Rabu, 06 November 2013

Gereja Tuhan dan Politik


GEREJA TUHAN DAN POLITIK

Oleh: Pdt. Ruben Tallo

Mengapa orang Kristen harus melibatkan diri dalam politik? Jawabnya amat sederhana : karena tidak ada pilihan lain. Memilih untuk bersikap tidak mau tahu soal politik alias apolitik pun adalah pilihan politis. Ada yang mengatakan bahwa keterlibatan politik bukan hanya merupakan sebuah keharusan praktis (karena tidak terhindarkan), melainkan juga sebuah keharusan teologis, sebuah wujud dari ketaatan iman. (Darmaputera 2004, xii)

            Segala sesuatu yang diciptakan Allah pada mulanya adalah sungguh amat baik adanya, termasuk politik. Namun ketika dosa masuk ke dalam kehidupan seluruh makhluk itu, maka manusia menjadi sangat sulit untuk membedakan mana yang sesuai kehendak Allah dan mana yang tidak sesuai kehendakNya. Misalnya, hubungan antara dan Gereja dan politik ini menjadi suatu yang menegangkan sepanjang sejarah hidup ini. Bagi orang-orang Kristen, mengenai Gereja tidak terlalu sulit untuk memahaminya; namun ketika berbicara dan mendengar soal politik akan mengalami ketegangan yang tinggi. Hal ini kita bisa rasakan lewat berbagai reaksi dari warga gereja bahkan dari para pendeta itu sendiri. Mengapa hal ini terjadi? Karena masih kuatnya pengaruh pola berpikir dualisme antara yang transenden dan profan, antara sorga dan dunia, antara iman dan ilmu, antara yang rohani dan duniawi, dst. Politik itu kotor, politik itu penuh dengan kebohongan, politik itu berisi bualan dan politik itu dijalankan oleh orang-orang yang suka menipu dan mencari keuntungan bagi diri sendiri maupun kelompoknya. Politik itu hanya berisi janji-janji manis yang pasti dilupakan setelah orang-orang yang berpolitik tersebut mendapatkan kekuasaan.
            Pernyataan di atas tidak menutup kemungkinan juga dirasakan, dipahami atau bahkan dilakukan oleh gereja, warga gereja dan juga para pendeta di Indonesia. Politik pada umumnya dengan melihat realitas yang terjadi saat ini telah digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang di dalamnya ketidakadilan, kelicikan dan tipu muslihat merupakan hal yang biasa. Hal ini pun pada akhirnya turut berpengaruh pada keinginan gereja maupun warga gereja yang hendak berpolitik, yang banyak mendapat tanggapan kecurigaan, kritikan bahkan pertentangan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bagaimana Kekristenan di Indonesia belum memiliki sikap yang cukup jelas terhadap politik.

            Dalam usaha menemukan jalan keluar untuk ketegangan hubungan Gereja dan politik ini, maka menurut penulis ada beberapa permasalahan yang bisa dijumpai dalam penelitian ini. Permasalahan-permasalahannya adalah berupa sikap apolitis dari sebagian besar warga Gereja. Hubungan yang menegangkan ini menjadi pergumulan berat bagi Gereja untuk berada pada posisi seperti apa ketika berhadapan dengan politik. Gereja dalam arti sebagai persekutuan orang-orang percaya harus mampu untuk melihat secara holistik peranannya di dunia ini. Hal ini bisa terjadi apabila Gereja mampu memahami eksistensinya secara utuh juga. Namun, ini masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Siapa itu Gereja yang sesungguhnya? Dan apakah politik itu yang sesungguhnya? Ketika Gereja dan politik berjumpa apakah mereka hanya berada dipersimpangan jalan hidup di dunia ini? Atau adakah kemungkinan Gereja dan politik bisa berjalan bersama-sama di dunia ini untuk membangun suatu kehidupan yang baik? Mencari jalan keluar untuk hubungan Gereja dan politik yang masih tegang inilah yang menjadi fokus penelitian dengan harapan bahwa memang ada banyak jalan menuju ke Roma demi untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama dalam masyarakat kita.

Gereja adalah ekklesia (ek=keluar; kaleo=memanggil). Arti kata ini mengandung dua pengertian yang tak terpisahkan yakni bahwa Gereja adalah umat manusia yang dipanggil Allah keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terangNya atau umat yang bereksodus karena mendengar panggilan Allah; dan juga komunitas yang sedang berada dalam perjalanan untuk memperdengarkan panggilan dan undangan Allah itu agar semua orang masuk ke dalam keselamatan yang kekal sebagai anugerah dari TUHAN untuk umatNya. Intinya, gereja adalah umat yang dipanggil untuk diselamatkan dan memperdengarkan keselamtan itu kepada semua orang. Bukan umat yang duduk dan menunggu saja keselamatan dalam Kristus itu. Lebih konkret, William Barclay mencatat bahwa Yesus mengatakan dengan tegas bahwa Kekristenan harus dihayati di tengah-tengah persoalan dan hiruk-pikuk kehidupan, bukan untuk menarik diri dari kehidupan ramai dan persoalan kemasyarakatan. Gereja tidak menjauhkan manusia dari persoalan, melainkan membawa manusia ke dalam persoalan untuk dicari jalan keluarnya. (Timo 2007,   75-76).
            Selanjutnya, tentang politik. Kita sering mendengar yang namanya politik, namun banyak orang belum memahami dengan benar pengertian politik ini, termasuk oleh warga Gereja, bahkan mungkin saja oleh para pendeta.  Hal ini nampak dalam sikap apolitis dan merasa alergi dengan politik hingga menganggap politik itu dosa, politik itu kotor, dst. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mencoba kembali untuk membahas kembali pengertian politik ini. Dalam hal ini ada dua pengertian yaitu: (1) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa arti politik sebagai kata benda (noun) adalah:

1 (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah di akademi --; 2 segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain: -- dl dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dl bidang -- , ekonomi, dan kebudayaan; partai --; organisasi --; 3 cara bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan: -- dagang; -- bahasa nasional.(arti kata website 2012).

Pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini, politik tidak hanya diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan pemerintahan, sistem atau pun dasar dari suatu pemerintahan. Lebih luas lagi, yang menurut penulis menarik adalah politik merupakan cara bertindak dalam menangani atau menghadapi suatu masalah dan juga berhubungan dengan kebijaksanaan.
Sedangkan dalam pengertian menurut asal usul kata, politik adalah:

“Berasal dari bahasa Yunani yaitu “polis.” Artinya adalah negara kota, dan dari kata polis tersebut bisa didapatkan beberapa kata,  diantaranya :
  1. polities => warga negara
  2. politikos => kewarganegaraan
  3. politike episteme => ilmu politik
  4. Politicia => pemerintahan Negara
Jadi kalau kita tinjau dari asal kata tersebut pengertian politik secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.

Namun banyak versi dari pengertian politik tersebut, diantaranya :
  1. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
  2. Politik adalah bermacam-macam kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yg menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem di Indonesia dan melaksanakan tujuan-tujuan itu (Mirriam Budiharjo)
  3. Politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan / teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan / masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan / pembentukan dan penggunaan kekuasaan (Isjware)
  4. Politik adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yg dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik baik suprastruktur politik dan infrastruktur politik (Sri Sumantri)
  5. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Aristoteles)
  6. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
  7. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
  8. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Melihat banyak versi pengertian politik tersebut, maka sebenarnya bisa disimpulkan secara singkat bahwa “politik adalah siasat/cara  atau taktik untuk mencapai suatu tujuan tertentu” (Admin website 2012)

Melihat asal usul kata dan pengertian-pengetian politik tersebut, maka dalam hal ini penulis tertarik dengan pendapat Aristoteles bahwa politik adalah suatu usaha yang ditempuh oleh warga negara (masyarakat kota) untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Sesungguhnya politik itu mempunyai tujuan yang sangat mulia. Namun, sangat disayangkan karena tujuan tersebut telah berubah menjadi suatu yang sangat menakutkan, menggelikan, dan menjijikkan ketika orang mendengar tentang politik ini. Hal ini berawal dari suatu sikap yang sangat berani bahkan dianggap tak bermoral dari seorang filsuf politik Italia yang bernama Niccolo Machiavelli. Machiavelli lahir tahun 1469 di Florence, Italia dan meninggal pada tahun 1527. Ayahnya, seorang ahli hukum, tergolong anggota famili terkemuka, tetapi tidak begitu kaya. Ia termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan. Di satu sisi, karena pernyataannya yang kontroversial ini, Machiavelli dikutuk banyak orang selaku bajingan tak bermoral, tetapi di sisi lain ia dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya. Machiavelli salah satu dari sedikit penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi baik filosof maupun politikus.(Hart website 2012a). Penulis-penulis sebelumnya seperti Plato dan St. Augustine, telah mengaitkan politik dengan etika dan teologi. Machiavelli memperbincangkan sejarah dan politik sepenuhnya dalam kaitan manusiawi dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan moral. Menurut Machiavelli, masalah sentralnya, adalah bukan bagaimana rakyat harus bertingkah laku; bukannya siapa yang mesti berkuasa, tetapi bagaimana sesungguhnya orang bisa peroleh kekuasaan. Teori politik ini diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih realisitis dari pada sebelumnya tanpa mengecilkan arti penting pengaruh Machiavelli. Machiavelli secara tepat dapat dianggap salah satu dari pendiri penting pemikir politik modern. (Hart website 2012b). Pandangan Machiavelli inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi gereja pada umumnya ketika berusha untuk mengembalikan maksud dan tujuan politik yang sesungguhnya.
Sekularisasi yang mendefinisikan kembali agama dalam skop yang sempit, fokusnya yang sangat pribadi danspiritualitasnya talah membuat rintangan-rintangan konseptual yang dibangun antara iman dan politik-politik yang merugikan. Diasumsikan bahwa separasi iman dan politik tidak menghalangi keterlibatan agama dalam proses politik. Karakter agama yang dihubungkan oleh beberapa analist telah mendorong iman ke dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kategori-kategori yang dibuat oleh sekularisasi tersebut telah sering membuat kesulitan untuk menganalisa, membenarkan, dan menghargai aturan politik gereja atau kelompok agama lainnya. Model ini juga cenderung untuk mengurangi dan memiskinkan kehidupan politik dengan memindahkannya dari suatu dasar etika dan komunitas tertentu.(Chapman 1991, 43).
Perlu dipahami bahwa agama pada dasarnya memiliki kewajiban untuk memperhatikan berbagai aspek kehidupan manusia. Agama menyentuh dimensi religius, sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam kehidupan. Tidak busa mengecualikan satu aspek kehidupan atau lebih berarti mengkotak-kotakan kehidupan ini. Melalui pernyataan ini, maka tidak ada salahnya jika dikatakan bahwa secara tidak langsung umat kristiani, juga memiliki kewajiban untuk terlibat dalam dunia politik. Juga mengingat keberadaan mereka sebagai warga negara termasuk warga gereja yang dihadirkan Tuhan di dalam dunia ini untuk berkarya bagi dunia dan khususnya dalam hal ini bagi negara (Borrong 2006, 2).
Dalam situasi Israel, dalam Perjanjian Lama, kita lihat bahwa politik nampak dalam diri para nabi Tuhan yang mengawasi penggunaan kuasa oleh sang raja. Institusi kenabian itu berfungsi untuk mengawasi penggunaan kekuasaan agar dapat dijalankan dengan baik dan benar, yang tidak melupakan hati nurani. Hal ini setidaknya dapat menjadi acuan bagi gereja-gereja di Indonesia. Kini dalam situasi negara demokratis, sudah seharusnya pula gereja menyadari tugas dan tanggungjawabnya di dalam dunia, khususnya dalam politik dan pemerintahan bangsa. Gereja turut melakukan pengawasan dan mengeluarkan suara kenabiannya dalam hidup berbangsa dan bernegara (Agung 2004a, 42-43).
Di Israel kuno, telah memahami teokrasi dalam iman yang menjadi pusat normatif dari sistem politik. Pada masa kekaisaran Romawi, Kekristenan juga telah memiliki perkembangan yang kompleks dalam hubungan antara sosial, politik, ekonomi, dan struktur-struktur agama. Tempat ibadah bukan saja sebagai pusat dari ideologi agama tentang kemurnian dan kekudusan yang diperintahkan semua agama, politik, dan relasi sosial dalam komunitas Yahudi; tetapi juga harta benda nasional, kedudukan pemerintah, dan pengadilan tinggi. Yesus dilahirkan dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh dua keterhubungan sosial, poitik, ekonomi, dan sistem agama Yahudi dan kekaisaran Roma. Yesus tidak bisa mengabaikan panasnya kehidupan sosial, etika, dan isu-isu politik pada masaNya. Dengan kata lain, dalam menilai inkarnasi dan sifat sejarah dari pelayananNya, Yesus adalah merupakan bagian dari masyarakat Israel dengan semua ketegangan dan konflik politiknya. (Chapman 1991, 45-46).
Gereja dituntut untuk turut berpolitik dalam dunia ini. Untuk bisa memahami dan mengembalikan arti politik yang sebenarnya, Gereja harus belajar gaya, metode, dam kekuatan Yesus dalam bepolitik. Ketia Yesus sudah memasuki dunia pelayananNya yang memberitakan tentang Kerajaan Sorga, ia diperhadapkan dengan tiga kerajaan yang tegak lurus yang digambarkan dalam pencobaan terhadap Yesus di padang gurun. Tiga kerajaan itu dilambangkan dengan gunung, Bait Allah dan roti. Ketiganya saling berkaitan ibarat kaki kursi kerajaan yang Yesus bisa duduki sebagai Mesias politik yang handal menurut ukuran manusia. Ketiga macam pencobaan ini menunjuk kepada tiga pola perilaku yag tetap (pranata sosial) pada masa Yesus yaitu pranata politik (gunung), keagamaan (Bait Allah), dan ekonomi (roti). Gabungan ketiga pencobaan ini menawarkan kepada Yesus pemutaran kondisi sosial yang sungguh-sungguh dan penggenapan harapan bangsa Yahudi akan seorang Mesias yang akan menentang para penindas mereka termasuk dalam soal politik. (Krybill 1999, 21).
Sekarang kita akan mencoba untuk memahami gaya politik Yesus. Dalam seluruh kesaksian Injil, gaya Yesus berpolitik adalah bergaya radikal-ahimsa dalam pendekatan terhadap Perjanjian Lama. Radikal artinya benar-benar menuju kepada akar persoalan, mencari inti dan maksud Kitab Suci yang sebenarnya dan tidak mau puas dengan suatu legalisme yang harfiah seperti yang dibuat oleh ahli-ahli Taurat. Atau menafsirkan PL dengan sebenar-benarnya sebagai pedoman untuk mengenal kehendak Allah, bukan untuk menguatkan suatu sistem peraturan buatan manusia. (France 1996, 94). Yesus mengajarkan penggunaan ahimsa sebagai contoh logika Kerajaan Allah yang lebih tinggi. Hal ini diwujudkan melalui cinta kasih yang harus masuk untuk menyembuhkan dan membuat pihak-pihak yang bertikai saling menemukan nilai-nilai sejati dalam diri mereka. Yesus juga menganjurkan cita kasih yang radikal untuk mengalahkan kejahatan dengan kebaikan atau mengasihi musuh dan berbuat baik kepada orang-orang yang membenci kita. Sikap ini merupakan sikap yang universal dalam perjuangan-perjuangan untuk pembebasan. Misalnya dalam tindakan teologi pembebasan di Gereja-gereja Amerika Latin. Intisari teologi pembebasan ini ada tiga poin dengan tujuan untuk satu komitmen yaitu: (1) Makna yang benar dari keselamatan adalah meliputi pembebasan dalam setiap segi kehidupan, termasuk politik; (2) Keselamatan yang selengkapnya harus dicapai dalam dunia historis dan aktual; gereja harus memandang segala sesuatu dari perspektif konkret dan fungsional; (3) Bahasa teologi (gereja) dan struktur-struktur sosial secara politis dan mental saling bergantung. Berkomitmen kepada suatu praksis yang mendapat ilham dari Kitad Sucu dan bersifat realistis.(Wijgaards 1994, 187-188). Gereja melakukan hal-hal yang menolong masyarakat harus dalam semangat ahimsa yang aktif. Artinya, berperanan secara akti dalam politik untuk menjamin supaya keadilan diberikan kepada semua orang. Perlu penolakan penuh terhadap pandangan-pandangan yang tidak memadai dan tidak lurus dan ada perumusan jawaban Kristiani yang lebih realistis terhadap kekuasaan politik,penggolongan-penggolongan sosial, dan penindasan atau penderitaan yang ada. Jawaban Kristiani terdadap hal-hal ini adalah tanpa kekerasan (ahimsa).
Kemudian metode Yesus berpolitik adalah metode sungsang-relasional yang berlawanan dengan tatanan sosial yang berlaku. Sungsang  artinya Yesus membalikkan semua tradisi pranata sosial Yahudi yang tidak sesuai dengan firman atau kehendak Allah. Dalam bidang politik, Yesus membalikkan cara orang Yahudi dalam menilai kedudukan sosial seseorang, di mana mereka hanya melihat pada orang-orang kaya dan penguasa. Yesus tampil dengan sikap yang mengungkapkan jaringan relasi manusia yang telah menyerahkan hati dan hubungan-hubungannya kepada pemerintahan Allah, menyingkapkan siapa Allah itu melalui kehidupan, pengajaran, dan pelayananNya. Disebut kerajaan sungsang karena tiga alasan yaitu: (1) Kehidupan sosial mempunyai dimensi-dimensi vertikal seperti antara ketua komisi dan anggota-anggotanya; antara ahli hukum dengan pegawai toko biasa, dst. Kita tidak berada di dalam interaksi sosial pada lapangan yang datar. Tatanan sosial seperti inilah yang Yesus sungsangkan; (2) Kita lupa mempertanyakan tentang sesuatu yang terjadi. Nilai-nilai, keyakinan, dan norma masyarakat yang ada terlalu mendalam tatanannya dalam benak kita sehingga tidak lagi melihat kemugkinan-kemungkinan lain. Yesus mempertanyakan kembali semua nilai, keyakinan, dan norma yang ada karena tidak sesuai dengan kehendak Allah; (3) Kerajaan itu penuh dengan kejutan. Banyak perumpamaan, khotbah, dan tindakan Yesus yang mengejutkan orang-orang yang mendengar dan membacanya. (Krybill 1999, 2-8).
Kekuatan politik Yesus ada pada rasa dan sikap berbelas kasihan atau iba yang selalu diikuti dengan tindakan nyata. Kata “iba”, secara harfiah mengacu pada isi perut. Artinya, dianggap sebagai pusat perasaan yang sama seperti kita berbicara tentang “hati” yang bergejolak dalam diri. Rasa iba Yesus bergejolak dalam diriNya ketika melihat orang sakit, janda yang sakit, orang yang lapar dan umat yang seperti domba yang tanpa gembala. Yesus tidak pernah bersikap membangkang terhadap adat istiadat Yahudi atau bukan juga seorang revolusioner yang hanya ingin semua orang sederajat atau merobohkan tatanan masyarakat yang berdasarkan golongan atau status. Yesus hanya memperlakukan adat istiadat dapat disampingkan jika merintangi nilai-nilai yang lebih penting atau yang sesuai kehendak Allah. Yesus menyerang sikap orang-orang yang menyalahgunakan tatanan yang ada untuk memperbesar keegoisannya sendiri. Rasa iba Yesus selalu menunjuk kepada manusia sebagai pribadi. Siapa saja yang membutuhkan pertolonganNya, selalu ditolong bahkan yang membutuhkan pengampunan dosa, Yesus meyakinkan itu dalam kuasa Allah. Rasa iba hati Yesus sangat terfokus pada manusia yang dipedulikan Allah. Manusia diutamakan di atas peraturan-peraturan. Karena itu Kitab Suci PL harus ditafsirkan untuk memperhatikan manusa. Perasaan iba Yesus yang mudah tersentuh ini selalu dinyatakan dalam tindakan yang mengambil langkah-langkah guna mengatasi keadaan. Kekuatan rasa iba Yesus ini nampak juga dalam diri seorang Samaria yang baik hati, seorang ayah yang menyambut kembali anak bungsunya yang hilang dan bertobat.(France 1996, 79-81).
Gereja harus belajar dari gaya radikal, metode sungsang-relasional, dan kekuatan rasa iba politik Yesus tersebut jikalau ingin berpolitik. Gereja berbicara atau bersaksi dalam dunia politik yang didasarkan atas Firman Tuhan dan juga sebagai dasar dan motivasi gereja yang berbeda dari badan-badan politik. Implikasi politik terhadap Injil nampak dalam pengajaran Yesus. Seperti para nabi Israel sebelumnya Yesus juga mengajarkan suatu etika komitmen komplet yang lebih penting dari perbedaan antara iman dan politik. Bagi Yesus seperti untuk para nabi tanggungjawab perjanjian Allah secara luas untuk bidang politik dan kekuasaan. Yesus memperingatkan itu dengan kuasa dan hak bahwa mereka dilayani sebagai pelayan dari rakyat mereka dihadapan Allah yang suatu hari akan hakimi bagaimana mereka sudah menggunakan talenta mereka. Tantangan Yesus untuk keberadaan agama, sosial, dan kuasa politik dibuktikan sehingga kematianNya pada salib sebagai seorang revolusioner politik. Pencobaan dan kematianNya adalah peristiwa politik. Metodologi-metodologi baru untuk pelajari Kitab Suci memungkinkan teks untuk berbicara untuk kebudayaan dan situasi-situasi sosial telah membantu untuk memperoleh arti dan implikasi politik dari kehidipan dan ajaran-ajaran Yesus. John Howard Yoder, mengidentifikasikan Yesus dengan visi Yobel tentang pemulihan dan pembaruan melukiskan Kerajaan Allah yang diantisipasi oleh Yesus sebagai suatu visi sosio-politik, ekonomi, restrukturisasi  hubungan antara umat Allah.  Bagi Yoder, salib dan makhota adalah dua pilihan konfrontasi politik Yesus dan dia menganggap bahwa dalam kerangka kerja dari tindakan politik radikal, pelayanan salib bukan suatu alat yang menentukan secara ritual untuk perdamaian tetapi sebagai alternatif politik untuk pemberontakan dan ketenangan. (Chapman 1991, 46-48).
Sisi lain yang harus dilakukan Gereja adalah kesetiaan pada Injil. Sebuah kesetiaan menyangkut hal yang hakiki yakni tetap setia kepada visi Yesus atau kepada apa yang diwahyukanNya kepada kita tentang Allah, kepada asas-asasNya, dan kepada persatuan umat beriman yang dimulaiNya. Kesetiaan ini memerlukan keterbukaan kepada perubahan. Artinya, semua firman yang disampaikan Yesus memerlukan penyempurnaan dan penafsiran, ibarat benih yang akan perlu pertumbuhan. Kita tidak boleh lupa bahwa Yesus berbicara dengan bahasa manusia dan mengucapkan firman yang hidup. Gereja harus mendengarkan penafsiran baru, termasuk untuk hal-hal politik yang dinamis dengan cara-cara baru yang menjawwab situasi kita sendiri. (Wijngaards 1994, 93).
Gereja hadir dalam dunia dengan visi dan misi yang luhur. Hal ini hendak menegaskan bahwa tidak ada satu wilayah atau dunia yang asing bagi pemberitaan kabar keselamatan, termasuk dunia politik (Agung 2004b, 44). Politik merupakan ‘jalan’ untuk mengatur masyarakat, dimana masyarakat umum dapat hidup berdampingan dalam kehidupannya sehari-hari. Politik itulah yang merelasikan kita dengan orang lain melalui perjanjian, peraturan, hukum, dan institusi. Dengan kata lain, politik juga mengatur relasi manusia (Clifford 1984, 1-2).
            Gereja perlu menyadari sepenuhnya arti penting politik bagi perwujudan ideal sebuah masyarakat dan lebih jauh lagi perwujudan kehendak Allah atas kehidupan orang banyak. Gereja memiliki kewajiban untuk mendorong semua orang yang memiliki minat terhadap politik untuk mempersiapkan diri bagi “panggilan sebagai politikus”, sekaligus diingatkan bahwa mereka yang menjalankan panggilan ini adalah orang-orang yang memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, berani menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap orang atau kelompok lain, adil, jujur dan membaktikan dirinya demi kepentingan seluruh masyarakat. Inilah yang disebut berpolitik secara radikal. (Kleden 2003, 206).         
Perlu juga kita pahami bagaimana kita sebagai orang Kristen bersikap terhadap politik. Dalam perspektif teologi Kristen, etika politik merupakan upaya dan proses merealisasikan kehendak Allah di dalam seluruh proses politik. Segala keputusan, tindakan dan cakupan politik harus didasari pada kehendak Allah (Sirait 2006,  42). Gereja dalam arti orang-orang percaya yang memang benar-benar berniat untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan dapat dipercaya sebagai agen perubahan untuk hidup yang lebih baik. Untuk menegaskan hal itu, ada 5 nilai etis yang mendasar yang perlu diperhatikan dalam dunia orang-orang yang berpolitik. (Borrong 2006, 4-9):

1.       Hati nurani/kata hati : bertindak menurut hati nurani untuk memperingatkan agar manusia tidak salah langkah dan untuk menegur agar manusia menyesal dan melakukan koreksi jika ia membuat keputusan atau tindakan yang salah.
2.       Adil : mengusahakan tegaknya keadilan di tengah masyarakat (justice for all) sehingga kebaikan dan kebenaran Tuhan terwujud dalam seluruh kehidupan rakyat.
3.       Jujur : tidak melakukan pembohongan, mengumbar janji palsu dan mengelabui rakyat.
4.       Rendah hati : karena terkadang politik berurusan dengan kekuasaan dan kekuasaan dapat membuat orang menjadi takabur, arogan, sombong dan menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas dan memeras rakyat.
5.       Keberanian : politik berurusan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan yang seringkali dirugikan oleh pihak tertentu, maka para politisi perlu memiliki keberanian untuk membela hak-hak rakyat.

Nilai-nilai etis ini akan jauh lebih berguna lagi jika Gereja menyatakannya dalam hal-hal yang baik demi terwujudnya suatu perubahan termasuk dalam bidang kehidupan politik. Berikut ini ada beberapa contoh yang diberikan oleh Yesus bagi Gereja yang menanggapi Allah dan mau hidup dalam corak dunia Allah untuk mewujudkan Kerajaan Allah di bumi ini a.l: (Wijngaards 1994, 172).

(1) Orang Samaria yang baik hati. Memiliki hati yang harus membantu siapa pun yang ditemui di jalan dan yang sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan; (2) Cerita tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Gereja tidak boleh merendahkan orang lain; (3) Perilaku anak yang kakak dari anak yang bungsu yang hilang. Gereja tidak boleh berperilaku yang tidak mau menyambut orang yang mau bertobat; (4) Kerja keras untuk mencari domba yang hilang sampai dapat. Gereja harus bekerja keras untuk menyelamatkan mereka yang mengalami kesulitan sampai mereka selamat; (5) Gereja harus berbelaskasihan (merasa iba) dan menjadi pengupaya damai; (6) Gereja tidak boleh menguasai orang lain seperti yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin politik kotor, tetapi mengabdikan diri, melayani, dan rendah hati; (7) Gereja harus mau mengundang makan orang-orang yang tidak bisa membalas jasanya. Gereja tidak boleh hanya terfokus pada anggota-anggotanya saja, tetapi orang lain juga.  

            Etika Gereja dalam menghadapi politik di zaman sekarang sangat penting demi terwujudnya partisipasi Gereja dalam berpolitik secara baik dan benar dengan kembali kepada tujuan mulia dari politik itu sendiri. Hal paling sederhana tapi tidak sepele yang dapat dilakukan Gereja guna membangun etika politik adalah peribadahan kita. Misalnya, dalam doa-doa syafaat, Gereja harus mendoakan hal-hal yang konkret atau tidak terus menerus bedoa untuk hal-hal yang baik saja. Dalam dunia ini selalu ada struktur dan kuasa yang sangat mempesonakan mulai dari tingkat yang tinggi sampai ke dalam rumah tangga yang hidup dalam kasih. Demi menjaga kemurnian iman yang berhadapan dengan struktur dan kuasa itu, satu-satunya cara untuk melawan struktur dan kuasa yang mempesona itu adalah dengan sungguh-sunguh memperlihatkan solidaritas pada mereka yang lemah atau yang memiliki stuktur yang lemah atau non-dominan. Sikap-sikap etis secara politis sangat dibutuhkan oleh Gereja a.l: Pertama, sikap yang didasarkan atas iman kepada Tuhan yag satu-satunya penolong dalam keadaan senang dan susah; Kedua, menjalin kemitraan lewat relasi dan komunikasi dengan lembaga politik termasuk pemerintah adalah bagian dari etika politik. Yohanes Calvin, sang Reformator memberi kualifikasi atas ketundukkan orang Kristen yang tanpa syarat. Iman Kristen menuntut para pengikutnya agar tidak memberi kepatuhan tanpa syarat kepada siapa pun dan apa pun; Ketiga, membangun jembatan dengan masyarakat seabgai kairosi yang diberikan oleh Tuhan kepada Gereja. Gereja rela untuk melakukan pekerjaan=pekerjaan yang mendekatkan diri dengan masyarakat dan berbela rasa dengan korban-korban di dalam masyarakat.(Singgih 2004, 35-40).
Proses-proses ini dimulai dari gereja-gereja lokal melalui gerakan transformasi. Transformasi adalah suatu proses berkelanjutan yang melaluinya kita sebagai pribadi dapat memahami dan menaati perintah-perintah Kristus. Transformasi dimulai dari pribadi lalu diperluas kepada keluarga, masyarakat, dan bangsa. Berkaitan dengan hal politik ini, kita fokus pada arti transformasi masyarakat dan bangsa. Gereja berada di pusat transformasi pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Allah merencanakan gereja memuridkan bangsa-bangsa dengan cara mematuhi kehendak Allah di setiap bidang kehidupan dan masyarakat termasuk politik ini. (Moffitt 2010a, 213-221). Ada enam alasan Gereja lokal mempengaruhi masyarakat untuk melakukan transformasi yaitu: (1) Gereja lokal mempunyai mandat pelayanan menyeluruh. Gereja memiliki visi untuk masyarakat dalam kehidupan fisik, rohani, sosial, dan intelektual. Juga tidak membatasi diri dalam satu atau dua bidang kehidupan saja, tetapi melayani semua bidang kehidupan dalam agenda besar Allah; (2) Gereja lokal terus menerus melengkapi jemaatnya. Melengkapi artinya membangun keterampilan, sikap, pemahaman, kemampuan, karunia rohani, iman, dan kesetiaan; (3) Gereja lokal menggambarkan kepelbagaian yang besar dari suatu masyarakat; (4) Gereja lokal itu asli pribumi (indigenous). (5) Pelayanan Gereja lokal dapat bertahan. (6) Gereja lokal dirancang untuk keterlibatannya seumur hidup dengan para anggotanya. (Moffitt 2010b, 235-237)
Akhirnya, Gereja perlu menggumuli dan merumuskan segala hal yang terjadi dalam kehidupan politik bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang bercirikan kesejahteraan hidup seluruh ciptaan Tuhan, keadilan, kejujuran dan kebenaran. Selain itu, inilah yang kemudian menjadi bagian dari proses perealisasian kehendak Allah, mulai dari komunitas politik pada suatu  bangsa hingga relasi antar-bangsa (Sirait 2006, 42,45).

Tujuan khusus tulisan ini adalah untuk memberi penyadaran kepada Gereja supaya kembali belajar cara berpolitik yang baik dari Yesus Kristus. Hal ini, dapat terwujud jikalau Gereja mau menerapkan gaya, metode, dan kekuatan politik Yesus. Gayanya secar radikal-ahimsa, metodenya, sungsang-relasional, dan kekuatannya adalah ras belas kasihan terhadap orang-orang trtindas. Sedangkan tujuan umumnya adalah supaya menyaksikan kepada dunia ini tahu bahwa Yesus juga terlibat secara utuh dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal politik. Dengan demikian Gereja akan mampu untuk berpolitik berdasarkan maksud mulia dari politik itu dan Gereja tidak lagi menganggap politik itu kotor dan berdosa. Penyadaran dan penyaksian ini harus dimulai dari pribadi orang-orang Kristen lewat nilai-nilai eti dan bahka lewat pemberitaan firman dari atas mimbar Gereja. Ya, para pelayan (pendeta) harus memahami politik dengan baik dan benar agar tidak iktu-ikutan merasa alergi dengan politik. Siapa takut?


_____________________________

Daftar Acuan

Buku-buku

Agung, Mianto N., peny. 2004. Yesus dan Politik. Jakarta : Komunitas Nisita.

Borrong, Robert. P. 2006. Etika Politik Kristen. Jakarta : Unit Publikasi dan Informasi dan Pusat Studi Etika STT Jakarta.

Chapman, Audrey R. 1991. Faith, Power, and Politics. New York: The Pilgram Press.

Clifford, Paul R. 1984. Politics and the Christian Vision. London : SCM Press Ltd.

France, R.T. 1996. Yesus Sang Radikal. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kleden, Paulus Budi. 2003. Teologi Terlibat. Maumere : Ledalero.

Kraybill, Donald B. 1999. Kerajaan Yang Sungsang. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Moffitt, Bob dan Karla Tesch. 2010. Andaikan Yesus Kepala Daerah. Terj Sadrak Kurang. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.

Singgih, Emanuel Gerrit. 2004. Iman & Politik dalam Era Rerformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sirait, Saut. 2006. Politik Kristen di Indonesia. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Timo, Eben Nuban. 2007. Foni Bil Metan: Kemitraan Israel, Gereja, dan Agama-Agama dalam Sebuah Mitos dari Timor. Maumere: (Anggota IKAPI) Seminari Tinggi Ledalero Maumere.

Wijgaards, John. Yesus Sang Pembebas. Yogyakarta: Kanisius.

Website di Internet

Wikipedia. www.artikata.com/arti.345653.html.

Admin. Pengertian Politik. http://revolsirait.com/pengertian-politik/politik.

Michael H. Hart. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
http://media.isnet.org/iptek/100/index.html.                                        







                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar