Rabu, 06 November 2013

Kristologi Dalam Cerita Rakyat Timor

Oleh: Pdt. Ruben Tallo

Pendahuluan


Pada kesempatan ini, penulis mencoba untuk membangun struktur pemahaman Kristologi ini berdasarkan kesaksian Injil Yohanes bahwa “Firman telah menjadi daging”. Artinya, Anak Manusia mengambil bagian dalam eksistensi kita, merasakan nasib kita. Yesus menerima keseluruhan hidup kita bahkan turut terkutuk dengan kita ketika Ia tersalib. Yesus datang untuk menerima dan menyelamatkan totalitas kehidupan kita. Ini juga berarti bahwa Yesus hadir di dalam alam simbolik kita yang menanggung totalitas dari simbol-simbol kita saat kita berhasil dan gagal dimana pun kita berada. (van de Beek. 1997, 19).


Pengenalan akan Kristus secara baik dan benar dalam masing-masing konteks bisa melalui “proses inkulturasi.” Pada kesempatan ini penulis tertarik dengan pandangan H. Richard Niebuhr bahwa ada relasi Kristus dengan budaya dalam buku berjudul Christ and Culture. Niebuhr menggambarkan lima kemungkinan pendirian manusia yang harus di pegang mengenai Kristus dan kebudayaan yaitu: Kristus menentang kebudayaan; Kristus dari kebudayaan; Kristus diatas kebudayaan; Kristus dan kebudayaan berjalan dalam paradoks dan tegang; dan Kristus transformator kebudayaan. (McGavran 1974, 14). Dengan demikian dalam hal ini jelas makna Kristus sebagai transformator kebudayaan ini sangat cocok dengan cerita-cerita rakyat seperti dari Timor ini.


Pemahaman yang mempertegas pandangan Niebuhr ini nampak juga dalam pandangan van de Beek tentang arti inkulturasi itu bahwa Yesus Kristus yang menjadi perhatian utama dan dasar dari keberadaan kita, yang hidup dalam hidup kita sedemikian rupa sehingga segala simbol dari simbolik alam kita dapat diarahkan kepadaNya. Segala simbol yang baik dalam alam ini dipakai untuk mengungkapkan makna yang Yesus miliki dalam hidup kita. Jadi, manusia di sepanjang masa mengungkapkan kehidupan mereka bersama Kristus dengan kata-kata mereka sendiri. Yesus memberi kita hidup, simbol, dari alam semesta kita. Yesus tidak meniadakan segala yang kita miliki dan hidup kita yang memalukan dan hancur, tetapi memberi pemenuhan makna nyata hidup kita. (van de Beek. 1997, 20).


Cerita Rakyat Timor 


Dengan dasar pemikiran seperti ini maka Kristus bisa dikenal penyataanNya dalam budaya tertentu, termasuk cerita-cerita rakyat (folk stories). Karena itu, paper ini akan mengkaji tentang Kristologi dari sebuah cerita rakyat orang Timor yang berjudul “The Civet Cat and The Monkey King.”(Timo, 2007, 13-16). Ada pun isi ceritanya adalah sbb:


 “Ada dua perempuan bersaudara. Mereka masih muda dan belum bersuami. Suatu hari keduanya duduk di serambi rumah. Waktu itu matahari pagi sudah terbit. Mereka sedang berjemur dan bercakap-cakap dengan murung. Tidak berapa lama mereka mendengar seorang bersiul. Mereka berkata satu sama lain: “Seandainya dia yang bersiul itu seorang laki-laki, saya mau mengambil dia menjadi suami saya.” Perempuan yang tertua menjawab: “Saya juga seperti kau, belum bersuami.” Mereka memandang ke kiri dan ke kanan dan melihat seekor Musang duduk di tangkai sebatang pohon. Musang itu berkata: “Hai, perempuan-perempuan yang baik, apakah benar apa yang kamu katakan? Kalau benar, maka akulah suamimu.” Kedua perempuan itu menjawab: “Marilah, dan kita makan sirih pinang bersama-sama.” Musang itu turun dari atas pohon dan menghampiri kedua perempuan itu. Mereka bertiga berbicara serius sekali. Akhirnya, Musang itu mengambil kedua perempuan itu menjadi istrinya. Musang tadi tidak kembali ke kampungnya, tetapi tinggal untuk sementara dengan istrinya di desa itu. Suatu pagi, Musang itu bangun. ia berkata kepada kedua istrinya yang masih berbaring: “Hari ini saya akan ke kebun di seberang sana.” Kedua istrinya menjawab: “Kami akan menyusul engkau.” Musang itu menjelaskan: “Pada perjalanan menuju kebun itu kamu akan melewati persimpangan jalan. Perhatikanlah dengan teliti sehingga kamu jangan sesat. Saat kamu tiba dipersimpangan itu kamu harus mencium bau dengan saksama. Jalan yang baunya menyenangkan haruslah kamu turuti, jalan yang baunya busuk adalah milik Raja Kera. Kamu harus memperhatikan baik-baik: Kotoran Raja Kera basah, sedangkan kotoran saya kering.” Waktu Musang mengatakan hal ini kepada istri-istrinya, Raja Kera ada dekat rumah itu dan mendengarkan percakapan tadi. Ia pergi dan mengambil kotoran-kotorannya dan meletakkan semua itu di jalan milik Musang. Ia kemudian memungut kotoran Musang dan menaruh di jalannya sendiri. Setelah itu ia pulang ke rumah. Ketika hari siang, istri-istri Musang menyusul suami mereka; tetapi mereka tidak berjalan di jalan milik Musang melainkan di jalan milik Raja Kera. Waktu senja mulai turun mereka tiba di rumah Raja Kera dan Raja Kera keluar menyambut mereka. Mereka heran karena takut dan mulai gemetar. Raja Kera menyampaikan kabar kedatangan mereka kepada ibunya. Ia berkata: “Ha ha ha ha ha! Lihatlah apa yang sudah saya katakan kepadamu!” Lalu ia tetawa dengan suara yang sangat keras. Raja Kera berkata: “Beruntung sekali saya! Bawalah sebuah tikar bagi mereka untuk duduk.” Ibunya mengambil daun-daun dari sebatang pohon dan memberikan kepada mereka untuk duduk di atasnya. Kedua perempuan itu berkata: “Di kampung suami kami, Musang, kami biasa duduk di atas tikar yang diukir.” Kemudian Raja Kera berkata: “Baiklah! Baiklah! Bawakanlah kepada mereka sirih dan pinang untuk dikunyah.” Ibu Raja Kera memberikan kepada mereka buah-buahan dari beberapa pohon. Tetapi mereka berkata: “Di rumah suami kami, kami biasa makan pinang bersama dengan sirih.” Raja Kera berkata: “Itu baik! Itu baik! Bawa makanan kepada mereka.” Lalu ibunya memberikan kepada mereka buah pohon bubuk dan klamat sebagai makan malam. Mereka berdua berkata: “Di rumah suami kami, kami selalu makan nasi dan daging babi.” Lalu mereka tidak mau makan. Waktu malam sudah larut mereka bersiap ke tempat tidur. Lalu Raja Kera berkata: “Aku ingin tidur dengan kamu berdua.” Maka mereka tidur bertiga. Raja Kera berbaring di antara kedua perempuan itu. Pada tengah malam waktu Raja Kera terlelap, mereka berdua mengambil lesung dan sepotong kayu lalu meletakkan semua itu di sisi kiri dan kanan Raja Kera. Setelah itu mereka pergi dari rumah itu. Mereka tiba di persimpangan jalan lalu mengikuti jalan Musang. Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di tempat yang dituju. Musang itu menjadi berang, tetapi mereka menceritakan kepadanya apa yang dibuat Raja Kera. “Kami tersesat karena Raja Kera menipu kami. Ia ambil kotoran-kotoranmu dan menggantikannya dengan kotoran-kotorannya sendiri.” Musang tadi marah sekali. Ia memanggil mereka naik dan masuk ke tempat tinggalnya, Rumahnya ada di puncak pohon cemara. Mereka memanjat dan duduk beristirahat. Lalu datanglah Raja Kera dengan rakyatnya. Di kaki pohon cemara itu ada sebuah danau. Musang berkata: “Selamat Raja Kera, naiklah dan silakan duduk.” Raja Kera menjawab: “Turunkanlah bagi kami sebuah tangga maka saya dan rakyat saya dapat datang ke situ.” Musang menurunkan sebuah tangga dari bambu dan mereka naik. Ketika mereka sedang memanjat, tangga itu ambruk dan mereka semua terhempas. Mereka jatuh ke dalam danau dan mati. Lalu Musang itu turun bersama istri-istrinya. Kedua perempuan itu memukul kepala kera-kera itu satu per satu dan mereka tewas. (Timo 2007, 13-16).


Dari cerita rakyat Timor ini, penulis akan fokuskan pada makna gambaran tentang relasi sebagai “pengantin” atau “mempelai” yang sangat dekat dan kuat antara sang Musang dengan istri-istrinya, baik pada saat senang maupun pada saat susah bahkan pada saat-saat yang berbahaya.


Hermeneutik Biblis Berikut ini, penulis akan menunjukkan beberapa bagian Alkitab yang menyaksikan tentang “pengantin” atau “mempelai” sebagai dasar pembahasan Kristologi ini yang memiliki hubungan dengan cerita rakyat dari Timor ini. Hal ini nampak dalam beberapa bagian PB yakni:

1. Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa sedang mempelai itu besama mereka?”.Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” ( Luk.5:34). Bandingkan Mrk.2:19-20 dan Mat.9:15.


2. Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki.(Mat.25:1). 


3. Yang empunya mempelai perempuan ialah mempelai laki-laki, tetapi sahabat mempelai laki-laki yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh.(Yoh.3:29).


4. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantinNya telah siap sedia. (Why.19:7).


5. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. (Why.21:2).


6. Maka datanglah seorang dari ketujuh malaikat yang memegang ketujuh cawan, yang penuh dengan ketujuh malapetaka terakhir itu, lalu ia berkata kepadaku: “Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan, mempelai Anak Domba.”(Why.21:9).


7. Roh dan pengantin perempuan itu berkata: “Marilah!” Dan barangsiapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata: “Marilah!” Dan barangsiapa yang haus, hendaklah ia datang, dan barangsiapa yang mau, hendaklah ia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma!(Why.22:17).


Semua teks tersebut hendak menunjukkan kepada kita bahwa antara Kristus dan jemaatNya ada hubungan yang sangat akrab atau tak terpisahkan selama-lamanya. Hal ini nampak dalam frase-frase: “Selama mempelai itu bersama mereka”; “pergi menyongsong mempelai laki-laki”; “Yang empunya mempelai perempuan ialah mempelai laki-laki”; “hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantinNya telah siap sedia.”; “ pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.”; “pengantin perempuan, mempelai Anak Domba”; dan “Roh dan pengantin perempuan itu.”


Menurut penulis, teks Alkitab yang lebih mendekati proses inkulturasi iman Kristen pada cerita rakyat ini adalah Luk.5:34. Ada baiknya kita ingat kembali pemahaman penginjil Lukas khususnya yang berkaitan dengan Kristologi “mempelai” dan pandangan-pandangan dalam teks PB lainnya tentang konsep “mempelai” ini. Pandangan Frederick Danker yang dikutip oleh Mark Allan Powell menyimpulkan perspektif penginjilan tentang upaya memahami Kristus bahwa “kristologi adalah eklesiologi, dan eklesiologi adalah kristologi”. Seluruh perhatian diskusi komunitas pada pasal akhir injil Lukas ditekankan pada sebuah cerita tentang pengaruh Yesus dan ajaranNya terhadap orang-orang. Pendekatan kristologi Lukas telah dianggap berasal dari menganalisa gelar dan nama-nama Yesus dalam tulisan-tulisannya yang sebagian besar menekankann pada gelar Kristus dan Tuhan. (Powell. 1989, 60-62).


Penulis akan mencoba untuk memahami makna teks Lukas 5:34 ini dan relasinya melalui proses inkulturasi dan transformasi budaya dengan makna ceita rakyat Timor tersebut. Teks ini sangat berkaitan dengan anggapan orang Yahudi tentang zaman Mesias dan tradisi berpuasa dengan sukarela dalam kehidupan orang-orang Yahudi yang saleh. Zaman Mesias ini akan menjadi seperti pesta perkawinan (Mat. 22:2; dan 25:1). Menurut adat Yahudi selama hari-hari pesta perkawinan kedua mempelai laki-laki dan perempuan tidak usah berpuasa. Jadi, jawaban Yesus dalam bentuk kiasan ini sangat tepat sekali dan merupakan pernyataan tersembunyi bahwa Dialah benar-benar sang Mesias. Berita keselamatan yang dibawa dan akan dinyatakan oleh Yesus sendiri adalah mengutamakan sukacita seperti dalam suasana perjamuan kawin itu.(Boland 1996, 135). Hal sukacita ini sudah ada sejak awal Yesus tampil untuk memberitakan Injil. Banyak orang telah disembuhkan dari sakit, dosa-dosa diampuni, ada pengusiran setan-setan, hingga pada saat Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan. Itu semua merupakan masa-masa pesta yang membawa sukacita. (Heer. 1994, 165). Ungkapan “mempelai laki-laki” sebenarnya dimaksudkan tentang Yesus sendiri. Hal ini dipertegas oleh Yohanes Pembaptis yang sudah mengidentifikasikan Yesus Kristus sebagai mempelai laki-laki dan dideklarasikan dalam Yohanes 3:29 tersebut: “Yang empunya mempelai perempuan ialah mempelai laki-laki”. Mempelai perempuan sebenarnya Allah atau Kristus adalah benar Israel dan dalam spiritual untuk waktu mendatang mencakup gereja juga. Yohanes telah mengarahkan untuk mengikuti Yesus Kristus maka dengan pernyataan itu gereja adalah mempelai perempuan itu.(Coffman. 1975, 48). Istilah “mempelai laki-laki” ini juga digunakan untuk menggambarkan hubungan Kristus dengan gerejaNya (Ef.5:25-27). Atau Kristus sebagai mempelai laki-laki merupakan satu metafora PB untuk gereja di mana Kristus digambarkan sebagai suami dan gereja adalah mempelai perempuanNya. Suatu variasi dari tema ini ditemukan dalam kesaksian Yohanes Pembaptis tersebut dengan memperlihatkan dirinya sebagai “sahabat dari mempelai laki-laki” yang menurut tradisi Yahudi sebagai orang yang mengurus pengaturan pernikahan. Artinya Yohanes sebagai orang yang diutus Allah untuk mengurus lebih dahulu tentang “pernikahan” Kristus dengan gerejaNya. Mesias diidentifikasikan dengan mempelai laki-laki untuk barangsiapa yang menjadi milik komunitas mesianikNya dan yang datang untuk mengklaim bahwa itulah mempelai perempuanNya.(Baker Encyclopedia of the Bible s.v. Bride of Christ). Menurut gambaran dalam surat-surat Paulus, Tuhan Yesus adalah mempelai laki-laki ilahi yang berusaha mengasihi mempelai perempuanNya dalam kasih dan masuk ke dalam relasi perjanjian denganNya. Alegori relasi Kristus dan Gereja ini berasal dari pengajaran Yesus seperti yang disaksikan dalam injil Markus 2:19-20 yang menunjukkan bahwa istilah mempelai laki-laki digunakan oleh Tuhan Yesus sebagai sebutan mesianis dan sesuai dengan penggunaan-Nya dari orang ketiga dalam berbicara tentang diriNya sebagai anak manusia. (The New Bible Ditionary s.v. Bride, Bridegroom).


Kemudian tentang hal berpuasa. Puasa adalah tanda lahiriah dari penyesalan dan kesedihan dalam hati. Dalam kebanyakan peristiwa, puasa dipahami sebagai suatu peristiwa tindakan pertobatan nasional. Bagi orang Yahudi ada suatu puasa yang diharuskan yaitu puasa pada Hari Raya Pendamaian. Pada hari itu mulai dari pagi hari sampai petang semua orang harus merendahkan diri dengan berpuasa (Im.16:31). (Barclay. 1983, 383). Orang Yahudi juga mempunyai kebiasaan melakukan puasa sukarela sebagai tanda sesal dan tobat atau kesalehan hati yang dilakukan sebanyak dua kali seminggu (Luk.18:12). Biasanya dilakukan pada hari Senin dan Kamis dengan pemahaman bahwa pada hari Senin itu nabi Musa naik ke atas gunung Sinai untuk kedua kalinya untuk menerima loh batu hukum-hukum Allah, lalu pada hari Kamis ia turun dari gunung itu. Jadi, ketika Yesus dan murid-muridNya turut makan pada perjamuan di rumah Matius itu, mereka dianggap tidak mengindahkan hari-hari puasa itu. Hal ini menimbulkan keheranan untuk murid-murid Yohanes yang juga setia dengan pola puasa ini dan tidak punya guru lagi karena sudah dipenjarakan. (Bavinck 2000, 213). Di dalam berpuasa ini, ada tiga hal penting yang selalu ada dalam benak orang Yahudi: (1) berpuasa adalah suatu usaha sengaja untuk menarik perhatian Allah kepada orang yang melakukannya; (2) berpuasa adalah suatu usaha sengaja untuk membuktikan adanya pertobatan nyata; dan (3) puasa juga sering dilakukan atas nama orang lain atau karena adanya dosa nasional. Puasa ini bukan untuk menyelamatkan orang yang didoakan tetapi agar Allah menyelamatkan bangsa Israel yang sedang menderita. (Barclay. 1983, 386). Sikap Yesus dan murid-muridNya sangat berlainan dengan sikap orang-orang saleh Yahudi seperti orang-orang dari golongan Farisi, karena Ia tahu maksud mereka yang tersembunyi yakni hanya supaya berkenan pada Allah dan dipuji orang. Yesus memberikan jawaban secara halus sekali kepada murid-murid Yohanes bahwa sebenarnya Yohanes sendiri telah mengatakan bahwa Yesuslah mempelai laki-laki itu dan mempelai perempuan ialah orang-orang Israel yang percaya atau para murid-muridNya itu. Dengan demikian, tidaklah mungkin orang-orang yang merayakan pesta perkawinan itu akan berpuasa dengan sukarela apalagi Yesus masih ada bersama-sama dengan murid-muridNya. (Bavinck 2000, 214-215).

AnalisisProto Evangelica

Pertama-tama kita perlu juga memahami kembali tentang mitos yang selalu ada dalam cerita-cerita rakyat. Mitos adalah “cerita-cerita yang menyingkapkan atau menerangkan pandangan hidup seseorang.” Orang-orang yang paling berpengaruh dalam dunia purbakala adalah para pembuat mitos. (Fore 2000, 3). Atau menurut Eben Nuban Timo, mitos adalah “cerita tentang peristiwa riil yang diwarnai oleh situasi masa purbakala yang merupakan pembaruan dari yang ilahi dengan yang insani, yang kodrati dengan yang adikodrati.”(Timo 2007, 41). Sedangkan Daniel J. Adam mengatakan bahwa mitos adalah kumpulan cerita-cerita yang hidup dan dapat dimengerti dengan perasaan, gambar-gambar, upacara-upacara dan lambang-lambang yang dengan bermacam-macam alasan manusia menaggapinya sebagai penampakkan dari makna luhur dari alam semesta dan kehidupan manusia.(Adams 1992, 99).


Dalam hal ini, pandangan Niebuhr tentang Kristus sebagai transformator budaya dapat dipahami lewat mitos dan cerita-cerita rakyat dari Timor ini. Transformasi budaya ini, menurut Niebuhr sangat dipengaruhi oleh pemikiran tentang tema perubahan yang muncul dalam sikap terhadap sejarah secara implisit dan kadang-kadang eksplisit disajikan dalam apa yang Yohanes telah katakan tentang budaya manusia dan institusinya. Rupanya sikap ambivalennya terhadap Yudaisme, Gnostisisme, dan sakramen-sakramen Kristen awal sebagian diterangkan jika kita menganggapnya sebagai perubahan. Di satu sisi, ia menyajikan Yudaisme sebagai anti-Kristen, di sisi lain dia menekankan bahwa "Keselamatan adalah dari Yahudi" dan bahwa Kitab suci mereka menunjang kesaksian untuk Kristus. Sifat Mendua dalam sikap ini dapat dijelaskan dengan mengacu pada konflik dari abad kedua, dan klaim gereja untuk menjadi berkembang di Israel, tetapi juga dapat dipertahankan bahwa sikap seperti itu adalah cocok dalam setiap waktu dan tempat dengan pandangan bahwa Kristus adalah harapan, arti sebenarnya, awal baru dari Yudaisme yang menerima transformasi itu sendiri. Secara historis dijelaskan sikap ganda Yahudi anti Kristen dan keselamatan dari Yahudi ini lebih dimengerti dalam hal perubahan sebagai transformasi pemikiran keagamaan budaya Kristen. (Niebuhr. 1956, 202).


Kini, kita akan mencoba untuk menganalisa bagian-bagian dari cerita rakyat Timor ini yang bisa mengalami proses inkulturasi dan transformasi ini. Adapun bagian-bagian yang menggambarkan relasi yang sangat erat antara Musang dan isteri-isterinya adalah sbb:


Mereka berkata satu sama lain: “Seandainya dia yang bersiul itu seorang laki-laki, saya mau mengambil dia menjadi suami saya.” Perempuan yang tertua menjawab: “Saya juga seperti kau, belum bersuami.” Mereka memandang ke kiri dan ke kanan dan melihat seekor Musang duduk di tangkai sebatang pohon. Musang itu berkata: “Hai, perempuan-perempuan yang baik, apakah benar apa yang kamu katakan? Kalau benar, maka akulah suamimu.” ... “Akhirnya, Musang itu mengambil kedua perempuan itu menjadi istrinya. Musang tadi tidak kembali ke kampungnya, tetapi tinggal untuk sementara dengan istrinya di desa itu.” Sebelum menikah mereka berada di bawah kuasa orangtuanya. Setelah menikah, mereka bebas dari kuasa tadi. Dengan menerima nama baru sebagai istri Musang, mereka harus berperilaku menurut hukum, aturan, norma, dan tata tertib yang dimateraikan kepada mereka. Harus melakukan perubahan radikal. 


Demikian juga dengan Gereja harus hidup baru karena Kristus sudah membayar lunas tebusan dosa sekali untuk selama-lamanya. Gereja memperoleh nama dan status yang baru dan menuju ke negeri yang baru dalam ketaatan kepada ordo ilahi. (Timo 2007, 103). Pada perjalanan menuju kebun itu kamu akan melewati persimpangan jalan. Perhatikanlah dengan teliti sehingga kamu jangan sesat. Saat kamu tiba dipersimpangan itu kamu harus mencium bau dengan saksama. Perjalanan menuju negeri yang baru itu diperlihatkan oleh sang Musang dengan ia berjalan lebih dahulu ke rumah orangtuanya lalu kedua istrinya menyusul. Hal ini persis dengan hubungan antara Yesus dan jemaatNya. Simon Schoon membuat catatan yang sangat menarik tentang perjalanan Yesus adalah selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari yang tersesat, menyembuhkan yang sakit, dst. Lalu para muridNya berjalan mengikuti Dia. Perjalanan Yesus berakhir di Yerusalem di bukit Golgota dan kuburan milik Yusuf Arimatea. Setelah itu baru ada kebangkitan atau kemuliaan Allah dinyatakan.


Cara Musang menuntun kedua istrinya sangat bijaksana yang nampak dalan cara dia memberikan tanda-tanda tentang jalan menuju ke rumahnya yang harum. Hal seperti ini sama dengan tindakan seorang pemimpin yang memberdayakan. Menurut Stevan Covey, ada dua cara kepemimpinan untuk memberdayakan yaitu menemukan talenta sendiri dan memampukan orang lain menemukan talenta mereka sendiri. Demikian juga yang terjadi terhadap Gereja sedang berjalan sebagai umat pengembara di jalan Allah yang berkelana. Gereja adalah umat keluaran yang sedang mencari kota yang akan datang (Ibr,13:14). (Timo 2007, 119). Untuk Gereja, Yesus memberi tanda-tanda yang jelas dalam (Mat.24:23-35; Mrk.13:21-23). Ada dua tanda dengan yang secara lahiriah hampir sama bentuknya tetapi berbeda dalam kualitasnya yaitu iman sejati dan iman palsu. Iman sejati itu ibarat perkataan dan perbuatan sebagai jejak di jalan yang dilalui berbau harum. Menurut Paul Hidayat sesuai definisi Yohanes Calvin tentang iman sejati ini, ada tiga unsur penting dalam iman sejati yaitu: (1) pengetahuan (notitia) dan pengenalan yang berhubungan dengan kesadaran hati untuk mengenal dengan jelas akan Allah dan janji-janjiNya; (2) persetujuan (assensus) terhadap kebenaran yang Kristus nyatakan yang akan kita temukan selama proses pengenalan itu. Persetujuan ini meliputi pengalaman, perasaan, penalaran, dan kejiwaan; (3) pikiran yang kembali kepada firman Tuhan. Mitos tersebut menunjuk pada nilai-nilai ini ketika ia berkata-kata tentang tanda yang kering dan berbau harum. (Timo 2007,182).


Ketika hari siang, istri-istri Musang menyusul suami mereka; tetapi mereka tidak berjalan di jalan milik Musang melainkan di jalan milik Raja Kera. ... Musang itu menjadi berang, tetapi mereka menceritakan kepadanya apa yang dibuat Raja Kera. ... Musang tadi marah sekali. Ia memanggil mereka naik dan masuk ke tempat tinggalnya. Rumahnya ada di puncak pohon cemara. Mereka memanjat dan duduk beristirahat. ... Lalu Musang itu turun bersama istri-istrinya. Kedua perempuan itu memukul kepala kera-kera itu satu per satu dan mereka tewas. Tanda yang diberikan oleh Kera adalah iman yang palsu, nabi palsu, dan menyesatkan. Kesalahan kedua perempuan itu, hanya melihat bentuk kotorannya saja, bukan isi dari tanda yang mereka perhatikan. Begitu juga dengan gereja yang masih terikat pada hiasan-hiasan agama seperti hari-hari tertentu, cara dan sikap berdoa, dsb. Mereka lupa akan hakekat agama yaitu karya keselamatan Allah yang diterima dalam iman. Namun, dalam kasih Allah yang begitu besar, maka pengampunan itu tetap ada. Menghadapi bahaya-bahaya penyesatan seperti ini perlu momentum reorientasi radikal bagi Gereja yaitu bermitra dengan kesetaraan dalam hidup beriman sejati. Harus bekerja sama untuk membawa dunia kepada iman akan Kristus. Inilah yang nampak dalam kerja sama kedua istri Musang terhadap sikap jahat Raja Kera. Allah terus bekerja dalam kuasa Roh Kudus untuk membawa pulang mereka yang tersesat.


Mitos ini menunjukkan pentingnya bermitra seperti sepasang pengantin atau mempelai di jalan Allah. Sesama adalah orang-orang yang mempunyai iman yang hidup. Kepercayaan dan prakteknya juga menjadi bagian yang integral dari pemikiran Kristologi kita tentang dunia dan masyarakat kita. (Timo 2007, 245). Bagimana dengan arti mitos-mitos Kristen. Sesungguhnya unsur yang utama dalam Injil Kristen adalah mitos. Salah satu teolog pada abad ke-20 yang menonjol dalam pandangan ini aialah Rudolf Bultman, yang mengatakan bahwa kosmologi Perjanjian Baru pada dasarnya bersifat mitos. Untuk memberitakan Injil, harus melaksanakan tugas mendemitologisasikan Injil dengan menafsirkan ulang makna yang terkandung dalam mitos supaya sesuai dengan cara pandang modern. Karena itu, mitos tidak boleh melupakan akar mistisnya dalam budaya dan agama kita karena realitasnya lebih luas dari rasionalitas. Dalam Kekristenan, kita melihat cerita tentang kematian dan kebangkitan Yesus Kristus mengandung aspek yang mengandung mistis; juga cerita penderitaan adalah penggambaran yang hidup dan mengandung isi mistis yang menjadi dasar bagi doktrin tentang keselamatan dan merupakan jantung dari Injil Kristen. (Adams 1992, 96-99).


Berdasarkan terminologi dan pemahaman mitos Kristen tersebut maka cerita rakyat Timor ini juga bercerita tentang perkawinan kosmis mengenai persekutuan yang ilahi dan yang insani. Musang sebagai representasi yang Ilahi yang berada di atas dan menyediakan berkat keselamatan bagi yang insani yang direpresentasikan oleh kedua istrinya. .(Timo, 2007, 45). Mitos seperti ini juga bisa kita temukan dalam Alkitab. Dalam PL kita bisa temukan dalam teks Yehezkiel 16:1-14; sedangkan dalam PB madah tentang persekutuan yang Ilahi dengan insani ini memuncak di atas kayu salib ketika Yesus mengorbankan diriNya. Kemudian rasul Paulus meneguhkannya dalam dalam 1 Korintus 13 tentang kasih. Dengan demikian, dalam pemahaman iman yang lebih mendalam ternyata ada juga dalam mitos, cerita rakyat, atau folk stories masyarakat tradisional sudah berdenyut pengharapan ke arah perkawinan antara Allah dan Israel atau Kristus dengan gereja. Atau seperti yang Emil Brunner katakan bahwa di sana sudah ada proto evangelica, Injil tanpa nama dan atribut Kristus. (Timo 2007, 53).


Penutup/Refleksi 


Penyataan Allah dalam Yesus sebagai “Firman yang telah menjadi daging” benar-benar dapat dikenal dalam setiap budaya manapun melalui proses inkulturasi. Dalam hal ini dapat dikenal juga dalam cerita-cerita rakyat (folk stories) Timor tersebut. Sebagaimana sang Musang sangat mengasihi isteri-isterinya dalam keadaan tenang atau pun tersesat dan berbahaya, demikian juga pengenalan tentang Kristus melalui Kristologi ini secara khusus nampak dalam relasi yang sangat dekat dan erat antara Kristus dan jemaatNya yang digambarkan melalui metafora “mempelai” atau “pengantin”. Memang ketika mempelai dalam suasana pesta perkawinan, hanya suasana sukacitalah yang sangat diutamakan yang melebihi puasa sukarela sekalipun. Itulah gambaran tentang relasi dan kebersamaan Kristus dengan jemaatNya yang selalu memelihara relasi yang baik. Hal ini sama dengan harapan rasul Paulus bahwa: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah”(Fil.4:4) dalam Kristus Sang Mempelai laki-laki itu.


Daftar Acuan

Buku

Adams, Daniel J. 1992. Teologi Lintas Budaya Rfleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia 


Bavinck, J.H. 2000. Sejarah Kerajaan Allah 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


van de Beek, Abraham. 1997. Christ - The Central of Our Life. t.p.; t.t.p.


__________________. 2003. Kristus - Pusat Kehidupan Kita. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


Boland, B.J. 1996. Tafsiran Alkitab Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


Coffman, James Burton. 1975. Commentary on Mark. Houston: Firm Foundation Publishing House.


Fore, William F. 2000. Para Pembuat Mitos Injil, Kebudayaan, dan Media. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 


de Heer, J.J. 1994. Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


McGavran, Donald 1974. The Clash Between Christianity And Cultures. Washington: Canon Press. 


Niebuhr, H. Richard, 1956. Christ And Culture. New York: Harper & Brothers Publishers.


Timo, Eben Nuban. 2007. Foni Bil Metan: Kemitraan Israel, Gereja, dan Agama-Agama dalam Sebuah Mitos dari Timor. Ledalero: (Anggota IKAPI) Seminari Tinggi Ledalero Maumere.


Ensiklopedi atau Kamus 


Elwell, Walter A. peny. 1988. Baker Encyclopedia of the Bible. Grand Rapids: Baker book House, s.v. Bride, Bridegroom, dan Bride of Christ. (Manfred T. Brauch).


Douglas, J.D. peny.1962. The New Bible Dictionary. England: Inter-Versity Press, s.v. Bride, Bridegroom (R.P. Martin).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar