GEREJA TUHAN DAN POLITIK
Oleh: Pdt. Ruben Tallo
Mengapa orang
Kristen harus melibatkan diri dalam politik? Jawabnya amat sederhana : karena
tidak ada pilihan lain. Memilih untuk bersikap tidak mau tahu soal politik
alias apolitik pun adalah pilihan politis. Ada yang mengatakan bahwa
keterlibatan politik bukan hanya merupakan sebuah keharusan praktis (karena
tidak terhindarkan), melainkan juga sebuah keharusan teologis, sebuah wujud
dari ketaatan iman. (Darmaputera 2004, xii)
Segala
sesuatu yang diciptakan Allah pada mulanya adalah sungguh amat baik adanya,
termasuk politik. Namun ketika dosa masuk ke dalam kehidupan seluruh makhluk
itu, maka manusia menjadi sangat sulit untuk membedakan mana yang sesuai
kehendak Allah dan mana yang tidak sesuai kehendakNya. Misalnya, hubungan
antara dan Gereja dan politik ini menjadi suatu yang menegangkan sepanjang
sejarah hidup ini. Bagi orang-orang Kristen, mengenai Gereja tidak terlalu
sulit untuk memahaminya; namun ketika berbicara dan mendengar soal politik akan
mengalami ketegangan yang tinggi. Hal ini kita bisa rasakan lewat berbagai
reaksi dari warga gereja bahkan dari para pendeta itu sendiri. Mengapa hal ini
terjadi? Karena masih kuatnya pengaruh pola berpikir dualisme antara yang
transenden dan profan, antara sorga dan dunia, antara iman dan ilmu, antara
yang rohani dan duniawi, dst. Politik
itu kotor, politik itu penuh dengan kebohongan, politik itu berisi bualan dan
politik itu dijalankan oleh orang-orang yang suka menipu dan mencari keuntungan
bagi diri sendiri maupun kelompoknya. Politik itu hanya berisi janji-janji
manis yang pasti dilupakan setelah orang-orang yang berpolitik tersebut
mendapatkan kekuasaan.
Pernyataan di atas tidak menutup
kemungkinan juga dirasakan, dipahami atau bahkan dilakukan oleh gereja, warga
gereja dan juga para pendeta di Indonesia. Politik pada umumnya dengan melihat
realitas yang terjadi saat ini telah digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang
di dalamnya ketidakadilan, kelicikan dan tipu muslihat merupakan hal yang
biasa. Hal ini pun pada akhirnya turut berpengaruh pada keinginan gereja maupun
warga gereja yang hendak berpolitik, yang banyak mendapat tanggapan kecurigaan,
kritikan bahkan pertentangan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan
bagaimana Kekristenan di Indonesia belum memiliki sikap yang cukup jelas
terhadap politik.
Dalam
usaha menemukan jalan keluar untuk ketegangan hubungan Gereja dan politik ini,
maka menurut penulis ada beberapa permasalahan yang bisa dijumpai dalam
penelitian ini. Permasalahan-permasalahannya adalah berupa sikap apolitis dari
sebagian besar warga Gereja. Hubungan yang menegangkan ini menjadi pergumulan
berat bagi Gereja untuk berada pada posisi seperti apa ketika berhadapan dengan
politik. Gereja dalam arti sebagai persekutuan orang-orang percaya harus mampu
untuk melihat secara holistik peranannya di dunia ini. Hal ini bisa terjadi
apabila Gereja mampu memahami eksistensinya secara utuh juga. Namun, ini masih
menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Siapa itu Gereja yang sesungguhnya?
Dan apakah politik itu yang sesungguhnya? Ketika Gereja dan politik berjumpa
apakah mereka hanya berada dipersimpangan jalan hidup di dunia ini? Atau adakah
kemungkinan Gereja dan politik bisa berjalan bersama-sama di dunia ini untuk
membangun suatu kehidupan yang baik? Mencari jalan keluar untuk hubungan Gereja
dan politik yang masih tegang inilah yang menjadi fokus penelitian dengan
harapan bahwa memang ada banyak jalan menuju ke Roma demi untuk kebaikan dan
kebahagiaan bersama dalam masyarakat kita.
Gereja adalah ekklesia (ek=keluar; kaleo=memanggil).
Arti kata ini mengandung dua pengertian yang tak terpisahkan yakni bahwa Gereja
adalah umat manusia yang dipanggil Allah keluar dari kegelapan untuk masuk ke
dalam terangNya atau umat yang bereksodus karena mendengar panggilan Allah; dan
juga komunitas yang sedang berada dalam perjalanan untuk memperdengarkan
panggilan dan undangan Allah itu agar semua orang masuk ke dalam keselamatan
yang kekal sebagai anugerah dari TUHAN untuk umatNya. Intinya, gereja adalah
umat yang dipanggil untuk diselamatkan dan memperdengarkan keselamtan itu
kepada semua orang. Bukan umat yang duduk dan menunggu saja keselamatan dalam
Kristus itu. Lebih konkret, William Barclay mencatat bahwa Yesus mengatakan
dengan tegas bahwa Kekristenan harus dihayati di tengah-tengah persoalan dan
hiruk-pikuk kehidupan, bukan untuk menarik diri dari kehidupan ramai dan
persoalan kemasyarakatan. Gereja tidak menjauhkan manusia dari persoalan,
melainkan membawa manusia ke dalam persoalan untuk dicari jalan keluarnya.
(Timo 2007, 75-76).
Selanjutnya,
tentang politik. Kita sering mendengar yang namanya politik, namun banyak orang
belum memahami dengan benar pengertian politik ini, termasuk oleh warga Gereja,
bahkan mungkin saja oleh para pendeta.
Hal ini nampak dalam sikap apolitis dan merasa alergi dengan politik
hingga menganggap politik itu dosa, politik itu kotor, dst. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis mencoba kembali untuk membahas kembali pengertian
politik ini. Dalam hal ini ada dua pengertian yaitu: (1) Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia bahwa arti politik sebagai kata benda (noun) adalah:
1 (pengetahuan)
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar
pemerintahan): bersekolah di akademi
--; 2 segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain: -- dl dan luar negeri; kedua negara itu
bekerja sama dl bidang -- , ekonomi, dan kebudayaan; partai --; organisasi --;
3 cara bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah);
kebijaksanaan: -- dagang; --
bahasa nasional.(arti kata website 2012).
Pengertian
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini, politik tidak hanya diartikan sebagai
hal yang berhubungan dengan pemerintahan, sistem atau pun dasar dari suatu
pemerintahan. Lebih luas lagi, yang menurut penulis menarik adalah politik
merupakan cara bertindak dalam menangani atau menghadapi suatu masalah dan juga
berhubungan dengan kebijaksanaan.
Sedangkan dalam pengertian menurut
asal usul kata, politik adalah:
“Berasal dari
bahasa Yunani yaitu “polis.” Artinya adalah negara kota, dan dari kata polis
tersebut bisa didapatkan beberapa kata, diantaranya :
- polities
=> warga negara
- politikos
=> kewarganegaraan
- politike
episteme => ilmu politik
- Politicia
=> pemerintahan Negara
Jadi
kalau kita tinjau dari asal kata tersebut pengertian politik secara umum dapat
dikatakan bahwa politik adalah kegiatan
dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan
dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.
Namun
banyak versi dari pengertian politik tersebut, diantaranya :
- Politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.
- Politik
adalah bermacam-macam kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yg
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem di Indonesia dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu (Mirriam Budiharjo)
- Politik
adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan / teknik menjalankan
kekuasaan-kekuasaan / masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan /
pembentukan dan penggunaan kekuasaan (Isjware)
- Politik
adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yg dilembagakan dalam
bermacam-macam badan politik baik suprastruktur politik dan infrastruktur
politik (Sri Sumantri)
- Politik
adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(Aristoteles)
- Politik
adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
- Politik
merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat.
- Politik
adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
Melihat
banyak versi pengertian politik tersebut, maka sebenarnya bisa
disimpulkan secara singkat bahwa “politik adalah siasat/cara atau taktik untuk mencapai suatu
tujuan tertentu” (Admin website 2012)
Melihat asal usul kata dan
pengertian-pengetian politik tersebut, maka dalam hal ini penulis tertarik
dengan pendapat Aristoteles bahwa politik adalah suatu usaha yang ditempuh oleh
warga negara (masyarakat kota) untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Sesungguhnya politik itu mempunyai
tujuan yang sangat mulia. Namun, sangat disayangkan karena tujuan tersebut
telah berubah menjadi suatu yang sangat menakutkan, menggelikan, dan
menjijikkan ketika orang mendengar tentang politik ini. Hal ini berawal dari
suatu sikap yang sangat berani bahkan dianggap tak bermoral dari seorang filsuf
politik Italia yang bernama Niccolo Machiavelli. Machiavelli lahir tahun 1469
di Florence, Italia dan meninggal pada tahun 1527. Ayahnya, seorang ahli hukum,
tergolong anggota famili terkemuka, tetapi tidak begitu kaya. Ia termasyhur
karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa seorang penguasa yang ingin tetap
berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik
dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan. Di satu
sisi, karena pernyataannya yang kontroversial ini, Machiavelli dikutuk banyak
orang selaku bajingan tak bermoral, tetapi di sisi lain ia dipuja oleh lainnya
selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya.
Machiavelli salah satu dari sedikit penulis yang hasil karyanya begitu dekat
dengan studi baik filosof maupun politikus.(Hart website 2012a). Penulis-penulis
sebelumnya seperti Plato dan St. Augustine, telah mengaitkan politik dengan
etika dan teologi. Machiavelli memperbincangkan sejarah dan politik sepenuhnya
dalam kaitan manusiawi dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan moral. Menurut
Machiavelli, masalah sentralnya, adalah bukan bagaimana rakyat harus bertingkah
laku; bukannya siapa yang mesti berkuasa, tetapi bagaimana sesungguhnya orang bisa peroleh kekuasaan. Teori politik
ini diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih realisitis dari pada
sebelumnya tanpa mengecilkan arti penting pengaruh Machiavelli. Machiavelli secara
tepat dapat dianggap salah satu dari pendiri penting pemikir politik modern.
(Hart website 2012b). Pandangan
Machiavelli inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi gereja pada umumnya
ketika berusha untuk mengembalikan maksud dan tujuan politik yang sesungguhnya.
Sekularisasi
yang mendefinisikan kembali agama dalam skop yang sempit, fokusnya yang sangat
pribadi danspiritualitasnya talah membuat rintangan-rintangan konseptual yang
dibangun antara iman dan politik-politik yang merugikan. Diasumsikan bahwa
separasi iman dan politik tidak menghalangi keterlibatan agama dalam proses
politik. Karakter agama yang dihubungkan oleh beberapa analist telah mendorong
iman ke dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kategori-kategori yang dibuat
oleh sekularisasi tersebut telah sering membuat kesulitan untuk menganalisa,
membenarkan, dan menghargai aturan politik gereja atau kelompok agama lainnya.
Model ini juga cenderung untuk mengurangi dan memiskinkan kehidupan politik
dengan memindahkannya dari suatu dasar etika dan komunitas tertentu.(Chapman
1991, 43).
Perlu
dipahami bahwa agama pada dasarnya memiliki kewajiban untuk memperhatikan
berbagai aspek kehidupan manusia. Agama menyentuh dimensi religius, sosial,
budaya, politik, dan ekonomi dalam kehidupan. Tidak busa mengecualikan satu
aspek kehidupan atau lebih berarti mengkotak-kotakan kehidupan ini. Melalui
pernyataan ini, maka tidak ada salahnya jika dikatakan bahwa secara tidak
langsung umat kristiani, juga memiliki kewajiban untuk terlibat dalam dunia
politik. Juga mengingat keberadaan mereka sebagai warga negara termasuk warga
gereja yang dihadirkan Tuhan di dalam dunia ini untuk berkarya bagi dunia dan
khususnya dalam hal ini bagi negara (Borrong 2006, 2).
Dalam
situasi Israel, dalam Perjanjian Lama, kita lihat bahwa politik nampak dalam
diri para nabi Tuhan yang mengawasi penggunaan kuasa oleh sang raja. Institusi
kenabian itu berfungsi untuk mengawasi penggunaan kekuasaan agar dapat
dijalankan dengan baik dan benar, yang tidak melupakan hati nurani. Hal ini
setidaknya dapat menjadi acuan bagi gereja-gereja di Indonesia. Kini dalam
situasi negara demokratis, sudah seharusnya pula gereja menyadari tugas dan
tanggungjawabnya di dalam dunia, khususnya dalam politik dan pemerintahan
bangsa. Gereja turut melakukan pengawasan dan mengeluarkan suara kenabiannya
dalam hidup berbangsa dan bernegara (Agung 2004a, 42-43).
Di
Israel kuno, telah memahami teokrasi dalam iman yang menjadi pusat normatif
dari sistem politik. Pada masa kekaisaran Romawi, Kekristenan juga telah
memiliki perkembangan yang kompleks dalam hubungan antara sosial, politik,
ekonomi, dan struktur-struktur agama. Tempat ibadah bukan saja sebagai pusat
dari ideologi agama tentang kemurnian dan kekudusan yang diperintahkan semua
agama, politik, dan relasi sosial dalam komunitas Yahudi; tetapi juga harta
benda nasional, kedudukan pemerintah, dan pengadilan tinggi. Yesus dilahirkan
dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh dua keterhubungan sosial, poitik,
ekonomi, dan sistem agama Yahudi dan kekaisaran Roma. Yesus tidak bisa mengabaikan
panasnya kehidupan sosial, etika, dan isu-isu politik pada masaNya. Dengan kata
lain, dalam menilai inkarnasi dan sifat sejarah dari pelayananNya, Yesus adalah
merupakan bagian dari masyarakat Israel dengan semua ketegangan dan konflik
politiknya. (Chapman 1991, 45-46).
Gereja
dituntut untuk turut berpolitik dalam dunia ini. Untuk bisa memahami dan
mengembalikan arti politik yang sebenarnya, Gereja harus belajar gaya, metode,
dam kekuatan Yesus dalam bepolitik. Ketia Yesus sudah memasuki dunia
pelayananNya yang memberitakan tentang Kerajaan Sorga, ia diperhadapkan dengan
tiga kerajaan yang tegak lurus yang digambarkan dalam pencobaan terhadap Yesus
di padang gurun. Tiga kerajaan itu dilambangkan dengan gunung, Bait Allah dan
roti. Ketiganya saling berkaitan ibarat kaki kursi kerajaan yang Yesus bisa
duduki sebagai Mesias politik yang handal menurut ukuran manusia. Ketiga macam
pencobaan ini menunjuk kepada tiga pola perilaku yag tetap (pranata sosial)
pada masa Yesus yaitu pranata politik (gunung), keagamaan (Bait Allah), dan ekonomi
(roti). Gabungan ketiga pencobaan ini menawarkan kepada Yesus pemutaran kondisi
sosial yang sungguh-sungguh dan penggenapan harapan bangsa Yahudi akan seorang
Mesias yang akan menentang para penindas mereka termasuk dalam soal politik. (Krybill
1999, 21).
Sekarang
kita akan mencoba untuk memahami gaya politik Yesus. Dalam seluruh kesaksian
Injil, gaya Yesus berpolitik adalah bergaya radikal-ahimsa dalam
pendekatan terhadap Perjanjian Lama. Radikal
artinya benar-benar menuju kepada akar persoalan, mencari inti dan maksud Kitab
Suci yang sebenarnya dan tidak mau puas dengan suatu legalisme yang harfiah
seperti yang dibuat oleh ahli-ahli Taurat. Atau menafsirkan PL dengan
sebenar-benarnya sebagai pedoman untuk mengenal kehendak Allah, bukan untuk
menguatkan suatu sistem peraturan buatan manusia. (France 1996, 94). Yesus mengajarkan penggunaan ahimsa
sebagai contoh logika Kerajaan Allah
yang lebih tinggi. Hal ini diwujudkan melalui cinta kasih yang harus masuk
untuk menyembuhkan dan membuat pihak-pihak yang bertikai saling menemukan
nilai-nilai sejati dalam diri mereka. Yesus juga menganjurkan cita kasih
yang radikal untuk mengalahkan kejahatan dengan kebaikan atau mengasihi musuh
dan berbuat baik kepada orang-orang yang membenci kita. Sikap ini merupakan
sikap yang universal dalam perjuangan-perjuangan untuk pembebasan. Misalnya
dalam tindakan teologi pembebasan di Gereja-gereja Amerika Latin. Intisari
teologi pembebasan ini ada tiga poin dengan tujuan untuk satu komitmen yaitu:
(1) Makna yang benar dari keselamatan adalah meliputi pembebasan dalam setiap
segi kehidupan, termasuk politik; (2) Keselamatan yang selengkapnya harus
dicapai dalam dunia historis dan aktual; gereja harus memandang segala sesuatu
dari perspektif konkret dan fungsional; (3) Bahasa teologi (gereja) dan
struktur-struktur sosial secara politis dan mental saling bergantung.
Berkomitmen kepada suatu praksis yang mendapat ilham dari Kitad Sucu dan
bersifat realistis.(Wijgaards 1994, 187-188). Gereja melakukan hal-hal yang
menolong masyarakat harus dalam semangat ahimsa
yang aktif. Artinya, berperanan secara akti dalam politik untuk menjamin supaya
keadilan diberikan kepada semua orang. Perlu penolakan penuh terhadap pandangan-pandangan
yang tidak memadai dan tidak lurus dan ada perumusan jawaban Kristiani yang
lebih realistis terhadap kekuasaan politik,penggolongan-penggolongan sosial,
dan penindasan atau penderitaan yang ada. Jawaban Kristiani terdadap hal-hal
ini adalah tanpa kekerasan (ahimsa).
Kemudian
metode Yesus berpolitik adalah metode sungsang-relasional yang berlawanan
dengan tatanan sosial yang berlaku. Sungsang
artinya Yesus membalikkan semua tradisi pranata
sosial Yahudi yang tidak sesuai dengan firman atau kehendak Allah. Dalam bidang
politik, Yesus membalikkan cara orang Yahudi dalam menilai kedudukan sosial
seseorang, di mana mereka hanya melihat pada orang-orang kaya dan penguasa. Yesus
tampil dengan sikap yang mengungkapkan jaringan relasi manusia yang telah menyerahkan hati
dan hubungan-hubungannya kepada pemerintahan Allah, menyingkapkan siapa Allah
itu melalui kehidupan, pengajaran, dan pelayananNya.
Disebut kerajaan sungsang karena tiga alasan yaitu: (1) Kehidupan sosial mempunyai dimensi-dimensi vertikal seperti antara
ketua komisi dan anggota-anggotanya; antara ahli hukum dengan pegawai toko
biasa, dst. Kita tidak berada di dalam interaksi sosial pada lapangan yang
datar. Tatanan sosial seperti inilah yang Yesus sungsangkan; (2) Kita lupa mempertanyakan tentang sesuatu
yang terjadi. Nilai-nilai, keyakinan, dan norma masyarakat yang ada terlalu
mendalam tatanannya dalam benak kita sehingga tidak lagi melihat
kemugkinan-kemungkinan lain. Yesus mempertanyakan kembali semua nilai,
keyakinan, dan norma yang ada karena tidak sesuai dengan kehendak Allah; (3) Kerajaan itu penuh dengan kejutan. Banyak
perumpamaan, khotbah, dan tindakan Yesus yang mengejutkan orang-orang yang
mendengar dan membacanya. (Krybill 1999, 2-8).
Kekuatan
politik Yesus ada pada rasa dan sikap berbelas kasihan atau iba yang selalu diikuti dengan
tindakan nyata. Kata “iba”, secara harfiah mengacu pada isi perut. Artinya, dianggap sebagai pusat perasaan yang sama
seperti kita berbicara tentang “hati” yang bergejolak dalam diri. Rasa iba
Yesus bergejolak dalam diriNya ketika melihat orang sakit, janda yang sakit,
orang yang lapar dan umat yang seperti domba yang tanpa gembala. Yesus
tidak pernah bersikap membangkang terhadap adat istiadat Yahudi atau bukan juga
seorang revolusioner yang hanya ingin semua orang sederajat atau merobohkan
tatanan masyarakat yang berdasarkan golongan atau status. Yesus hanya
memperlakukan adat istiadat dapat disampingkan jika merintangi nilai-nilai yang
lebih penting atau yang sesuai kehendak Allah. Yesus menyerang sikap
orang-orang yang menyalahgunakan tatanan yang ada untuk memperbesar
keegoisannya sendiri. Rasa iba Yesus selalu menunjuk kepada manusia sebagai
pribadi. Siapa saja yang membutuhkan pertolonganNya, selalu ditolong bahkan yang
membutuhkan pengampunan dosa, Yesus meyakinkan itu dalam kuasa Allah. Rasa iba
hati Yesus sangat terfokus pada manusia yang dipedulikan Allah. Manusia
diutamakan di atas peraturan-peraturan. Karena itu Kitab Suci PL harus
ditafsirkan untuk memperhatikan manusa. Perasaan iba Yesus yang mudah tersentuh
ini selalu dinyatakan dalam tindakan yang mengambil langkah-langkah guna
mengatasi keadaan. Kekuatan rasa iba Yesus ini nampak juga dalam diri seorang
Samaria yang baik hati, seorang ayah yang menyambut kembali anak bungsunya yang
hilang dan bertobat.(France 1996, 79-81).
Gereja
harus belajar dari gaya radikal, metode sungsang-relasional, dan kekuatan rasa
iba politik Yesus tersebut jikalau ingin berpolitik. Gereja berbicara atau
bersaksi dalam dunia politik yang didasarkan atas Firman Tuhan dan juga sebagai
dasar dan motivasi gereja yang berbeda dari badan-badan politik. Implikasi
politik terhadap Injil nampak dalam pengajaran Yesus. Seperti para nabi Israel
sebelumnya Yesus juga mengajarkan suatu etika komitmen komplet yang lebih
penting dari perbedaan antara iman dan politik. Bagi Yesus seperti untuk para
nabi tanggungjawab perjanjian Allah secara luas untuk bidang politik dan
kekuasaan. Yesus memperingatkan itu dengan kuasa dan hak bahwa mereka dilayani
sebagai pelayan dari rakyat mereka dihadapan Allah yang suatu hari akan hakimi
bagaimana mereka sudah menggunakan talenta mereka. Tantangan Yesus untuk
keberadaan agama, sosial, dan kuasa politik dibuktikan sehingga kematianNya
pada salib sebagai seorang revolusioner politik. Pencobaan dan kematianNya
adalah peristiwa politik. Metodologi-metodologi baru untuk pelajari Kitab Suci
memungkinkan teks untuk berbicara untuk kebudayaan dan situasi-situasi sosial
telah membantu untuk memperoleh arti dan implikasi politik dari kehidipan dan
ajaran-ajaran Yesus. John Howard Yoder, mengidentifikasikan Yesus dengan visi
Yobel tentang pemulihan dan pembaruan melukiskan Kerajaan Allah yang
diantisipasi oleh Yesus sebagai suatu visi sosio-politik, ekonomi,
restrukturisasi hubungan antara umat
Allah. Bagi Yoder, salib dan makhota
adalah dua pilihan konfrontasi politik Yesus dan dia menganggap bahwa dalam
kerangka kerja dari tindakan politik radikal, pelayanan salib bukan suatu alat
yang menentukan secara ritual untuk perdamaian tetapi sebagai alternatif
politik untuk pemberontakan dan ketenangan. (Chapman 1991, 46-48).
Sisi
lain yang harus dilakukan Gereja adalah kesetiaan pada Injil. Sebuah kesetiaan
menyangkut hal yang hakiki yakni tetap setia kepada visi Yesus atau kepada apa
yang diwahyukanNya kepada kita tentang Allah, kepada asas-asasNya, dan kepada
persatuan umat beriman yang dimulaiNya. Kesetiaan ini memerlukan keterbukaan
kepada perubahan. Artinya, semua firman yang disampaikan Yesus memerlukan
penyempurnaan dan penafsiran, ibarat benih yang akan perlu pertumbuhan. Kita
tidak boleh lupa bahwa Yesus berbicara dengan bahasa manusia dan mengucapkan
firman yang hidup. Gereja harus mendengarkan penafsiran baru, termasuk untuk
hal-hal politik yang dinamis dengan cara-cara baru yang menjawwab situasi kita
sendiri. (Wijngaards 1994, 93).
Gereja
hadir dalam dunia dengan visi dan misi yang luhur. Hal ini hendak menegaskan
bahwa tidak ada satu wilayah atau dunia yang asing bagi pemberitaan kabar
keselamatan, termasuk dunia politik (Agung 2004b, 44). Politik merupakan
‘jalan’ untuk mengatur masyarakat, dimana masyarakat umum dapat hidup
berdampingan dalam kehidupannya sehari-hari. Politik itulah yang merelasikan
kita dengan orang lain melalui perjanjian, peraturan, hukum, dan institusi.
Dengan kata lain, politik juga mengatur relasi manusia (Clifford 1984, 1-2).
Gereja perlu menyadari sepenuhnya
arti penting politik bagi perwujudan ideal sebuah masyarakat dan lebih jauh
lagi perwujudan kehendak Allah atas kehidupan orang banyak. Gereja memiliki
kewajiban untuk mendorong semua orang yang memiliki minat terhadap politik
untuk mempersiapkan diri bagi “panggilan sebagai politikus”, sekaligus
diingatkan bahwa mereka yang menjalankan panggilan ini adalah orang-orang yang
memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, berani menentang setiap bentuk
ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi
terhadap orang atau kelompok lain, adil, jujur dan membaktikan dirinya demi
kepentingan seluruh masyarakat. Inilah yang disebut berpolitik secara radikal. (Kleden
2003, 206).
Perlu
juga kita pahami bagaimana kita sebagai orang Kristen bersikap terhadap politik.
Dalam perspektif teologi Kristen, etika politik merupakan upaya dan proses
merealisasikan kehendak Allah di dalam seluruh proses politik. Segala
keputusan, tindakan dan cakupan politik harus didasari pada kehendak Allah
(Sirait 2006, 42). Gereja dalam arti
orang-orang percaya yang memang benar-benar berniat untuk memperjuangkan
keadilan, kebenaran, dan dapat dipercaya sebagai agen perubahan untuk hidup
yang lebih baik. Untuk menegaskan hal itu, ada 5 nilai etis yang mendasar yang
perlu diperhatikan dalam dunia orang-orang yang berpolitik. (Borrong 2006,
4-9):
1. Hati nurani/kata hati : bertindak menurut
hati nurani untuk memperingatkan agar manusia tidak salah langkah dan untuk
menegur agar manusia menyesal dan melakukan koreksi jika ia membuat keputusan
atau tindakan yang salah.
2. Adil : mengusahakan tegaknya keadilan di tengah masyarakat (justice for all) sehingga kebaikan dan kebenaran Tuhan terwujud
dalam seluruh kehidupan rakyat.
3. Jujur : tidak melakukan pembohongan,
mengumbar janji palsu dan mengelabui rakyat.
4. Rendah hati : karena terkadang politik berurusan dengan kekuasaan dan kekuasaan dapat
membuat orang menjadi takabur, arogan, sombong dan menyalahgunakan kekuasaan
untuk menindas dan memeras rakyat.
5. Keberanian : politik berurusan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan yang
seringkali dirugikan oleh pihak tertentu, maka para politisi perlu memiliki
keberanian untuk membela hak-hak rakyat.
Nilai-nilai
etis ini akan jauh lebih berguna lagi jika Gereja menyatakannya dalam hal-hal
yang baik demi terwujudnya suatu perubahan termasuk dalam bidang kehidupan
politik. Berikut ini ada beberapa contoh yang diberikan oleh Yesus bagi Gereja
yang menanggapi Allah dan mau hidup dalam corak dunia Allah untuk mewujudkan
Kerajaan Allah di bumi ini a.l: (Wijngaards 1994, 172).
(1) Orang Samaria yang baik hati. Memiliki hati yang
harus membantu siapa pun yang ditemui di jalan dan yang sungguh-sungguh
membutuhkan pertolongan; (2) Cerita tentang orang Farisi dan pemungut cukai.
Gereja tidak boleh merendahkan orang lain; (3) Perilaku anak yang kakak dari
anak yang bungsu yang hilang. Gereja tidak boleh berperilaku yang tidak mau
menyambut orang yang mau bertobat; (4) Kerja keras untuk mencari domba yang
hilang sampai dapat. Gereja harus bekerja keras untuk menyelamatkan mereka yang
mengalami kesulitan sampai mereka selamat; (5) Gereja harus berbelaskasihan
(merasa iba) dan menjadi pengupaya damai; (6) Gereja tidak boleh menguasai
orang lain seperti yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin politik kotor, tetapi
mengabdikan diri, melayani, dan rendah hati; (7) Gereja harus mau mengundang
makan orang-orang yang tidak bisa membalas jasanya. Gereja tidak boleh hanya
terfokus pada anggota-anggotanya saja, tetapi orang lain juga.
Etika Gereja dalam menghadapi
politik di zaman sekarang sangat penting demi terwujudnya partisipasi Gereja
dalam berpolitik secara baik dan benar dengan kembali kepada tujuan mulia dari
politik itu sendiri. Hal paling sederhana tapi tidak sepele yang dapat dilakukan
Gereja guna membangun etika politik adalah peribadahan kita. Misalnya, dalam
doa-doa syafaat, Gereja harus mendoakan hal-hal yang konkret atau tidak terus
menerus bedoa untuk hal-hal yang baik saja. Dalam dunia ini selalu ada struktur
dan kuasa yang sangat mempesonakan mulai dari tingkat yang tinggi sampai ke
dalam rumah tangga yang hidup dalam kasih. Demi menjaga kemurnian iman yang
berhadapan dengan struktur dan kuasa itu, satu-satunya cara untuk melawan
struktur dan kuasa yang mempesona itu adalah dengan sungguh-sunguh
memperlihatkan solidaritas pada mereka yang lemah atau yang memiliki stuktur
yang lemah atau non-dominan. Sikap-sikap etis secara politis sangat dibutuhkan
oleh Gereja a.l: Pertama, sikap yang didasarkan atas iman kepada Tuhan yag satu-satunya
penolong dalam keadaan senang dan susah; Kedua, menjalin kemitraan lewat relasi
dan komunikasi dengan lembaga politik termasuk pemerintah adalah bagian dari
etika politik. Yohanes Calvin, sang Reformator memberi kualifikasi atas
ketundukkan orang Kristen yang tanpa syarat. Iman Kristen menuntut para
pengikutnya agar tidak memberi kepatuhan tanpa syarat kepada siapa pun dan apa
pun; Ketiga, membangun jembatan dengan masyarakat seabgai kairosi yang diberikan oleh Tuhan kepada Gereja. Gereja rela untuk
melakukan pekerjaan=pekerjaan yang mendekatkan diri dengan masyarakat dan
berbela rasa dengan korban-korban di dalam masyarakat.(Singgih 2004, 35-40).
Proses-proses
ini dimulai dari gereja-gereja lokal melalui gerakan transformasi. Transformasi
adalah suatu proses berkelanjutan yang melaluinya kita sebagai pribadi dapat
memahami dan menaati perintah-perintah Kristus. Transformasi dimulai dari
pribadi lalu diperluas kepada keluarga, masyarakat, dan bangsa. Berkaitan
dengan hal politik ini, kita fokus pada arti transformasi masyarakat dan
bangsa. Gereja berada di pusat transformasi pribadi, keluarga, masyarakat, dan
bangsa. Allah merencanakan gereja memuridkan bangsa-bangsa dengan cara mematuhi
kehendak Allah di setiap bidang kehidupan dan masyarakat termasuk politik ini.
(Moffitt 2010a, 213-221). Ada enam alasan Gereja lokal mempengaruhi masyarakat
untuk melakukan transformasi yaitu: (1) Gereja lokal mempunyai mandat pelayanan
menyeluruh. Gereja memiliki visi untuk masyarakat dalam kehidupan fisik,
rohani, sosial, dan intelektual. Juga tidak membatasi diri dalam satu atau dua
bidang kehidupan saja, tetapi melayani semua bidang kehidupan dalam agenda
besar Allah; (2) Gereja lokal terus menerus melengkapi jemaatnya. Melengkapi
artinya membangun keterampilan, sikap, pemahaman, kemampuan, karunia rohani,
iman, dan kesetiaan; (3) Gereja lokal menggambarkan kepelbagaian yang besar
dari suatu masyarakat; (4) Gereja lokal itu asli pribumi (indigenous). (5) Pelayanan Gereja lokal dapat bertahan. (6) Gereja
lokal dirancang untuk keterlibatannya seumur hidup dengan para anggotanya. (Moffitt
2010b, 235-237)
Akhirnya,
Gereja perlu menggumuli dan merumuskan segala hal yang terjadi dalam kehidupan
politik bagi terwujudnya suatu tatanan kehidupan yang bercirikan kesejahteraan
hidup seluruh ciptaan Tuhan, keadilan, kejujuran dan kebenaran. Selain itu,
inilah yang kemudian menjadi bagian dari proses perealisasian kehendak Allah,
mulai dari komunitas politik pada suatu
bangsa hingga relasi antar-bangsa (Sirait 2006, 42,45).
Tujuan khusus tulisan ini adalah
untuk memberi penyadaran kepada Gereja supaya kembali belajar cara berpolitik
yang baik dari Yesus Kristus. Hal ini, dapat terwujud jikalau Gereja mau
menerapkan gaya, metode, dan kekuatan politik Yesus. Gayanya secar
radikal-ahimsa, metodenya, sungsang-relasional, dan kekuatannya adalah ras
belas kasihan terhadap orang-orang trtindas. Sedangkan tujuan umumnya adalah
supaya menyaksikan kepada dunia ini tahu bahwa Yesus juga terlibat secara utuh
dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal politik. Dengan demikian
Gereja akan mampu untuk berpolitik berdasarkan maksud mulia dari politik itu dan
Gereja tidak lagi menganggap politik itu kotor dan berdosa. Penyadaran dan
penyaksian ini harus dimulai dari pribadi orang-orang Kristen lewat nilai-nilai
eti dan bahka lewat pemberitaan firman dari atas mimbar Gereja. Ya, para
pelayan (pendeta) harus memahami politik dengan baik dan benar agar tidak
iktu-ikutan merasa alergi dengan politik. Siapa takut?
_____________________________
Daftar Acuan
Buku-buku
Agung,
Mianto N., peny. 2004. Yesus dan Politik.
Jakarta : Komunitas Nisita.
Borrong,
Robert. P. 2006. Etika Politik Kristen. Jakarta
: Unit Publikasi dan Informasi dan Pusat Studi Etika STT Jakarta.
Chapman,
Audrey R. 1991. Faith, Power, and
Politics. New York: The Pilgram Press.
Clifford,
Paul R. 1984. Politics and the Christian
Vision. London : SCM Press Ltd.
France,
R.T. 1996. Yesus Sang Radikal. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Kleden,
Paulus Budi. 2003. Teologi Terlibat.
Maumere : Ledalero.
Kraybill,
Donald B. 1999. Kerajaan Yang Sungsang.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Moffitt,
Bob dan Karla Tesch. 2010. Andaikan Yesus
Kepala Daerah. Terj Sadrak Kurang. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Singgih,
Emanuel Gerrit. 2004. Iman & Politik
dalam Era Rerformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sirait,
Saut. 2006. Politik Kristen di Indonesia.
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Timo, Eben Nuban. 2007. Foni Bil Metan: Kemitraan Israel, Gereja,
dan Agama-Agama dalam Sebuah Mitos dari Timor. Maumere: (Anggota IKAPI) Seminari
Tinggi Ledalero Maumere.
Wijgaards,
John. Yesus Sang Pembebas.
Yogyakarta: Kanisius.
Website di Internet
Wikipedia. www.artikata.com/arti.345653.html.
Admin. Pengertian Politik. http://revolsirait.com/pengertian-politik/politik.
Michael H. Hart. Seratus Tokoh
Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
http://media.isnet.org/iptek/100/index.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar