Dia mulai menempatkan orang lain lebih penting ketimbang
dirinya sendiri. Tindakan memberi dan mencintai menjadi lebih memuaskan dan
menggembirakan. Juga sudah mulai merasakan adanya suatu kemampuan untuk
menghasilkan cinta yang matang. Prinsip cinta yang matang ini adalah: “Aku
dicintai karena aku mencintai atau aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu.”
Inilah yang disebut pekembangan objek cinta.(Fromm 1956a, 74-75). Hal ini
terjadi karena hubungan dengan ibu yang dari kecil bersifat narsisme dan
egosentrime mulai berkurang karena sudah tergantikan hubungan dengan ayah yang
semakin penting. Untuk hal ini kita perlu memahami perbedaan-perbedaan esensial
dari cinta ibu dan cinta ayah. Kalau cinta ibu adalah berkaitan dengan hal-hal
alamiah seperti kebahagiaan dan kedamaian yang tidak mensyaratkan perjuangan
dan tidak menuntut imbalan, maka cinta
ayah meliputi dunia pikiran, benda-benda, hukum, aturan, disiplin, pejalanan,
serta petualangan sehingga membutuhkan syarat-syarat tertentu. (Fromm 1956b,
76-78).
Peran ayah sangat
berkaitan dengan perkembangan sosio-ekonomis sebuah rumah tangga. Biasanya,
seorang ayah akan memilih siapa yang akan mewarisi harta peninggalannya dengan
menentukan anak-anak yang sukses dan sama karakter dengannya. Prinsip cinta
ayah adalah aku mencintaimu karena engkau memenuhi harapanku, mampu
menyelesaikan tugasmu, dan menyerupai aku. Cinta ayah penuh kesabaran,
toleransi, tidak mengancam, dan tidak otoritarian. Ayah memberi kesempatan
kepada anak untuk mengembangkan kompetensinya. Sisi positif dari cinta ayah
yang bersyarat ini adalah membuat orang mau berusaha karena cinta itu ada dalam
kuasa diri.(Fromm 1956c, 79).
Seorang anak
membutuhkan cinta ibu yang memperhatikannya dan cinta ayah yang mendidik dan
membimbingnya. Pada akhirnya seseorang akan membentuk gambaran-gambaran dalam
dirinya dengan nurani keibuan di atas cintanya dan nurani kebapakan di atas
akal budi dan penilaiannya sendiri. Kedua nurani ini harus dipakai secara
berimbang agar bisa menjadi manusia yang memiliki kelemahlembutan, bersikap
manusiawi, mampu mengembangkan diri, dan mampu
mengambil keputusan sendiri dalam hadapi masalah. Sebaliknya jika tidak
berimbang, maka yang terjadi adalah menjadi orang yang berperilaku keras/kasar,
tidak manusiawi, tidak mampu mengambil keputusan, dan terhambat dalam
pengembangan diri. Kemampuan untuk melewati tahap peralihan dari cinta ibu
kepada cinta ayah ini sangat mendasar untuk kesehatan mental dan pencapaian
kematangan cinta seseorang.
(Fromm 1956d, 81-82).
Interpretasi
Untuk pemecahan
masalah pak Max dan ibu Judy ini, menurut penulis mungkin ada baiknya kita
ingat juga konsep konsientisasi yang dikemukakan oleh Paulo Freire. Meskipun
hal ini berkaitan dengan hal pendidikan, namun ada hal-hal yang perlu
disadarkan juga kepada pak Max berkaitan dengan sikapnya yang masa bodoh. Dalam
konsep ini ada beberapa tahap kesadaran yang dikemukakan oleh Freire yaitu: (1)
kesadaran intransitif. Tahap orang hanya memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup;
(2) kesadaran semi-intransitif atau magis. Orang menerima fakta situasi
sosiologis mereka sebagai “takdir,” yang ditandai dengan rasa rendah diri dan
ketergantungan yang besar dalam budaya bisu. (3) kesadaran naif atau
semi-transitif. Mulai mempermasalahkan situasi konkret mereka walaupun dalam
situasi naif; (4) kesadaran kritis sebagai tingkat tertinggi. Orang mencapainya
melalui konsientisasi yang ditandai dengan kedalaman menafsir masalah, mulai
percaya diri, peka, tidak lari dari tanggung jawab, dan dapat menilai pandangan
sendiri. (Hommes dan Singgih 1992a, 245-246).
Dr. Leimena juga gigih
berjuang dan menganjurkan setiap orang Kristen agar mewujudkan hidupnya sebagai
warga negara yang bertanggung jawab. Leimena terkenal dengan ciri masyarakat
yang sosialistis-religius dengan ciri-ciri pokoknya: tidak membenarkan adanya
kemelaratan, keterbelakangan, perpecahan, pemerasan, kapitalisme, sosialisme,
diktator, kolonialisme, dan imperialisme. Berkaitan dengan pernyataan Freire
dan Leimena ini, maka sangat relevan dengan kondisi pak Max dalam kasus yang
dihadapi rumah tangganya ini. Kita terinspirasi dengan konsep konsientisasi
ini, khususnya tentang kesadaran kritis dalam hal kemampuan untuk bertanggung
jawab, non diktator, dan kolonialisme. Hal yang menarik juga dikatakan oleh
Reksosusilo CM mengenai hati nurani (conscientia). Ia mengatakan bahwa setiap pribadi dalam suatu masyarakat berbeda dalam memahami hati
nuraninya. Keuntungan untuk menekankan hal hati nurani ini adalah menunjukkan
hak dan kewajiban yang lebih jelas dan tegas, mutu kerja dan kreatifitas akan
meningkat, dan hukum akan lebih mudah ditegakkan. Dalam hal pastoral,
konsientisasi akan menolong kita dalam keterlibatan dalam masyarakat,
pendalaman iman, dan solidaritas kelompok. Jadi, benar apa yang dikatakan oleh
C.Groenen bahwa pemecahan masalah konkret terletak di tangan manusia yang
otonom dan teonom baik secara pribadi atau bersama masyarakat untuk mencari
jalan keluarnya yang di pimpin oleh Roh Kudus. (Hommes dan Singgih 1992b,
249-257).
Selanjutnya, apa yang bisa kita lakukan untuk ibu Judy? Pertama-tama.,
dalam hal ini fokusnya pada fungsi-fungsi dasar Pastoral itu sendiri menurut
pendapat William A. Clebsch dan
Charles R. Jaekle, bahwa fungsi pelayanan pastoral ada empat yaitu:
menyembuhkan (healing), menopang/membantu (sustaining),
membimbing/menuntun (guiding), dan mendamaikan (reconciling).
Kemudian Howard Clinebell menambahkan fungsi yang kelima, yaitu
memelihara (nurturing) untuk mendekatkan pemahaman
mengenai kaitan yang erat antara pendidikan dan konseling.(Abineno 1999,
48-66). Fungsi
menopang dan mendamaikan sangat mendesak karena ia dalam keadaan kritis. Proses
penopangan ini kita bisa sadarkan kembali ibu Judy tentang prinsip-prinsip
absolut dan rahasia kehidupan rumah tangga Kristen. Penulis setuju dengan
pandangan pendeta Eddy Fances bahwa TUHAN telah memberikan prinsip-prinsip
absolut melalui penyataanNya dalam Alkitab tentang rahasia kehidupan rumah
tangga yang harmonis dan bahagia. Prinsip-prinsip itu adalah: (Fances 2009,
113).
1. Pernikahan harus bersifat
monogami dan berlawanan jenis kelamin (Kej.2:18-25).
2. Keduanya haruslah orang
yang beriman kepada Yesus Kristus (II Kor.6:14-18).
3. Keduanya bertekad
mengikat perjanjian seumur hidup di hadapan Tuhan
(Mat.19:4-9).
4. Keduanya memelihara
kekudusan dan kesetiaan apa pun yang terjadi (Ibr.13:4).
5. Suami harus mengasihi
isteri, dan isteri menghormati suami seperti kepada
Kristus. Artinya menjadikan Kristus
sebagai kepala keluarga yang sebenarnya
(Ef.5:22-33).
6. Keduanya bertekad
mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran Tuhan (Ul.6:5-9;
Ef.6:4).
7. Semua persoalan
diselesaikan berdasarkan kebenaran firman Tuhan (II Tim.3:16-17).
A k s i
Menurut penulis, ada tiga tindakan yang
harus dinyatakan oleh pak Max dan ibu Judy yaitu: komunikasi sebagai kunci yang
kreatif untuk kembali saling mendekatkan diri; wujud spiritualitas kristiani
masing-masing; dan tindakan konseling krisis oleh pendeta atau konselor. Komunikasi adalah cara yang
dipakai supaya hubungan terjadi. Ini yang menentukan kualitas bagaimana suatu
hubungan dibangun dan apakah itu berlanjut atau berakhir. Komunikasi yang baik
adalah kemampuan untuk meneruskan dan menerima arti-arti; ini alat untuk
menerima saling pengertian terhadap hati yang berhubungan dengan keintiman
perkawinan. Satu cara untuk menghitung kedalaman dari suatu hubungan adalah
oleh pengurutan level-level di mana komunikasi itu bisa terjadi. Kemampuan
untuk komunikasi dalam cara-cara yang saling menguatkan adalah keahlian dasar
yang esensial untuk menumbuhkan keintiman yang berkaitan dengan perkawinan.
(Clinebell Jr. dan Clinebell 1967a, 87-89).
Upaya memperkuat
komunikasi ini adalah bagian dari kebahagiaan perkawinan dengan mengembangkan
kesempatan untuk suatu variasi garis
pengiriman yang hampir berakhir dari arti-arti yang penting untuk setiap mitra.
Cara lain untuk memperbaiki komuniksi dalam perkawinan adalah kedua orang tua
belajar untuk lebih memberi perhatian secara penuh. Kedalaman perhatian adalah
esensial untuk kedua orang tua jika ada kedalaman membagi dalam suatu
perkawinan yang meluap dan sangat luar biasa. Ada sesuatu yang lebih mendasar dalam komunikasi
yang berhubungan dengan perkawinan yakni kata-kata yang dikatakan dan
didengarkan secara akurat. Fundamental dalam komunikasi adalah kesudian untuk
mempertimbangakan pendapat masing-masing; kesudian itu berakar dalam suatu
persetujuan untuk saling menyambut. Akhirnya, jalan lain untuk komunikasi yang
produktif adalah suami-isteri belajar keterampilan untuk berkata jujur. Ini
termasuk belajar untuk memakai apa yang dirasakan aktual dan mengembangkan
kemampuan untuk menempatkan perasaan secara jelas dalam kata-kata. (Clinebell
Jr. dan Clinebell 1967b, 90-93).
Beberapa latihan
tambahan dalam komunikasi yang sering digunakan suami-isteri untuk mempertajam
keterampilan mereka dalam mengirimkan arti-arti adalah: (1) Tataplah mata
masing-masing untuk paling kurang satu menit tanpa kata-kata, dan coba membaca
apa yang lainnya rasakan; (2) Biarkan satu orang mengatakan nama yang lain
secara berulang-ulang; (3) Praktekan perhatian dan pengertian terhadap satu
dengan yang lain; (4) Ganti aturan-aturan dan coba menempatkan masing-masing
posisi dan perasaan pada isu-isu yang mana anda memiliki perbedaan-perbedaan
pendapat; (5) Praktekkan komunikasi nonverbal dengan mencoba membuat pesan
untuk masing-masing melalui sentuhan, ekspresi wajah, gerakan-gerakan tubuh,
gerakan-gerakan isyarat, komunikasi mata; (6) Coba berdiri dengan saling
membelakangi; lalu berputar dan selanjutnya anda berhadap-hadapan, berpegangan
tangan dan melihat ke dalam mata masing-masing. Sadari perubahan dalam perasaan
anda pada posisi ini, mungkin mengejutkan anda yang begitu banyak perbedaan secara psikis yang
terjadi dalam kontak mata. (Clinebell Jr. dan Clinebell 1967c, 101).
Selanjutnya, dimensi
spiritualitas dalam perkawinan. Keintiman spiritual adalah kekuatan sebuah
perkawinan. Keintiman spiritual adalah rasa yang vital dalam hubungan dengan
yang transenden dari perkataan dan keberadaan kerapuhan kita – suatu hubungan
dengan bagian dari nilai-nilai dan arti-arti dengan mengikuti sejarah dan hidup
kita dan dengan Allah. Ketersambungan dari interpersonal dan keintiman
spiritual adalah nampak dengan jelas dalam area keadaan yang sebenarnya.
Kapasitas untuk membentuk suatu hubungan manusia untuk saling percaya terpancar
dari kehendak yang sama sebagai kapasitas untuk hidup benar. Keintiman
memperkaya kepenuhan cinta bagi pasangan suami isteri ketika mereka
menemukannya dalam, melalui, dan diatas perkawinan mereka, suatu kekayaan yang
terhitung dari pemberian itu di mana agama-agama besar di dunia telah
membuatnya tersedia bagi manusia. Paling sedikit ada tiga aspek untuk menemukan
kebutuhan-kebutuhan fundamental agama yaitu: (1) Kebutuhan untuk suatu
pengalaman yang banyak dan transenden; (2) Kebutuhan untuk merasa berarti, bertujuan,
dan bernilai dalam eksistensi seseorang; (3) Kebutuhan untuk suatu perasaan
percaya yang mendalam dan berhubungan dengan hidup. (Clinebell Jr. dan
Clinebell 1967d, 179-181).
Konseling
krisis adalah salah satu bentuk pelayanan pastoral kepada suami-isteri yang
hendak bercerai. Keluarga yang terancam perceraian biasanya menghadapi suatu
masa krusial dan sangat kritis. Apalagi menghadapi krisis yang tak terduga akan
menimbulkan situasi emosional yang membahayakan. Karena itu, kehadiran seorang
pendeta atau konselor yang sesuai dengan kapasitasnya dapat mengurangi dampak
krisis, menyadarkan, menopang, dan mendamaikan suami-isteri yang hendak
bercerai. Salah satu bentuk aksi konselingnya adalah konseling krisis jangka
pendek yang dirancang secara spesifik dalam waktu yang relatif pendek. Konseling
ini biasanya dilakukan secara intensif lewat metode intervensi krisis untuk
menolong orang yang dalam masa krisis atau berbahaya. Konseling dilakukan
melalui kontak langsung dengan yang bermasalah, fokus pada persoalan yang
paling penting, dan berupaya menanggulanginya. Jadi, konseling krisis dilakukan
dalam tiga tahap: perumusan masalah, fakor-faktor penyebab, dan upaya
penanggulangan masalah. (Stone 1976, 27-32). Konseling model ini sangat cocok
untuk keluarga pak Max dan ibu Judy karena mereka sedang menghadapi keadaan
gawat darurat.
Kesimpulan
Kent M. Keith telah
menorehkan 10 perintah paradoks yang sangat menarik dan menginspirasi manusia
di seluruh penjuru bumi ini. Lebih mulia lagi jika kita ingat apa yang
dikatakan oleh rasul Paulus tentang sebuah perkawinan yang paradoks juga dalam
kitab Efesus 5:31-33 yang berbunyi:
“Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging ... Rahasia ini besar ... Bagiamanapun juga, bagi kamu
masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri
hendaklah menghormati suamimu.”
Tindakan seorang laki-laki meninggalkan orang tua, bersatu dengan
isterinya, dan menghadapi perjalanan hidup rumah tangga yang penuh rahasia yang besar adalah tindakan
yang penuh resiko. Hal ini mengandung makna paradoks juga bila diperhadapkan
dengan kepentingan diri masing-masing sebagai seorang laki-laki atau perempuan
saja. Itulah sebabnya sehingga rasul Paulus katakan “Bagaimanapun juga” mereka
harus saling mengasihi dan menghormati. Ya, sikap mengasihi-menghormati adalah
ibarat persekutuan suami-isteri secara tubuh, roh, dan jiwa secara utuh sebagai
masunia yang diciptakan Allah secara unik.
Jadi, dalam perkawinan
itu ada perjumpaan kebahagiaan dari dua orang anak manusia yang utuh secara
tubuh, jiwa, dan roh. Karena itu, kesepakatan seorang laki-laki dan perempuan
untuk melakukan perkawinan adalah bukan
untuk mencari kebahagiaan tetapi membuat
kebahagiaan bersama-sama yang sudah mereka temui dalam diri masing-masing demi
kebahagiaan rumah tangga termasuk bersama anak-anak mereka. Menurut penulis,
sebuah rumah tangga harus memahami arti perkawinan menurut iman Kristen dan
secara psikologis. Apabila terjadi kasus, perceraian bukanlah jalan
keluar, maka harus dilakukan
pendampingan pastoral. Khusus kasus pak Max dan ibu Judy ini, langkah-langkah
pendampingan pastoralnya adalah penyadaran akan tanggung jawab untuk pak Max
dan penguatan/penopangan dan rekonsiliasi untuk ibu Judy. Hal ini ditopang oleh
firman Tuhan dalam Efesus 5:31-33 tersebut.
Letak
rahasia, keindahan, dan keharmonisan dalam membangun keluarga yang bahagia
mungkin seperti yang dikatakan oleh seorang penyair, Frank Crane melalui sebuah
puisi yang berbunyi:
Keindahan dari sebuah rumah tangga adalah keharmonisan;
Rasa aman dari sebuah rumah tangga adalah kesetiaan;
Sukacita dalam sebuah rumah tangga adalah cinta kasih;
Kekayaan dari sebuah rumah tangga adalah anak-anak;
Peraturan dalam sebuah rumah tangga adalah saling melayani;
Penghiburan dalam sebuah rumah tangga adalah Allah sendiri.
(Fances 2009a, 135).
Jadi,
mendirikan rumah tangga harus bersama dengan TUHAN. Ada prinsip yang perlu
ditaati oleh setiap anggota rumah tangga yakni: Hanya Allah yang memampukan
kita untuk terus mengatur dan membangunnya (Theocentric
family); Kristus sebagai
kepala rumah tangga (Christocentric family); dan Alkitab sebagai prinsip utama dalam mengatur dan
menjalankan rumah tangga (Bible oriented family). (Fances 2009b, 136).
Daftar
Acuan
Buku-buku
Abineno,
J.L.Ch. 1967. Pelajanan Pastoral. Djakarta:
Badan Penerbit Kristen.
_________________.
1987. Manusia
Dan Sesamanya Di Dalam Dunia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
_________________. 1999. Pedoman
Praktis Untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Chilton, Bruce.
2000. Studi
Perjanjian Baru Bagi Pemula. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Clinebell,
Howard J. Jr. dan Charlotte H. Clinebell 1970. The Intimate Marriage. New York
...: Harper & Row.
Clinebell,
Howard. 2002. Tipe-Tipe
Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. & Yogyakarta:
Kanisius.
Crapps, Robert
W. 1993. Dialog Psikologi dan Agama. Yogyakarta:
Kanisius.
Fances, Eddy.
2009. Transformasi
Pikiran: Metode Praktis Hidup Berhikmat dan
Berbahagia.
Jakarta: Yayasan Sinar Nusantara (Yasinta).
Fromm, Erich.
1956. The
Art of Loving. Terj. Syafi’ Alielha. Jakarta: Fresh Book.
Guthrie,
Donald. 1999. Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Homme, Tjaard G. dan E.
Gerrit Singgih. 1992. Teologi
dan Praksis Pastoral: Antologi
Teologi
Pastoral. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, & Yogyakarta: Kanisius.
Stone, Howard W. 1976. Crisis Counceling. Philadelphia: Fortress.
Website di Internet
Aja
Rowikarim. 10 Perintah Paradoks yang
Dikemukakan Kent M Keith.
hhtp://aja.rowikarim.blogspot.com/2012/01/10-perintah-paradoks-yang-
dikemukakan-html. (diakses 27
Januari 2012 jam 07:30). gumul & juang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar