Jumat, 08 November 2013

Suami-Isteri Saling Mengasih dan Menghormati

Oleh: Pdt. Ruben Tallo

Pendahuluan

            “Seandainya Yesus Kristus bukan TUHAN..., dan seandainya Alkitab tidak ditulis dan ada seperti sekarang ini..., maka bagiku tidak ada setitik pun harapan untuk pertahankan rumah tangga yang terancam perceraian karena kasus yang berat ini.” (Penulis). Namun, ada kasus ini ...

Deskripsi Kasus

Kasus perceraian. Sepasang suami isteri, Max dan Judy, sudah lama memiliki konflik antara satu dengan yang lain. Hubungan mereka semakin renggang karena Max sudah lama tidak memiliki pekerjaan, bahkan menggunakan uang Judy untuk memulai usaha bersama adik laki-lakinya, yang berujung kepada kegagalan. Rumah mereka, yang banyak dibiayai oleh Judy pun kemudian dijadikan agunan hutang oleh Max untuk memperoleh modal baru bagi usahanya dengan adiknya. Usaha ini kemudian kandas. Judy pun sangat terkejut ketika memperoleh surat tagihan hutang dari bank. Tabungan yang disimpan Judy untuk uang kuliah kedua anak perempuan mereka pun harus terpakai untuk membayar hutang agunan. Ketika Judy meminta tanggungjawab Max, dia hanya mengatakan bahwa itu kewajiban Judy untuk mendukungnya sebagai isteri yang baik, dan anak mereka sebaiknya segera dinikahkan saja supaya tidak memerlukan biaya kuliah. Orang tua Max selama ini juga selalu menjelek-jelekkan Judy karena tidak bisa memiliki anak laki-laki. Kemarahan Judy memuncak dan ia ingin menceraikan Max, namun dia merasa kasihan terhadap kedua puterinya. Nasihat apa yang akan anda berikan kepada Judy?

Analisa Kasus

            Penulis memulai tulisan ini dengan 10 perintah paradoks dari Kent M. Keith yang terkenal itu. Ia menuliskan perintah-perintah ini pada tahun 1968 yang kemudian dipajangkan di panti asuhan bunda Teresa di Kalkuta, India. Isi perintahnya sbb:

1. Manusia sering bersikap tidak logis, tidak masuk akal, dan mementingkan diri sendiri,
     bagaimanapun sayangi mereka.
2. Bila anda melakukan kebaikan, orang akan menuduh anda memiliki motif tersembunyi
     yang mementingkan diri sendiri, bagaimanapun lakukan kebaikan itu.
3. Jika anda sukses anda akan memiliki sahabat-sahabat palsu dan musuh-musuh yang
     sejati, bagaimanapun raihlah kesuksesan itu.
4. Kebaikan yang kita lakukan hari ini akan dilupakan esok hari, berbanding terbalik jika  
     kita melakukan kesalahan, bagaimanapun lakukan kebaikan itu.
5. Kejujuran membuat anda rentan, bagaimanapun jujur dan terbukalah.
6. Pria dan wanita paling hebat dengan gagasan paling besar dapat dijatuhkan pria dan
     wanita yang paling kecil dengan pikiran yang paling kecil, bagaimanapun berpikir    
     besarlah.
7. Orang bersimpati pada pihak yang lemah, tetapi mengikuti pihak yang kuat,
     bagaimanapun berjuanglah bagi pihak yang lemah.
8. Apa yang anda bangun selama bertahun tahun dapat hancur dalam semalam,  
     bagaimanapun membangunlah.
9. Sesungguhnya manusia membutuhkan pertolongan tetapi mungkin mereka akan
     menyerang anda jika anda menolong mereka, bagaimanapun tolonglah mereka.
10. Lakukan yang terbaik pada dunia dan anda akan kecewa, bagaimanapun lakukan yang
       terbaik pada dunia.
        Karena semua itu bukanlah antara engkau dengan mereka, tetapi antara engkau dengan Allah.(Rowikarim website 2012).
           
            Kasus pak Max dan ibu Judy tersebut di atas, ada kaitan erat dengan perintah-perintah paradoks Keith ini. Khususnya, sangat menantang sikap dan keputusan dari ibu Judy sebagai korban, apakah ibu Judy mampu untuk tetap sayangi keluarganya, tetap lakukan kebaikan, tetap bekerja demi kesuksesan, tetap jujur dan terbuka, tetap berpikir besar, tetap berjuang bagi yang lemah, tetap membangun, tetap menolong , dan tetap lakukan yang terbaik untuk rumah tangganya? Nah, di sini ibu Judy sangat membutuhkan pertolongan lewat pelayanan pendampingan pastoral.
            Menurut penulis pertama-tama perlu kita pahami kembali tentang siapa manusia itu menurut pemahaman iman kristiani (rohani). Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang menurut “gambar dan rupaNya”  (Kej. 1:26-27). Ungkapan “gambar Allah” ini menunjukkan hubungan vetikal yang sangat hakiki antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai makhlukNya. Ada hubungan yang intim sebagai Bapa dan anak, sebagai makhluk yang bisa bertanggung jawab di antara ciptaan lainnya dengan hidup yang mencerminkan keberadaan Allah terhadap makhluk yang lain. Sedangkan pengertian hubungan horisontalnya adalah manusia selalu mempunyai hubungan dengan sesamanya dan dengan alam. Intinya, manusia adalah makhluk yang paling utama. Kedudukan manusia yang lebih tinggi ini dinyatakan sebagai manifestasi dari kasih dan anugerah Allah yang mengherankan. (Abineno 1987a, 33-37).
            Manusia terdiri dari suatu keutuhan tubuh, jiwa, dan roh yang suatu saat akan kembali kepada Allah. Tubuh manusia itu terdiri dari debu dan daging yang Allah hembuskan nafas hidup ke dalamnya. Manusia tidak diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan supaya mereka hidup sebagai suami isteri yang juga dianugerahkan kehidupan seksual oleh Allah. Penciptaan Allah terhadap manusia menjadi sangat baik adanya ketika mereka menjadi sepadan antara laki-laki dan perempuan. Sepadan artinya menjadi kawan hidup sehingga keduanya menjadi manusia yang komplit. Ungkapan “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” adalah suatu bukti komplitnya mereka sebagai manusia perempuan (isya) di samping dia sebagai manusia laki-laki (isy). Pada mulanya Allah menghendaki perkawinan monogami antara laki-laki dan perempuan, seperti yang dinyatakan dalam (Kejadian 2:24). Setelah mereka jatuh ke dalam dosa, istri tidak sederajat lagi dengan suaminya. Relasinya berubah menjadi relasi dalam ketergantungan sebagai hukuman atas dosa mereka. Hingga pada masa rasul Paulus baru ada pemulihan lagi bahwa dalam Kristus hal ini tidak berlaku lagi atau tidak ada perbedaan derajat lagi karena “... tidak ada laki-laki atau perempuan” (Gal. 3:28). Maksudnya, jemaat yang ditempatkan oleh Tuhan yang ada perbedaan seksual dalam dunia lama tidak berlaku lagi “karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus.” (Abineno 1987b, 38-44).
            Selanjutnya dari segi psikologis penting juga untuk memahami manusia seutuhnya. Psikologi menekankan keutuhan pribadi manusia sudah dimulai sejak abad ke-18. Pada tahun 1799, Pierre Cabanis mengembangkan tesis bahwa penyakit fisik dapat berasal dari penyakit psikis. Gagasan ini mendapat tanggapan lanjutan ketika psikologi modern tumbuh dan psikiatri dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan medis. Dengan demikian pendapat William James bahwa “jalan menuju kesehatan pribadi adalah jalan penyatuan unsur-unsur yang ada dalam pribadi manusia,” mendapat dukungan dan pembenaran. (Crapps 1993a, 32). Ada juga pendekatan studi tentang kepribadian yakni psikologi daya kemampuan yang menurut psikolog William McDougall ada pengaruh dari insting. Insting adalah “kekuatan yang ada pada manusia yang berakar dalam struktur biologis, yang memulai dan memungkinkan segala perilaku manusia.” (Crapps 1993b, 34). Dalam agama dan kepribadian mengandung hal-hal yang sangat menyerupai psikologi daya kemampuan  ini secara populer, nampak pada istilah-istilah ciri, sikap, faktor, sentimen, dan kecenderungan. Selanjutnya Gordon W. Allport memiliki pandangan tentang ciri (tarit) sebagai ungkapan yang berguna untuk mengerti kepribadian manusia karena memiliki kekuatan dan menentukan perilaku manusia. Ciri adalah “merupakan kekhasan yang tetap dan membedakan pribadi yang satu dengan yang lain serta memberikan kepada setiap pribadi penampilan yang tetap.” Keutuhan kepribadian ini merupakan konsep penting juga dalam psikologi agama. Psikologi agama mencakup seluruh panorama pengalaman yang diyakini dan diakui sebagai wahana untuk memberi arti dan kesatuan kepada kehidupan. Psikologi agama mempelajari berbagai tingkat penghayatan agama secara pribadi dalam konteks manusia seutuhnya. Psikologi agama adalah hakikat beriman. (Crapps 1993c, 35).
            Untuk sebuah perkawinan biasanya ditandai oleh suatu wujud psikologi tentang hubungan sebagai identitas pasangan perkawinan yang dirajut bersama sejak bertemu, berkenalan, bergaul, dan kawin.  Namun, terkadang muncul masalah atau kasus dalam rumah tangga. Karena itu, penyuluhan, konseling dan terapi untuk sebuah perkawinan harus dipusatkan pada peningkatan kualitas hubungan perkawinan. Gangguan di dalam hubungan perkawinan ini akan melanjutkan, memperhebat, dan menghasilkan lapisan-lapisan gangguan psikologi dalam batin. Sebuah perkawinan yang tidak berbahagia terjadi karena masing-masing pihak saling merusak kepuasan kebutuhan pasangannya dalam tingkat yang tinggi. Misalnya, pengrusakan kebutuhan secara hebat sehingga mendatangkan kebutuhan neurotis yang mempunyai dua ciri yaitu: pertama,  kebutuhan normal yang dibesar-besarkan hingga tidak ada seorangpun bisa memuaskannya; kedua, kebutuhan neurotis yang bertentangan, yakni kebutuhan yang pada tingkat sadar menginginkan sesuatu hal, tetapi dalam ketidaksadaran menginginkan sesuatu yang sebaliknya. Hal ini menimbulkan pertentangan batin, konflik antar pribadi, dan frustrasi yang lama  menyebabkan pertengkaran, kurangnya komunikasi, bertambahnya kebencian, dan kerenggangan emosional antara suami isteri. Memang untuk memulihkan keadaan seperti ini butuh waktu yang lama karena perkawinan adalah suatu hubungan manusiawi yang sangat rumit. Di sinilah tugas seorang konselor untuk menyadari, mengerti, dan bisa mencegah perselisihan yang menyakitkan perkawinan mereka. (Clinebell 2002a, 335-336).
            Faktor lain yang bisa menimbulkan konflik dalam sebuah perkawinan adalah adanya kelaliman dan kegeraman, suka berkelahi dan menggoda orang, keadaan sosial-ekonomis, ketegangan individualitas, ketegangan antara kehidupan nikah dan kehidupan jabatan. Ada faktor-faktor praksis yang menjadi sumber masalah dalam setiap rumah tangga seperti yang dikatakan oleh Abineno yaitu: (1) Penundaan pembentukan keluarga. Artinya, suami-istri bersepakat untuk menunda adanya proses persetubuhan dan penghamilan diputuskan dengan cara menggunakan alat-alat kontrasepsi dan cara coitus interruptus (pemutusan persetubuhan); (2) Ketiadaan anak. Ada golongan suami-istri bersepakat tidak mau mendapat anak dengan cara pervers yakni melepaskan nafsu birahi secara abnormal. Ada kelainan psikis dan penyakit bawaan yang dapat menurun kepada anak-anak mereka. Ada juga yang tidak mempunyai anak karena kemandulan; (3) Adanya anak yang tertalu banyak pada tahun-tahun awal dari perkawinan. Sebenarnya mereka butuh waktu lagi untuk penyesuaian dalam banyak hal. Namun, ketika mereka sudah mempunyai anak yang banyak, akan muncul konflik yang membahayakan kebahagiaan rumah tangga; (4) Kekuasaan suami. Masih ada kebiasaan seperti ini dalam rumah tangga Kristen. Si isteri bekerja keras seperti “hamba” dan suami hidup seperti “tuan” yang memegang kekuasaan. Pasangan suami-istri adalah persekutuan hidup dari dua orang yang saling melayani di dalam segala hal sehingga tidak ada yang merasa bekuasa atas pihak yang lain; (5) Perkawinan tanpa kasih. Misalnya ada sikap untuk tidak mau hidup bersama, tidak menghargai yang lain,  hingga menimbulkan kecemasan dan kekecewaan yang mendalam. Hal ini sangat besar konsekuensinya dalam hal hubungan seksual, pada hal  hubungan seks adalah penyataan kasih yang semesra-mesranya atau ungkapan kasih yang semurni-murninya dari suami-istri secara badani. (6) Perkawinan campur. Artinya secara konfensional. Misalnya, antara seorang yang berkeyakinan Protestan dengan yang tidak beragama Protestan, bahkan dengan yang sama sekali non Kristen. Hal ini sangat berkaitan dengan persekutuan iman manusia yang dikuduskan oleh hubungan kasih di dalam tubuh Kristus. Persekutuan iman adalah hal yang esensial dalam perkawinan. Perlu diingat bahwa persekutuan iman adalah sesuatu yang berpangkal di dalam hati, merangkumi seluruh eksistensi manusia yakni: hidupnya, pikirannya, perasaannya, tindakannya, dan tidak terpelas dari sumber hidupnya yaitu TUHAN Allah; (7) Perusak rumah tangga. Artinya, ada perbuatan yang mengganggu dan merusak rumah tangga orang lain. Hal ini bisa terjadi berawal dari sebuah persahabatan demi kepentingan pribadi lalu mengarah kepada perselingkuhan; (8) Pengaruh alkohol (miras); dan (9) Persoalan penolakan fisik yang terjadi karena faktor-faktor fisik dan psikologis.
            Kasus yang dihadapi pak Max dan ibu Judy ini disebabkan oleh empat persoalan yaitu: ketiadaan anak; persoalan kekuasaan suami, perkawinan tanpa kasih, dan persoalan perusak rumah tangga. Untuk persoalan ketiadaan anak, nampak dari sikap orang tua Max yang tidak suka dengan ibu Judy karena tidak ada anak laki-laki. Padahal bisa saja ada faktor tertentu yang menyebabkan hal itu terjadi. Tetapi mereka tidak mau tahu. Dalam hal kekuasaan suami nampak dalam sikap pak Max yang menunjukkan sikap masa bodoh, bahkan masih tega berpikir bahwa apa yang ibu Judy rasakan dan kerjakan adalah kewajiban ibu Judy untuk mendukungnya sebagai  seorang istri yang baik. Juga nampak dalam sikapnya yang menyuruh supaya anaknya dinikahkan saja karena biaya kuliah tidak ada lagi. Lalu dalam hal perkawinan tanpa kasih, sangat dominan dengan lebih mementingkan atau mengasihi keluarga pak Max (adik laki-lakinya) melalui bisnis yang ujung-ujungnya gagal, lalu tidak mengasihi isteri dan anak-anaknya. Akhirnya,  dalam soal perusak rumah tangga nampak secara implisit dalam sikap adik laki-lakinya yang tidak mau tahu tentang kondisi rumah tangga pak Max yang terpuruk dalam hal ekonomis dan harus membiayai perkuliahan anak-anak mereka. Juga sikap orang tua Max yang tidak suka dengan ibu Judy.
            Pendampingan pastoral dalam kasus ini perlu penyadaran akan tanggung jawab, penopangan, dan kerelaan untuk rekonsiliasi antara pak Max dan ibu Judy demi keselamatan rumah tangga mereka. Pendampingan pastoral menurut Dr. G. Heitink adalah suatu profesi pertolongan; seorang konselor mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang Injil dan persekutuan dengan Gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman.(Hommes dan Singgih  1992a, 405), Definisi ini dimiliki oleh pendeta dalam terang Injil dan persekutuan dengan Gereja dan dimiliki oleh konselor yang berpusat pada hubungan antar pribadi dalam pendekatan konseling. Dalam bidang psikologi, Carl Rogers menekankan empati, kesesuaian, dan perhatian positif tanpa syarat, menjadi metode pendampingan pastoral dalam arti konseling pastoral. Sedangkan proses psikologisasi dalam pandangan teologis nampak pada  kata-kata kunci “kasih, harapan, dan kebebasan” yang sangat penting dalam konseling.(Hommes dan Singgih  1992b, 405-406).
Pendampingan pastoral yang monolog dapat dijelaskan sebagai konsep diastasis yakni pewartaan sabda Allah dalam situasi konkret manusia secara pribadi. Isi pewartaannya adalah pengampunan dosa untuk menjembatani jurang yang sangat lebar dan dalam antara Allah dan manusia. Selanjutnya, pendampingan pastoral dengan konsep korelasi, artinya adanya korelasi antara pertanyaan manusia yang dijawab oleh Allah melalui penerimaan terhadap manusia karena adanya pembenaran melalui rahmat oleh iman. Pendampingan ini bersifat membebaskan dan memperkaya kehidupan. (Hommes dan Singgih  1992bc, 406-407).
Pendampingan pastoral yang dilakukan oleh Yesus adalah penggembalaan melalui khotbah dan tindakan konkret seperti menyembuhkan. Yesus mendorong orang-orang untuk datang kepadaNya dan menghayati rahmat dan keadilan Allah bagi mereka sendiri. Dalam percakapan dengan Yesus orang akan menemukan sendiri bahwa ia membutuhkan keselamatan. Dengan mengikuti jejak Yesus maka kita terlibat dalam suatu relasi dengan orang lain dan inilah yang berhubungan dengan konseling dan komunikasi. Dalam pendampingan pastoral kita memiliki relasi timbal balik dan orang saling  terbuka terhadap yang lain dan persekutuan yang mendalam dapat terjadi. (Hommes dan Singgih  1992d,  414).
            Selanjutnya, penyadaran tentang arti perkawinan menurut iman kristiani. Pandangan PB tentang perkawinan dan perceraian sangat erat hubungannya. Hal ini dapat kita ketahui dari ucapan-uccapan Yesus dalam Injil Sinoptik dan pandangan rasul Paulus dalam surat-suratnya.  Dalam ajaran Yesus tentang perkawinan ini lebih mantap lagi dengan melukiskan diriNya sebagai mempelai laki-laki (Mat. 22:1-4; Mat.25:1-13; Mrk.2:19). Sesungguhnya hampir semua berpusat pada masalah perceraian (Mat 5:31-dst; 19:3-9; Mrk. 10:11-dst; Luk.16:18), namun, Yesus sama sekali tidak setuju dengan perceraian. Bahkan dalam Matius 19:6 dan Markus 10:9, Yesus mengutip kisah Penciptaan dalam Kejadian 1:27 untuk mendukung ajaranNya. Dalam ajaranNya Yesus tidak membedakan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Ajaran-ajaran yang berkaitan dengan perceraian ini dalam Markus dan Lukas mencantumkan larangan mutlak untuk bercerai. Ketika Matius mencatat ulasan tentang Musa yang memberi surat cerai, itu terjadi karena ketegaran hati orang Yahudi semata, bukan karena Allah mengizinkan perceraian yang Allah sendiri telah mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan yang kudus. (Guthrie 1999, 309-310).
            Deursen juga mengatakan bahwa Musa memberikan surat cerai yang membuat para sarjana Yahudi sibuk menggumuli berbagai masalah tentang surat ini adalah untuk mempersukar perceraian, bukan untuk mensahkannya. Surat cerai ini disebutkan beberapa kali dalam Alkitab yaitu (Ul.24:1-4; Yer.3:8;  Mat.5:31; 19:7-8; Mrk.10:4-5). (Deursen 1998, 121). Selanjutnya, dalam ajaran Paulus juga selalu ada solusi untuk tidak boleh ada perceraian. Bagi Paulus, jika ada rumah tangga yang salah satunya tidak beriman kepada Kristus, maka yang beriman (isteri atau suami) harus menyelamatkannya (I Kor.7:12-16). Intinya, sebagai rumah tangga Kristen harus mempertahankan panggilan Allah untuk hidup dalam damai sejahtera, atau orang-orang Kristen diharapkan untuk memberi contoh melalui perkawinan yang mantap.(Guthrie 1999, 311).
            Pergumulan ibu Judy ini perlu juga kita tinjau dari peranan-peranan wanita dalam PB sebagai penguatan menuju rekonsiliasi dengan suaminya. Pada masa itu ada
contoh yang sangat menarik telah diperlihatkan oleh Yesus untuk melawan tradisi-tradisi Yahudi yang mendiskriminasi kaum perempuan yakni dengan menghadiri undangan Maria dan Marta untuk datang ke rumah mereka. Ketika Yesus berada di rumah mereka, Yesus membiarkan Maria untuk bergabung dengan mereka yang belajar dari Yesus yang sedang mengajarkan tentang hukum Taurat dan tentang mengasihi sesama manusia. Peranan Maria yang tekun dalam mendengarkan ajaran Yesus ini merupakan bagian yang terbaik yang tidak akan diambil dari padanya, apa pun yang dituntut oleh berbagai tradisi zaman itu. Hal ini sudah merupakan hal yang luar biasa kalau ditinjau dari sikap standar para rabi Yahudi yang menganggap perempuan lebih rendah martabatnya. Kemudian contoh lain dalam cerita tentang kebangkitan Yesus sangat memberi peranan penting bagi kaum perempuan. Pertama, berkaitan dengan kesaksian mereka tentang kebangkitan Yesus bukan suatu hal yang dibuat-buat, karena dalam tradisi Yudaisme wanita tidak dapat memberikan kesaksian yang mempunyai kekuatan hukum; kedua, kaum perempuan diberi kesempatan dalam salah satu peristiwa sangat penting (kebangkitan Yesus) dalam Injil.(Chilton 2000, 174-176).
            Khusus berkaitan dengan pergumulan pak Max dan ibu Judy dalam rumah tangga mereka yang terancam perceraian ini, perlu diingatkan pula tentang cinta antara orang tua dan anak dan objek cinta itu sendiri. Hal ini penulis terinspirasi oleh pandangan Eric Fromm dalam bukunya The Art of Loving. Secara khusus dalam hubungan anak-anak pak Max dan ibu Judy yang sudah dewasa dengan mereka. Ketika anak sudah menginjak usia dewasa sudah mampu mengatasai egosentrismenya. Dia mulai menempatkan orang lain lebih penting ketimbang dirinya sendiri. Tindakan memberi dan mencintai menjadi lebih memuaskan dan menggembirakan. Juga sudah mulai merasakan adanya suatu kemampuan untuk menghasilkan cinta yang matang. Prinsip cinta yang matang ini adalah: “Aku dicintai karena aku mencintai atau aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu.” Inilah yang disebut pekembangan objek cinta.(Fromm 1956a, 74-75). Hal ini terjadi karena hubungan dengan ibu yang dari kecil bersifat narsisme dan egosentrime mulai berkurang karena sudah tergantikan hubungan dengan ayah yang semakin penting. Untuk hal ini kita perlu memahami perbedaan-perbedaan esensial dari cinta ibu dan cinta ayah. Kalau cinta ibu adalah berkaitan dengan hal-hal alamiah seperti kebahagiaan dan kedamaian yang tidak mensyaratkan perjuangan dan tidak menuntut imbalan, maka  cinta ayah meliputi dunia pikiran, benda-benda, hukum, aturan, disiplin, pejalanan, serta petualangan sehingga membutuhkan syarat-syarat tertentu. (Fromm 1956b, 76-78).
            Peran ayah sangat berkaitan dengan perkembangan sosio-ekonomis sebuah rumah tangga. Biasanya, seorang ayah akan memilih siapa yang akan mewarisi harta peninggalannya dengan menentukan anak-anak yang sukses dan sama karakter dengannya. Prinsip cinta ayah adalah aku mencintaimu karena engkau memenuhi harapanku, mampu menyelesaikan tugasmu, dan menyerupai aku. Cinta ayah penuh kesabaran, toleransi, tidak mengancam, dan tidak otoritarian. Ayah memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kompetensinya. Sisi positif dari cinta ayah yang bersyarat ini adalah membuat orang mau berusaha karena cinta itu ada dalam kuasa diri.(Fromm 1956c, 79).
            Seorang anak membutuhkan cinta ibu yang memperhatikannya dan cinta ayah yang mendidik dan membimbingnya. Pada akhirnya seseorang akan membentuk gambaran-gambaran dalam dirinya dengan nurani keibuan di atas cintanya dan nurani kebapakan di atas akal budi dan penilaiannya sendiri. Kedua nurani ini harus dipakai secara berimbang agar bisa menjadi manusia yang memiliki kelemahlembutan, bersikap manusiawi, mampu mengembangkan diri, dan mampu  mengambil keputusan sendiri dalam hadapi masalah. Sebaliknya jika tidak berimbang, maka yang terjadi adalah menjadi orang yang berperilaku keras/kasar, tidak manusiawi, tidak mampu mengambil keputusan, dan terhambat dalam pengembangan diri. Kemampuan untuk melewati tahap peralihan dari cinta ibu kepada cinta ayah ini sangat mendasar untuk kesehatan mental dan pencapaian kematangan cinta seseorang.
(Fromm 1956d, 81-82).

Interpretasi

            Untuk pemecahan masalah pak Max dan ibu Judy ini, menurut penulis mungkin ada baiknya kita ingat juga konsep konsientisasi yang dikemukakan oleh Paulo Freire. Meskipun hal ini berkaitan dengan hal pendidikan, namun ada hal-hal yang perlu disadarkan juga kepada pak Max berkaitan dengan sikapnya yang masa bodoh. Dalam konsep ini ada beberapa tahap kesadaran yang dikemukakan oleh Freire yaitu: (1) kesadaran intransitif. Tahap orang hanya memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup; (2) kesadaran semi-intransitif atau magis. Orang menerima fakta situasi sosiologis mereka sebagai “takdir,” yang ditandai dengan rasa rendah diri dan ketergantungan yang besar dalam budaya bisu. (3) kesadaran naif atau semi-transitif. Mulai mempermasalahkan situasi konkret mereka walaupun dalam situasi naif; (4) kesadaran kritis sebagai tingkat tertinggi. Orang mencapainya melalui konsientisasi yang ditandai dengan kedalaman menafsir masalah, mulai percaya diri, peka, tidak lari dari tanggung jawab, dan dapat menilai pandangan sendiri. (Hommes dan Singgih 1992a, 245-246).
            Dr. Leimena juga gigih berjuang dan menganjurkan setiap orang Kristen agar mewujudkan hidupnya sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Leimena terkenal dengan ciri masyarakat yang sosialistis-religius dengan ciri-ciri pokoknya: tidak membenarkan adanya kemelaratan, keterbelakangan, perpecahan, pemerasan, kapitalisme, sosialisme, diktator, kolonialisme, dan imperialisme. Berkaitan dengan pernyataan Freire dan Leimena ini, maka sangat relevan dengan kondisi pak Max dalam kasus yang dihadapi rumah tangganya ini. Kita terinspirasi dengan konsep konsientisasi ini, khususnya tentang kesadaran kritis dalam hal kemampuan untuk bertanggung jawab, non diktator, dan kolonialisme. Hal yang menarik juga dikatakan oleh Reksosusilo CM mengenai hati nurani (conscientia). Ia mengatakan bahwa setiap pribadi dalam suatu masyarakat berbeda dalam memahami hati nuraninya. Keuntungan untuk menekankan hal hati nurani ini adalah menunjukkan hak dan kewajiban yang lebih jelas dan tegas, mutu kerja dan kreatifitas akan meningkat, dan hukum akan lebih mudah ditegakkan. Dalam hal pastoral, konsientisasi akan menolong kita dalam keterlibatan dalam masyarakat, pendalaman iman, dan solidaritas kelompok. Jadi, benar apa yang dikatakan oleh C.Groenen bahwa pemecahan masalah konkret terletak di tangan manusia yang otonom dan teonom baik secara pribadi atau bersama masyarakat untuk mencari jalan keluarnya yang di pimpin oleh Roh Kudus. (Hommes dan Singgih 1992b, 249-257).
            Selanjutnya, apa yang bisa kita lakukan untuk ibu Judy? Pertama-tama., dalam hal ini fokusnya pada fungsi-fungsi dasar Pastoral itu sendiri menurut pendapat William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, bahwa fungsi pelayanan pastoral ada empat yaitu: menyembuhkan (healing), menopang/membantu (sustaining), membimbing/menuntun (guiding), dan mendamaikan (reconciling). Kemudian Howard Clinebell menambahkan fungsi yang kelima, yaitu memelihara (nurturing) untuk mendekatkan pemahaman mengenai kaitan yang erat antara pendidikan dan konseling.(Abineno 1999, 48-66). Fungsi menopang dan mendamaikan sangat mendesak karena ia dalam keadaan kritis. Proses penopangan ini kita bisa sadarkan kembali ibu Judy tentang prinsip-prinsip absolut dan rahasia kehidupan rumah tangga Kristen. Penulis setuju dengan pandangan pendeta Eddy Fances bahwa TUHAN telah memberikan prinsip-prinsip absolut melalui penyataanNya dalam Alkitab tentang rahasia kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Prinsip-prinsip itu adalah: (Fances 2009, 113).
1. Pernikahan harus bersifat monogami dan berlawanan jenis kelamin (Kej.2:18-25).
2. Keduanya haruslah orang yang beriman kepada Yesus Kristus (II Kor.6:14-18).
3. Keduanya bertekad mengikat perjanjian seumur hidup di hadapan Tuhan
     (Mat.19:4-9).
4. Keduanya memelihara kekudusan dan kesetiaan apa pun yang terjadi (Ibr.13:4).
5. Suami harus mengasihi isteri, dan isteri menghormati suami seperti kepada
     Kristus. Artinya menjadikan Kristus sebagai kepala keluarga yang sebenarnya
     (Ef.5:22-33).
6. Keduanya bertekad mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran Tuhan (Ul.6:5-9;
     Ef.6:4).
7. Semua persoalan diselesaikan berdasarkan kebenaran firman Tuhan (II Tim.3:16-17).

A k s i

            Menurut penulis, ada tiga tindakan yang harus dinyatakan oleh pak Max dan ibu Judy yaitu: komunikasi sebagai kunci yang kreatif untuk kembali saling mendekatkan diri; wujud spiritualitas kristiani masing-masing; dan tindakan konseling krisis oleh pendeta atau konselor. Komunikasi adalah cara yang dipakai supaya hubungan terjadi. Ini yang menentukan kualitas bagaimana suatu hubungan dibangun dan apakah itu berlanjut atau berakhir. Komunikasi yang baik adalah kemampuan untuk meneruskan dan menerima arti-arti; ini alat untuk menerima saling pengertian terhadap hati yang berhubungan dengan keintiman perkawinan. Satu cara untuk menghitung kedalaman dari suatu hubungan adalah oleh pengurutan level-level di mana komunikasi itu bisa terjadi. Kemampuan untuk komunikasi dalam cara-cara yang saling menguatkan adalah keahlian dasar yang esensial untuk menumbuhkan keintiman yang berkaitan dengan perkawinan. (Clinebell Jr. dan Clinebell 1967a, 87-89).
            Upaya memperkuat komunikasi ini adalah bagian dari kebahagiaan perkawinan dengan mengembangkan kesempatan  untuk suatu variasi garis pengiriman yang hampir berakhir dari arti-arti yang penting untuk setiap mitra. Cara lain untuk memperbaiki komuniksi dalam perkawinan adalah kedua orang tua belajar untuk lebih memberi perhatian secara penuh. Kedalaman perhatian adalah esensial untuk kedua orang tua jika ada kedalaman membagi dalam suatu perkawinan yang meluap dan sangat luar biasa. Ada  sesuatu yang lebih mendasar dalam komunikasi yang berhubungan dengan perkawinan yakni kata-kata yang dikatakan dan didengarkan secara akurat. Fundamental dalam komunikasi adalah kesudian untuk mempertimbangakan pendapat masing-masing; kesudian itu berakar dalam suatu persetujuan untuk saling menyambut. Akhirnya, jalan lain untuk komunikasi yang produktif adalah suami-isteri belajar keterampilan untuk berkata jujur. Ini termasuk belajar untuk memakai apa yang dirasakan aktual dan mengembangkan kemampuan untuk menempatkan perasaan secara jelas dalam kata-kata. (Clinebell Jr. dan Clinebell 1967b, 90-93).
            Beberapa latihan tambahan dalam komunikasi yang sering digunakan suami-isteri untuk mempertajam keterampilan mereka dalam mengirimkan arti-arti adalah: (1) Tataplah mata masing-masing untuk paling kurang satu menit tanpa kata-kata, dan coba membaca apa yang lainnya rasakan; (2) Biarkan satu orang mengatakan nama yang lain secara berulang-ulang; (3) Praktekan perhatian dan pengertian terhadap satu dengan yang lain; (4) Ganti aturan-aturan dan coba menempatkan masing-masing posisi dan perasaan pada isu-isu yang mana anda memiliki perbedaan-perbedaan pendapat; (5) Praktekkan komunikasi nonverbal dengan mencoba membuat pesan untuk masing-masing melalui sentuhan, ekspresi wajah, gerakan-gerakan tubuh, gerakan-gerakan isyarat, komunikasi mata; (6) Coba berdiri dengan saling membelakangi; lalu berputar dan selanjutnya anda berhadap-hadapan, berpegangan tangan dan melihat ke dalam mata masing-masing. Sadari perubahan dalam perasaan anda pada posisi ini, mungkin mengejutkan anda yang  begitu banyak perbedaan secara psikis yang terjadi dalam kontak mata. (Clinebell Jr. dan Clinebell 1967c, 101).    
Selanjutnya, dimensi spiritualitas dalam perkawinan. Keintiman spiritual adalah kekuatan sebuah perkawinan. Keintiman spiritual adalah rasa yang vital dalam hubungan dengan yang transenden dari perkataan dan keberadaan kerapuhan kita – suatu hubungan dengan bagian dari nilai-nilai dan arti-arti dengan mengikuti sejarah dan hidup kita dan dengan Allah. Ketersambungan dari interpersonal dan keintiman spiritual adalah nampak dengan jelas dalam area keadaan yang sebenarnya. Kapasitas untuk membentuk suatu hubungan manusia untuk saling percaya terpancar dari kehendak yang sama sebagai kapasitas untuk hidup benar. Keintiman memperkaya kepenuhan cinta bagi pasangan suami isteri ketika mereka menemukannya dalam, melalui, dan diatas perkawinan mereka, suatu kekayaan yang terhitung dari pemberian itu di mana agama-agama besar di dunia telah membuatnya tersedia bagi manusia. Paling sedikit ada tiga aspek untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan fundamental agama yaitu: (1) Kebutuhan untuk suatu pengalaman yang banyak dan transenden; (2) Kebutuhan untuk merasa berarti, bertujuan, dan bernilai dalam eksistensi seseorang; (3) Kebutuhan untuk suatu perasaan percaya yang mendalam dan berhubungan dengan hidup. (Clinebell Jr. dan Clinebell 1967d, 179-181).    
            Konseling krisis adalah salah satu bentuk pelayanan pastoral kepada suami-isteri yang hendak bercerai. Keluarga yang terancam perceraian biasanya menghadapi suatu masa krusial dan sangat kritis. Apalagi menghadapi krisis yang tak terduga akan menimbulkan situasi emosional yang membahayakan. Karena itu, kehadiran seorang pendeta atau konselor yang sesuai dengan kapasitasnya dapat mengurangi dampak krisis, menyadarkan, menopang, dan mendamaikan suami-isteri yang hendak bercerai. Salah satu bentuk aksi konselingnya adalah konseling krisis jangka pendek yang dirancang secara spesifik dalam waktu yang relatif pendek. Konseling ini biasanya dilakukan secara intensif lewat metode intervensi krisis untuk menolong orang yang dalam masa krisis atau berbahaya. Konseling dilakukan melalui kontak langsung dengan yang bermasalah, fokus pada persoalan yang paling penting, dan berupaya menanggulanginya. Jadi, konseling krisis dilakukan dalam tiga tahap: perumusan masalah, fakor-faktor penyebab, dan upaya penanggulangan masalah. (Stone 1976, 27-32). Konseling model ini sangat cocok untuk keluarga pak Max dan ibu Judy karena mereka sedang menghadapi keadaan gawat darurat.

Kesimpulan

            Kent M. Keith telah menorehkan 10 perintah paradoks yang sangat menarik dan menginspirasi manusia di seluruh penjuru bumi ini. Lebih mulia lagi jika kita ingat apa yang dikatakan oleh rasul Paulus tentang sebuah perkawinan yang paradoks juga dalam kitab Efesus 5:31-33 yang berbunyi:

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging ... Rahasia ini besar ... Bagiamanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suamimu.”

Tindakan seorang laki-laki meninggalkan orang tua, bersatu dengan isterinya, dan menghadapi perjalanan hidup rumah tangga  yang penuh rahasia yang besar adalah tindakan yang penuh resiko. Hal ini mengandung makna paradoks juga bila diperhadapkan dengan kepentingan diri masing-masing sebagai seorang laki-laki atau perempuan saja. Itulah sebabnya sehingga rasul Paulus katakan “Bagaimanapun juga” mereka harus saling mengasihi dan menghormati. Ya, sikap mengasihi-menghormati adalah ibarat persekutuan suami-isteri secara tubuh, roh, dan jiwa secara utuh sebagai masunia yang diciptakan Allah secara unik.
            Jadi, dalam perkawinan itu ada perjumpaan kebahagiaan dari dua orang anak manusia yang utuh secara tubuh, jiwa, dan roh. Karena itu, kesepakatan seorang laki-laki dan perempuan untuk melakukan perkawinan adalah bukan untuk mencari kebahagiaan tetapi membuat kebahagiaan bersama-sama yang sudah mereka temui dalam diri masing-masing demi kebahagiaan rumah tangga termasuk bersama anak-anak mereka. Menurut penulis, sebuah rumah tangga harus memahami arti perkawinan menurut iman Kristen dan secara psikologis. Apabila terjadi kasus, perceraian bukanlah jalan keluar,  maka harus dilakukan pendampingan pastoral. Khusus kasus pak Max dan ibu Judy ini, langkah-langkah pendampingan pastoralnya adalah penyadaran akan tanggung jawab untuk pak Max dan penguatan/penopangan dan rekonsiliasi untuk ibu Judy. Hal ini ditopang oleh firman Tuhan dalam Efesus 5:31-33 tersebut.
            Letak rahasia, keindahan, dan keharmonisan dalam membangun keluarga yang bahagia mungkin seperti yang dikatakan oleh seorang penyair, Frank Crane melalui sebuah puisi yang berbunyi:

Keindahan dari sebuah rumah tangga adalah keharmonisan;
Rasa aman dari sebuah rumah tangga adalah kesetiaan;
Sukacita dalam sebuah rumah tangga adalah cinta kasih;
Kekayaan dari sebuah rumah tangga adalah anak-anak;
Peraturan dalam sebuah rumah tangga adalah saling melayani;
Penghiburan dalam sebuah rumah tangga adalah Allah sendiri. (Fances 2009a, 135).

Jadi, mendirikan rumah tangga harus bersama dengan TUHAN. Ada prinsip yang perlu ditaati oleh setiap anggota rumah tangga yakni: Hanya Allah yang memampukan kita untuk terus mengatur dan membangunnya (Theocentric family); Kristus sebagai kepala rumah tangga (Christocentric family); dan Alkitab sebagai prinsip utama dalam mengatur dan menjalankan rumah tangga (Bible oriented family). (Fances 2009b, 136).

Daftar Acuan

Buku-buku

Abineno, J.L.Ch. 1967. Pelajanan Pastoral. Djakarta: Badan Penerbit Kristen.

_________________. 1987. Manusia Dan Sesamanya Di Dalam Dunia. Jakarta: BPK Gunung
            Mulia.

_________________. 1999. Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Chilton, Bruce. 2000. Studi Perjanjian Baru Bagi Pemula. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Clinebell, Howard J. Jr. dan Charlotte H. Clinebell 1970. The Intimate Marriage. New York
            ...: Harper & Row.

Clinebell, Howard. 2002. Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral. Jakarta:
            BPK Gunung Mulia. & Yogyakarta: Kanisius.

Crapps, Robert W. 1993. Dialog Psikologi dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Fances, Eddy. 2009. Transformasi Pikiran: Metode Praktis Hidup Berhikmat dan
            Berbahagia. Jakarta: Yayasan Sinar Nusantara (Yasinta).

Fromm, Erich. 1956. The Art of Loving. Terj. Syafi’ Alielha. Jakarta: Fresh Book.

Guthrie, Donald. 1999. Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika. Jakarta:
            BPK Gunung Mulia.

Homme, Tjaard G. dan E. Gerrit Singgih. 1992. Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi
                        Teologi Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, & Yogyakarta: Kanisius.

Stone, Howard W. 1976. Crisis Counceling. Philadelphia: Fortress.
   
Website di Internet

Aja Rowikarim. 10 Perintah Paradoks yang Dikemukakan Kent M Keith.
hhtp://aja.rowikarim.blogspot.com/2012/01/10-perintah-paradoks-yang-
dikemukakan-html. (diakses 27 Januari 2012 jam 07:30).                         gumul & juang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar