Jumat, 08 November 2013

Pemulihan Spiritual


Pemulihan Spiritual Korban Trauma Akibat Intoleransi Beragama

Oleh: Pdt. Ruben Tallo


Pendahuluan

            Orang yang mengalami gangguan kesehatan (sakit) karena luka ringan saja, biasanya merasa tidak nyaman dengan dirinya secara fisik maupun psikis. Apalagi kalau mengalami luka berat atau trauma pasti sangat menyakitkan lagi. Ketika seseorang mengalami hal seperti ini pasti sangat membutuhkan pertolongan untuk bisa menyembuhkannya. Oleh karena itu, yang menjadi thesis statement penulis dalam memaparkan tulisan ini adalah pemulihan spiritual terhadap korban trauma akibat intoleransi kemajemukan beragama di Indonesia harus menjadi penekanan bagi pelayanan pendampingan pastoral di Indonesia masa kini. Dengan kata lain, penulis akan menawarkan suatu cara untuk menyembuhkan luka akibat trauma, yakni dengan pemulihan spiritual.
            Pemulihan spiritual ini akan lebih difokuskan pada salah satu fungsi dari pelayanan pastoral yang sering digunakan dalam sepanjang sejarah gereja Tuhan, yaitu fungsi menyembuhkan. Fungsi menyembuhkan yang dimaksudkan di sini tidak sama dengan upaya psikoterapi yang merupakan sekularisasi yang tidak menghargai implikasi religius dan refleksi teologis dalam gangguan mental manusia. Juga tidak sama dengan proses karismatisasi dengan penumpangan tangan, doa, perminyakan, dan eksorsisme. Penyembuhan ini lebih pada memperhatikan dimensi spiritual kehidupan manusia yang berkaitan dengan kesehatan fisik manusia umumnya dan kesehatan mental manusia khususnya, secara komprehensif atau seutuhnya. Atau tidak memisahkan dimensi fisik, emosional, dan spiritual seseorang sehingga bisa mencegah putus asa dan bunuh diri.(Hommes. 1992, 416).
            Hal ini dikatakan juga oleh Blue Ken bahwa dimensi penyembuhan pada manusia yang sakit trauma itu meliputi tiga dimensi yang utuh dari manusia yaitu akal budi (hati/jiwa), roh, dan tubuh yang berinteraksi dalam penyakit dan dalam proses penyembuhan. Dimensi akal budi, roh, dan tubuh adalah bukan merupakan kategori yang terpisah tetapi menolong kita untuk mengungkapkan berbagai unsur dalam sifat manusiawi kita. Alkitab memandang manusia sebagai suatu entitas tunggal atau merujuk kepada keseluruhan hidup seseorang. Jadi, anggapan terhadap adanya suatu penyakit semata-mata hanya masalah jasmani, tidak di kenal dalam Alkitab. Karena itu, penyembuhan terhadap manusia dilihat sebagai hal yang komprehensif. Hal dimensi akal budi sama dengan yang dikatakan Alkitab sebagai “hati” atau “jiwa” yang merupakan wilayah pikiran, emosi, dan kemauan. Jika kita mencemarkan akal budi dengan kecemaran moral akan mengalami kelumpuhan secara emosi dan kemauan sehingga tidak mampu membedakan antara yang baik dan jahat, indah dan buruk, kasih dan nafsu. Lalu soal dimensi roh, adalah bagian diri kita yang tidak kelihatan yang menyentuh dan berelasi dengan Allah dan roh-roh lainnya. Kekuatan rohani dalam diri kita terdiri dari dua macam yaitu kekuatan yang baik (Roh Kudus dan para malaikat kudus); dan kekuatan yang jahat dari Iblis. Kita dapat digoda dan disiksa oleh kekuatan jahat ini bahkan sampai pada batas tertentu bisa dikendalikan oleh kejahatan rohani ini. Penyakit rohani dapat terjadi karena berbuat dosa, mencari pengalaman okultisme, diundang melalui trauma dan kutukan. Akhirnya dimensi tubuh, adalah bagian keberadaan kita yang nampak dan paling jelas sebagai alat untuk kita membawa dampak ke dunia fisik dan sebaliknya sebagai alat dunia fisik membawa dampak kepada kita. Banyak bentuk penyakit yang membuat tubuh kita mengalami sakit secara kronis yang berkaitan dengan unsur lain sehingga penyembuhan di satu unsur akan mengakibatkan penyembuhan unsur lainnya.(Blue 2010, 149-152).
Menyadari akan eksistensi manusia sebagai suatu entitas tunggal dan upaya pemulihan spiritualnya tersebut, maka sangat penting untuk menangani aksi-aksi kekerasan yang sangat rentan menimpa masyarakat di Indonesia ini. Juga sebagai langkah konkret gereja dalam menyatakan pelayanan pastoral (pastoral care) terhadap “kesakitan” yang dialami oleh masyarakat di sekitar gereja baik secara fisik maupun mental mereka. Dengan demikian, penulis akan mengangkat sebuah pengalaman intoleransi beragama di Indonesia masa kini sebagai contoh untuk pengkajian tulisan ini dengan fokus pada soal intoleransi beragama yang menyebabkan trauma, pemulihan spiritual, dan model pendampingan pastoral terhadap korban trauma yang menekankan pada pemulihan spiritual.

Contoh Kasus Intoleransi

            Pada kesempatan ini penulis mengangkat kasus pembongkaran gereja HKBP Taman Sari di Bekasi pada tanggal 21 Maret 2013 lalu, yang merupakan kasus yang masih sangat aktual dan menimbulkan trauma bagi warga jemaat setempat. Adapun sedikit gambaran tentang peritiwa ini  sbb:

Pembongkaran Gereja HKBP Taman Sari Bekasi

pembongkaran gereja di Bekasi

1. Jemaat Gereja HKBP menyatakan bakal melawan aksi
pembongkaran dengan mengajukan gugatan hukum. (Foto: Laban Laisila)

Pemerintah Kabupaten Bekasi tetap membongkar bangunan gereja HKBP Taman Sari, Bekasi, meski mendapat protes dari sejumlah pihak. Kini pihak gereja akan tempuh jalur hukum untuk mengugat Pemda Bekasi. Pembongkaran gereja ini adalah yang kesekian kalinya terjadi berkaitan dengan pelarangan ibadah di Bekasi.Tangis puluhan jemaat perempuan dan anak anak gereja HKBP Taman Sari, Kecamatan Setu, Bekasi terus mengiringi proses pembongkaran bangunan gereja yang baru setengah jadi, Kamis sore (21/3). Suara raungan semakin keras ketika alat berat milik Pemerintah Kabupaten Bekasi mendekati dan mulai menghancurkan tembok setinggi 3 meter yang mengelilingi bangunan utama.Tidak sampai setengah jam, tembok bangunan gereja sudah rata dengan tanah.Anehnya sejumlah orang yang menolak memberi komentar kepada Radio Australia, ternyata tak bermukim di sekitar gereja.
Bangunan itu adalah hasil sumbangan puluhan jemaat yang sudah 13 tahun beribadah di sana. Awalnya jemaat HKBP hendak memugar bangunan menjadi lebih layak, karena bangunan sebelumnya hanya semi permanen dan sebagian tersusun dari kayu. Kendati sudah mendapat persetujuan lebih dari 70 warga yang bermukim di sekitar gereja untuk mematuhi kesepakatan tiga kementerian, namun izin dari Kabupaten Bekasi tak kunjung turun.
Belakangan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi malah menyegel dan membongkar bangunan gereja dengan alasan tak mempunyai Ijin mendirikan bangunan, seperti yang disampaikan perwakilan bagian hukum Pemda, Maman Suhardiman saat hendak membongkar.
"Kami menegakkan peraturan tentang bangunan yang tidak memiliki izin membangun. Dasar hukum kami adalah Peraturan Daerah. Mekanisme juga sudah dilakukan, termasuk sebelumnya penyegelan," tegas Maman.
Pimpinan jemaat HKBP, Adven Nababan menuding Pemda Kabupaten Bekasi telah diintervensi oleh sekelompok penolak yang memang mendatangi lokasi pembongkaran.
"Banyak kejanggalan, sampai saat ini tidak ada surat yang kami terima dari Ibu Bupati tentang pembongkaran. Jadi kita akan tempuh melalui jalur hukum," ujar Adven.
Peristiwa ini mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menambah daftar panjang kasus pelarangan ibadah dan intoleransi di Jawa Barat. Sebelumnya kasus yang mirip soal sengketa bangunan tempat ibadah juga dialami oleh GKI Jasmin di Bogor dan HKBP FIladelfia di Bekasi yang sebetulnya mempunyai posisi hukum lebih kuat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengutuk keras atas peristiwa pembokaran rumah ibadah itu.(Laban Laisila, website 2013).

Trauma Akibat Intoleransi

Pluralisme agama sekarang merupakan suatu realitas praktis dari hidup setiap hari, dan kapasitas agama untuk toleransi satu dengan yang lain dalam teori dan dalam praktek adalah suatu isu konsekuensial terhadap masyarakat kontemporer. Ada tiga pernyataan yang lebih mendekat pada refleksi keyakinan agama-agama di beberapa negara yaitu: (1) agamaku memberikan satu jalan yang benar kepada Allah dan kesuksesan dalam kehidupan yang akan datang; (2) agama lain yang lazim membagikan keyakinan kepadaku harus juga memberikan suatu jalan kepada Allah; (3) agamaku adalah salah satu dari banyak jalan kepada Allah dan keselamatan; pada dasarnya semua tradisi agama juga memimpin kepada Allah dan keselamatan. (Neusner. 2008, 3-4).
Ketiga pernyataan tersebut sesungguhnya bisa menciptakan sikap toleran dan sifat toleransi antar umat beragama. Namun, tindakan kekekrasan intoleransi beragama yang dialami oleh warga jemaat HKBP Taman Sari ini disebabkan oleh rasa intoleransi beragama yang sangat parah di Indonesia ini. Hal ini nampak dalam proses pembuatan surat izim membangun (IMB) yang walaupun sudah lama diproses, tetapi belum kunjung beres juga. Anehnya, hal ini dipakai dan diakui sebagai alasan utama melakukan tindakan kekerasan tersebut. Karena itu, di sini muncul pertanyaan mendasar bahwa: Apakah masih ada toleransi beragama bagi konteks Indonesia yang pluralistis ini? Pada kesempatan ini, penulis juga hendak mencoba untuk memahami kembali arti sikap toleran dan sifat toleransi ini agar dengan belajar dari pengalaman yang traumatis ini, bisa memahami secara proporsional makna toleran dan toleransi ini.
Sangat penting untuk dipahami tentang sikap toleran dan sifat toleransi ini agar kita dapat membandingkannya dengan tindakan-tindakan kekerasan intoleransi di Indonesia masa kini. Toleran adalah bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan toleransi adalah: 1. sifat atau sikap toleran; 2. batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3. penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. (KBBI. s.v. “toleran” dan “toleransi”). Sedangkan menurut Kevin Corrigan, toleransi adalah berasal dari bahasa Latin tolero-tolerare, yang artinya “ memikul”, “menahan” tapi juga “memelihara” atau “menopang”. Jadi, akar kata untuk beberapa toleransi beragama dalam dunia nampaknya bukan memberi harapan untuk pandangan sekilas saja. (Neusner. 2008, 99). Menyimak definisi-definisi ini, sesungguhnya ada suatu tuntutan dari setiap orang untuk melapangkan akal budi, roh, dan tubuhnya ketika hidup bersama dengan orang lain dimana pun berada agar sikap toleran dan sifat toleransi itu terpelihara. Namun, pada kenyataannya sikap toleran dan sifat toleransi ini sangat sulit untuk dilaksanakan. Berbagai rasa sensitifitas etnis, budaya, dan agama masih sangat kuat di Indonesia ini sehingga terjadilah peristiwa kekerasan intoleransi yang menimbulkan rasa trauma seperti pengalaman warga jemaat HKBP Taman Sari ini.
Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama adalah suatu kekerasan terhadap kebebasan beragama atau keyakinan yang memiliki beberapa perbedaan, pengeluaran, pembatasan, pilihan berdasarkan agama atau keyakinan dan memakainya sebagai tujuannya lalu melakukan perusakan terhadap penghargaan, kesenangan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental dalam suatu dasar kesamaan, seperti tidak menerima suatu komunitas atau mengekspresikan atau menonjolkan kebencian terhadap komunitas lain bedasarkan perbedaan dalam agama atau keyakinan. Intoleransi adalah berasal dari keyakinan bahwa komunitas baik laki-laki atau pun perempuan, sistem keyakinan atau gaya hidupnya adalah lebih tinggi dari yang lain. Ini dapat disebabkan oleh beberapa jajaran konsekuensi dari kekurangan apresiasi atau pembelotan terhadap orang lain untuk melembagakan diskriminasi. Semua tindakan ini berasal dari penyangkalan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. (Hasani. 2009, 15-16).
Kejahatan-kejahatan membenci dan tidak bertoleransi adalah tindakan yang dimotivasikan oleh kebencian atau prasangka terhadap seseorang atau kelompok orang berdasarkan gender, ras, warna kulit, daerah asal, dan atau orientasi seksual. Intoleransi bisa menjadi kejahatan serius seperti menyerang atau memukul. Juga bisa menjadi tindakan kecil seperti ejekan dalam ras atau agama seseorang. Kejahatan-kejahatan membenci dan tidak bertoleransi ini berhubungan dengan kebebasan beragama atau keyakinan di mana objeknya adalah individual. Karena tipe kejahatannya seperti ini, maka tanggung jawab terletak pada individual sebagai subjek dari kejahatan hukum. (Hasani. 2009, 17-18).
Akibat-akibat dari intoleransi seperti ini, benar-benar nyata dalam pengalaman warga gereja HKBP Taman Sari tersebut dengan meninggalkan trauma yang cukup parah. Menurut hemat penulis ada beberapa bagian – yang pada kenyataannya pasti lebih menyakitkan batin mereka - dari berita pembongkaran gereja ini yang menimbulkan rasa trauma bagi warga jemaat yang nampak dalam ungkapan-ungkapan berikut: (1) suara raungan semakin keras ketika ... alat berat mendekati dan mulai menghancurkan tembok; (2) hasil sumbangan puluhan jemaat yang sudah 13 tahun beribadah di sana; (3) Kendati sudah mendapat persetujuan lebih dari 70 warga yang bermukim di sekitar gereja ... namun izin dari Kabupaten Bekasi tak kunjung turun; dan (4) malah menyegel dan membongkar bangunan gereja dengan alasan tak mempunyai izin mendirikan bangunan.
            Keempat suasana tersebut pasti menimbulkan rasa trauma yang sangat mendalam. Terminologi trauma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani; atau luka berat. (KBBI. s.v. “trauma”). Kata Yunani untuk kata trauma adalah τραύμα yang berarti sebuah “luka” atau “ sebuah luka yang membebankan tubuh akibat dari suatu tindakan kekerasan.” Menjadi traumatis karena ada sesuatu yang membantingkan atau menjatuhkan dari suatu kekuatan eksternal yang bermusuhan dengan mengancam untuk menghancurkan seseorang. Pokok penting gambaran visual ini seperti penyerangan karakter sebuah trauma; termasuk suatu serangan oleh suatu alat eksternal yang mudah dirasakan tubuh manusia seperti yang terjadi pada sebuah luka. Pegertian trauma kontemporer dipahami secara luas aplikasinya untuk pikiran dan emosi yang difokuskan pada pengaruh-pengaruh kekerasan dalam dunia interior kita, atau psikis kita. (Jones. 2009, 12-13).
             Trauma adalah penderitaan yang belum pergi dari seseorang atau masyarakat tertentu. Belajar tentang trauma adalah belajar tentang apa yang tersisa dan menghadirkan tantangan bagi pemahaman kita tentang apa yang melanjutkan sebuah pengalaman, lalu apa artinya untuk kesaksian sebuah pengalaman. Dalam akibat buruk dari kekerasan, pribadi atau komunitas ditantang untuk mengenal diri mereka sendiri dalam akibat buruk dari peristiwa-peristiwa yang menghancurkan kerangka kerja yang lazim tentang suatu makna dan rasa percaya dalam diri seseorang. (Rambo. 2010, 15). Dalam hal ini, menurut penulis telah terjadi luka berat (trauma) yang sangat mendalam terhadap jemaat HKBP Taman Sari terebut ketika terjadi tindakan kekerasan pembongkaran gereja oleh pemerintah Bekasi.

Mengenal Spiritualitas

Beberapa poin penting tentang spiritualitas menurut John J. Shea yang berkaitan dengan kedewasaan seseorang adalah: (1) spiritualitas dapat menjadi suatu gagasan yang mengagumkan tanpa bentuk untuk menangkap sesuatu yang secara manusiawi sangat penting. Penemuan struktur dari seorang dewasa dalam integral spiritualitas adalah sama sebagai struktur dari membantu kedewasaan yang menjelaskan dan memberi bagian untuk gagasan spiritualitas. Spiritualitas, tidak hanya esensial untuk suatu pandangan manusia, tetapi kepenuhan spiritualitas adalah benar-benar suatu deskripsi tentang suatu aktualitas dan refleksi diri orang dewasa. Integral spiritualitas dan hidup bersama orang dewasa adalah suatu pemeliharaan, penopangan, dan memajukan satu dengan yang lainnya; (2) spiritualitas memberi makna untuk hidup dan membolehkan kita untuk partisipasi dalam hal yang lebih luas dan menyeluruh. Spiritualitas merupakan kebutuhan kita semua sebagai manusia. Bukan saja sebagai hal yang esensial, tetapi juga kita bisa mengerti bahwa isi dari integral spiritualitas menjadi hal yang unik bagi setiap individu yang dewasa. Spiritualitas dan perbedaan dihormati bersama pada dasar dari suatu integral diri masing-masing; (3) spiritualitas inheren dengan fenomena manusia yang tidak mengejutkan karena ia merupakan bagian dari pengalaman aktual, sehingga tidak mengejutkan juga jika integral spiritualitas merupakan bagian dari pengalaman diri seorang dewasa yang integral dalam diri masing-masing; (4) jika kedewasaan membuat integral spiritualitas menjadi hal yang mungkin dan merupakan kebutuhan, maka integral spiritualitas kembali pada kemurahan hati. Seorang dewasa dan spiritualitas memiliki hubungan yang sangat intim; dan (5) Dalam kedewasaan, isi spiritualitas hidup dalam diri sebagai proses tanggung jawabnya sendiri. Sebenarnya, yang menarik bagi kita dalam spiritualitas adalah bahwa ada sesuatu rasa pertalian yang memberi makna untuk hidup, sesuatu kehidupan, animasi, dan kebanggaan, sesuatu yang membolehkan untuk membarui harapan dan kasih, sesuatu yang menyembuhkan hati kita, dan transformasikan pertalian kita, kemurahan hati yang menegaskan siapa kita dan mengundang kita untuk berpartisipasi dalam hal yang lebih luas secara keseluruhan.(Shea 2003, 57-58).
Spiritualitas telah lama diakui sebagai kunci untuk pemulihan komunitas untuk mencapai dan memelihara suatu hidup yang tenang. Gereja perdana telah memahami kuasa-kuasa spiritual dan mereka memahami drama kosmik kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Para bapa-bapa gereja perdana juga telah dengan jelas memahami tentang apa yang telah terjadi pada Salib sebagai suatu pertarungan spiritual antara kebaikan dan kejahatan. Model klasik ini menunjukkan bagaimana Kekristenan mulai bisa membantu perkembangan spiritual dalam kehidupan secara individual dan dalam terapeutik komunitas, suatu spiritual yang melindungi dan melawan sakit yang kambuh lagi.(Fifield 2005, 68-71).
Dalam spiritualitas Kristen memiliki  arti spesifik tentang hidup yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Lebih meluas lagi, istilah spiritualitas berhubungan dengan apa yang secara samar dianggap sebagai dimensi spiritual dari pengalaman atau hidup. (Thompson. 2008, x). Spiritualitas Kristen telah selalu nampak akarnya dalam Alkitab termasuk dalam kitab Perjanjian Lama dengan mengingat pada dua spiritualitas yang ditentukan untuk spiritualitas Kristen yaitu spiritualitas diri Yesus sendiri dan spiritualitas pengalaman Yesus yang membentuk gereja paling awal. (Thompson. 2008, 5). Tradisi Kristen lebih cenderung memahami spiritualitas sebagai sesuatu yang diwujudkan dalam apa yang kita katakan atau lakukan sehingga itu memungkinkan kita untuk mengetahui sesuatu tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Bagaimana pun spiritualitas Yesus sendiri telah dibagikan kepada manusia. Oleh karena Yesus bukan hanya untuk pengikutNya, maka beberapa orang telah dibagikan pengalaman spiritulitasNya. Para penulis Perjanjian Baru dengan jelas telah menyaksikan bahwa Yesus sendiri telah berbagi suatu pengalaman spiritual. (Thompson. 2008, 10-12).
Menurut Wesley Carr, spiritualitas manusia adalah salah satu cara untuk pemuridan. Spiritulitas Kristen dibentuk oleh beberapa karakter kalsik Kristen tentang salib: ada dua perasaan yang bertentangan (ambivalence) dalam diri kita; kemenduaan (ambiguity) dalam konteks kita; kebutuhan untuk mengambil keputusan dan bertindak (action); pemahaman tentang korban (cost); dan  spiritualitas dalam sakramen. Spiritualitas Kristen adalah perjalanan hidup manusia di dalam iluminasi dan di bawah pertimbangan jalan salib. (Carr. 1989a, 155-156). Semua aspek ini saling berkaitan, namun dalam hal pastoral ini, menurut penulis kita fokus pada kebutuhan spiritualitas untuk mengambil keputusan dan bertindak. Bertindak adalah hal yang intrinsik untuk spiritualitas Kristen. Tidak ada orang atau kelompok yang pasif di sekitar salib. Masing-masing memiliki suatu keputusan untuk bertindak sebagai konsekuensi dari keputusan itu. Demikian pula, dengan cara Kristen: Bertindak adalah keharusan, dan keputusan tanpa tindakan adalah kehampaan. Itulah sebabnya misi dan penginjilan dikelilingi dengan spiritualitas Kristen. Penekanan dan pentingnya tindakan untuk spiritualitas adalah pada unsur dasar pola salib, menyediakan norma kritis untuk membuat keputusan dan tindakan Kristen. (Carr. 1989b, 159-160). Dari pendapat Carr ini kita dapat pahami bahwa spiritualitas itu selalu dikuti dengan sebuah keputusan sekaligus tindakan yang tak terpisahkan demi suatu pelayanan pastoral yang baik. Oleh karena itu, menurut penulis dalam pelayanan pastoral tidak cukup hanya dengan memahami metode-metode hermenautik saja, tetapi harus didukung oleh spiritualitas ini dalam diri setiap manusia baik sebagai subjek maupun objek dari pelayanan pastoral itu.
Berdasarkan pemahaman tentang beberapa poin penting dari spiritualitas tersebut di atas, maka dalam tulisan ini jelas lebih pada spiritualitas menurut perspektif iman kristiani. Dalam hal ini lebih cenderung nampak pada suatu bimbingan spiritual. Menurut William A. Barry dan William J. Connoly yang dikutip oleh Duance Bidwell, bahwa bimbingan spiritual adalah:

“Bantuan yang diberikan oleh salah satu orang Kristen kepada yang lain yang memungkinkan orang tersebut untuk memperhatikan pada komunikasi pribadi Allah kepadanya, untuk menanggapi secara pribadi hal komunikasi Allah ini, untuk tumbuh dalam keintiman dengan Allah ini, dan untuk menjalani konsekuensi hubungan ini. Fokus dari jenis bimbingan rohani ini adalah pengalaman, bukan ide-ide, dan secara khusus pada pengalaman religius. yaitu, setiap pengalaman tentang misterius Lainnya yang kita sebut Allah.”(Bidwell. 2004, 4-5).

Dengan melihat definisi bimbingan spiritual ini, maka menurut penulis unsur yang penting dan ditekankan adalah soal komunikasi dan pengalaman orang percaya dengan Allah dalam hal-hal yang konkret. Artinya, ditekankan pada hal-hal yang nyata dalam pengalaman hidup seseorang.

Upaya-upaya Pemulihan Spiritual

            Berdasarkan pengertian bimbingan spiritual tersebut, maka upaya pemulihan spiritual ini dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu dengan memakai kata-kata yang memulihkan dan tindakan pendampingan pastoral. Sasaran utama dari pemulihan spiritual ini adalah manusia seutuhnya dengan pintu masuk pemulihannya adalah hati. Menurut Daniel E. Fountain, arsitektur hati manusia itu dapat kita kenal seumpama ruang-ruang dalam rumah kita yakni: (1) ruang depan = mata, telinga, peraba, penciuman, pengecap, dan pikiran alam sadar; (2) ruang dapur = emosi; (3) ruang keluarga = perasaan; (4) ruang belajar = kepercayaan dan nilai-nilai yang kita pegang; (5) ruang perpustakaan = warisan budaya; (6) ruang/kamar tidur = keinginan dan memori yang dapat diingat; dan (7) ruang penyimpanan barang = memori yang tak dapat diingat/naluri. (Fountain 1999a, 108).
Dari beberapa poin ini, maka hal emosi, perasaan, dan kepercayaan dan nilai adalah menjadi poin utama dalam upaya pemulihan spiritual ini dengan memakai kata-kata. Hal emosi menempati tempat yang sangat penting dalam hati karena disinilah kita tertawa atau menagis, bercanda atau marah, dst., terhadap satu dengan yang lain. Dalam emosi itu ada reaksi internal terhadap kejadian eksternal; atau suatu energi psikis yang kuat untuk mempengaruhi tubuh dan pikiran manusia. Di dalam emosi ini juga hati menangkap arti setiap kejadian dan menentukan cara memberi reaksi. Kandungan emosi yang tinggi dan dipendamkan dalam diri seseorang akan memanifestasikan diri dengan cara yang merusak kesejahteraan jiwa dan kesehatan fisiknya. Emosi cenderung mempengaruhi banyak organ internal kita. Selanjutnya, tentang perasaan manusia. Perbedaan emosi dan perasaan ada pada tingkat kekuatannya. Perasaan merupakan kesan yang kita miliki terhadap diri sendiri, terhadap dunia sekitar kita, dan terhadap keadaan dimana kita berada. Sikap, sentimen, dan intuisi kita ada dalam ruang perasaan ini. Semua aspek ini berkaitan dengan orientasi kita atau bagaimana perasaan kita tentang sesuatu. Intinya, perasaan itu menentukan ada sesuatu yang menarik bagi kita atau ada sesuatu yang membuat kita tidak nyaman. Akhirnya, tentang kepercayaan dan nilai. Poin ini merupakan tempat kita memikirkan kehidupan dan dunia sekeliling kita untuk menyimpan kepercayaan tentang segala sesuatu dan nilai yang kita pegang. Banyak dari perilaku kita merupakan hasil dari mempercayai apa yang baik dan bernilai bagi kita. Semakin bertumbuh dan banyak belajar secara cermat dari kepercayaan dan nilai-nilai itu, maka dapat mengubahnya dan mendapatkan yang baru dari pengalaman kita. Kepercayaan dapat mempengaruhi cara berpikir, cara memandang dunia sekeliling, dan  cara kita bertindak.(Fountain 1999b, 110-115).
            Hati yang disakiti oleh trauma, perlu ada pemulihan dengan cara membersihkannya dari berbagai penyakit “hati” seperti perasaan takut, perasaan bersalah, kepahitan, kemarahan, dan memori seseorang. Mengenai penyakit hati ini, nabi Yeremia pernah menulis bahwa “Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yer.17:9). Atau terjemahan Alkitab dalam BIS yang lebih sederhana berbunyi: “Hati manusia tak dapat diduga, paling licik dari segala-galanya dan terlalu parah penyakitnya.” Lalu pada ayat ke 14, Yeremia berseru-seru kepada Tuhan, memohon kesembuhan: “Sembuhkanlah aku ya TUHAN, maka aku akan sembuh ... sebab Engkaulah kepujianku.” Karena itu, penyakit-penyakit hati tersebut perlu dicari cara pengobatannya. Perasaan takut yang timbul karena reaksi emosi terhadap sesuatu yang mengancam kita dapat dipulihkan jika segera ditangani dengan baik. Hal ini jarang menimbulkan efek buruk pada kesehatan. Perasaan bersalah yang timbul karena suatu perbuatan salah yang diketahui oleh orang lain dan pasti juga oleh Tuhan. Untuk mengangkat rasa bersalah ini perlu diucapkan kata-kata pemulihan yang mengungkapkan adanya kepastian pengampunan dari sesama dan Tuhan. Hal kepahitan hidup akan dirasakan ketika seseorang tidak mampu membayar hutang bersalahnya kepada sesama dan hutang dosanya kepada Tuhan. Karena itu, butuh kebesaran hati untuk mengakui kesalahan dan dosanya agar dibebaskan dari rasa berhutang itu. Soal kemarahan, adalah suatu gelora energi emosi yang kuat sekali tetapi normal akibat reaksi terhadap sesuatu yang melukai kita atau orang lain. Segi moral dari kemarahan tergantung pada cara menanganinya sehingga kita harus mengambil keputusan untuk mengendalikannya. Akhirnya, soal memori negatif dapat memberi perasaan suram dan pikiran yang menyiksa batin. Namun, dapat disembuhkan oleh kuasa TUHAN asal didoakan dan diimani dengan sungguh-sungguh bahwa pasti sembuh. (Fountain 1999c, 178-195).
            Berikut ini, penulis menawarkan model-model pemulihan spiritual bagi warga jemaat HKBP Taman Sari akibat trauma tersebut. Model pemulihan spiritual yang pertama adalah kekuatan bahasa atau kata-kata yang memulihkan dan percakapan pastoral. Kata-kata atau ungkapan-ungkapan kunci yang diucapkan ke dalam jiwa orang sakit dan dimengerti oleh jiwa seseorang dapat memecahkan semua persoalan psiko-spiritual seperti perasan akut, konflik, kecemasan, tekanan perasaan bersalah dan keputusasaan. Kehidupan manusia sebenarnya berupa jalinan hubungan yang benar. Pemulihan sejati membuat hubungan yang terluka dan terputus menjadi baik kembali seperti yang dilakukan Yesus dengan seorang perempuan yang mengalami pendarahan. (Fountain 1999, 56). Bahasa atau kata-kata yang kita bawa dalam setiap pertemuan untuk pemulihan spiritul ini adalah bahasa yang berisi dua sisi yaitu: pertama, bahasa kekuatan-kekuatan dalam diri (deep forces) yang telah membentuk kehidupan kita dan memberinya garis bentuk dan kekhususan eksistensial. Kedua, bahasa interpretasi kita yang relevan atau pengalaman kita dan atas kekuatan-kekuatan yang ada di bawahnya (underlying forces). Bahasa interpretasi ini memakai citra, simbol, mitos, dan metafor; juga mempunyai gerakan tertentu  dan suatu kecondongan yang menandainya sebagai milik kita yang unik dan pribadi. Dengan mendayagunakan citra ‘dokumen yang hidup’ dari Boisen, maka kita setuju bahwa Boisen secara mendasar benar di dalam menempatkan hal yang terpenting dari penderitaan rohani manusia pada titik hubungan antara pengalaman dan pemahaman, antara terjadinya peristiwa-peristiwa dan bahasa makna bagi peristiwa-peristiwa itu. (Hommes. 1992, 400-401). Model percakapan pastoral sangat tergantung pada suatu inisiatif. Inisiatif percakapan pastoral ada pada anggota jemaat. Beberapa bentuk percakapan pastoral adalah sbb: (1) memperkenalkan diri; (2) tematis; (3) bentuk diskusi; dan (4) percakapan yang membantu.  Percakapan pastoral mempunyai segi-segi psikologis dan teologis. Percakapan terjadi atas dasar kewibawaan Yesus Kristus. Saat percakapan anggota jemaat sebagai partner harus diterima tanpa syarat sebagaimana ia ada dan memahami keadaannya; tetapi bukan juga menyetujui sifat atau perbuatannya yang jahat. Syarat lainnya adalah pengertian supaya tidak bersifat dingin, tetapi harus terbuka dan ditopang oleh rasa cinta kasih. Minat untuk melakukan percakapan pastoral adalah sebuah “rapport” (hubungan). Rapport adalah dasar pengertian atau itikad baik untuk sampai kepada saling mengerti yang perlu untuk setiap percakapan dengan menaruh perhatian. Pelayan harus bisa mengidentifikasikan dirinya dengan anggota jemaat sebagai partner percakapannya melalui sikap empatis. Juga mau mendengarkan dengan seksama, baik yang diucapkan dengan kata-kata maupun perasaan atau emosinya agar lebih sabar.(Abineno. 1999, 89-93).
            Model pemulihan spiritual yang kedua adalah lewat tindakan pendampingan pastoral.
Kemampuan seorang pendeta dalam pemulihan spiritual harus dibuktikan lewat aksi pendampingan pastoral. Menurut G. Heitink, pendampingan pastoral adalah suatu profesi pertolongan di mana seorang pendeta mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang Injil dan persekutuan dengan gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman. Dalam definisi ini kita melihat ada unsur pendampingan pastoral yang mempunyai identitasnya sendiri dan profesi pertolongan dalam hubungan antar pribadi dalam pendekatan konseling.(Hommes. 1992, 405).
Pendampingan pastoral dapat dijelaskan sebagai: (1) pewartaan firman Allah dalam situasi konkret manusia secara pribadi. Atau pewartaan/percakapan Injil dalam situasi konkret kehidupan seseorang. dan (2) isi pewartaan itu adalah Injil tentang pengampunan dosa. Pendampingan pastoral adalah profesi pertolongan yang berada di bawah terang Injil. Pendampingan pastoral bersifat tanpa cacat apabila mengambil bentuk dan dilaksanakan dalam pewartaan atau pengajaran melalui metode “korelasi,” di mana adanya korelasi antara pertanyaan manusia dengan tanggapan Allah. Melalui Yesus, Allah menerima manusia sebagaimana adanya. Model pendampingan pastoral nampak dalam suatu integrasi yang memberi pemahaman bahwa penyataan Allah dan kenyataan hidup manusia saling mempengaruhi dan saling membutuhkan.(Hommes. 1992, 407).
Dalam pelayanan Yesus, pendampingan pastoral biasa dikenal sebagai penggembalaan dalam bentuk khotbah dan tindakan konkret supaya orang bisa memasuki kondisi dan situasi Kerajaan Allah. Orang-orang pada akhirnya menemukan Allah. Dalam percakapan Injil ini, seseorang bisa merasakan sendiri rahmat, keadilan, dan menemukan bahwa ia membutuhkan keselamatan. Kita bisa mengikuti jejak Yesus ini sehingga bisa terlibat dalam relasi dengan orang lain yang berhubungan dengan konseling dan komunikasi yang penting. Dengan cara inilah orang merasakan diterima karena ada relasi timbal balik sehingga bisa saling terbuka dan persekutuan yang mendalam dan erat terjadi. Perjumpaan ini memiliki dimensi eksistensial perjumpaan antara manusia dengan Allah sebagai perjumpaan perjanjian dalam karya Roh Kudus sehingga manusia menghayati panggilan Allah.(Hommes. 1992, 413-415).
Pada satu pihak, model teologi kontekstual yang bisa kita pakai untuk pendampingan pastoral terhadap trauma adalah model praksis. Istilah praksis sering digunakan sebagai suatu kecenderungan alternatif untuk kata praktek atau tindakan. Istilah ini berasal dari istilah teknik yang berakar dalam Marxisme dan dalam pendidikan filsafat. Ini adalah istilah yang merupakan suatu metode atau model dari pikiran umum dan dari teologi tertentu. (Bevans. 1992a, 71). Penyataan model ini nampak dalam situasi yang diharapkan sebagai Allah yang bekerja dalam dunia dan memanggil manusia laki-laki dan perempuan sebagai mitra pelayanan. Kesaksian Alkitab dan atau kondisi tradisi yang dihadapi model ini adalah kondisi secara budaya seperti ekspresi-ekspresi semua manusia. Sedangkan konteksnya pada dasarnya baik dan dapat dipercaya, namun bisa juga menyimpang; harus ada pendekatan dengan beberapa kecurigaan; dan dapat disetarakan untuk Alkitab dan tradisi. Metode model teologi praksis ini adalah praktek-refleksi-praktek dalam lingkaran spiral yang tak pernah berakhir. (Bevans. 1992b, 142).
Selain dalam spiritualitas Yesus, juga nampak dalam teologi pastoral Yesus yang dapat dikerjakan dalam teologi lokal kita untuk pemulihan spiritual. Yesus telah melakukan teologi dengan pikiran sehat. Dia mengundang orang untuk menggunakan pertimbangan dan kepercayaan mereka sendiri dalam kapabilitas untuk alasan kemanusiaan. Ini dapat diilustrasikan oleh perumpamaan tetang orang Samaria yang baik, hukum Sabat, prioritas kebutuhan manusia, dll. Yesus melakukan teologi ini sebagai seorang yang pragmatis. Sikap pikiran sehat Yesus adalah suatu sikap pastoral yang meresap dalam arti pelayanan dan interaksiNya. Hal ini nampak dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik (Luk.10:30-37). Inti-inti perumpamaan ini sebagai cara melakukan teologi lokal sbb: (1) Orang Samaria yang baik itu tidak menyangka terjadi situasi yang dihadapinya. Namun, pelayanannya ada dalam suatu konteks; (2) rasa belas kasihannya adalah dasar motivasi pelayanannya; (3) dia merawat korban menurut pengertiannya; setelah itu ia mengakui keterbatasannya, dia mendelegasikan tugas kepada seorang yang berprofesional lokal sebagai pengurus rumah penginapan; (4) Orang Samaria yang baik ini melanjutkan perjalanannya yang direncanakan; dia tidak memberikan segala sesuatu karena situasi yang mendesak; dan (5) ia menerima tanggung jawab dan berjanji untuk kembali kepada pengurus penginapan untuk membayar apapun yang menjadi haknya. Ini adalah suatu model yang mengesankan tentang melakukan pelayanan lokal dan memberikan contoh pelayanan berdasarkan pikiran sehat dan belas kasihan. Ini sangat penting bagi kita untuk memahami teologi dengan melihat alasan kehormatan, pertimbangan, dan pikiran sehat Yesus itu. Ini adalah hal yang vital bagi upaya-upaya teologi kita untuk mengakui kepercayaan pada Yesus yang diletakkan dalam kemampuan manusia. (Sedmak, 2002, 28-29). Berdasarkan model ini, maka menurut penulis ada dua hal yang sangat penting untuk dipakai sebagai cara untuk pemulihan spiritual ini yaitu kekuatan spiritualitas Yesus dan teologi pastoral Yesus sendiri. Dua hal ini menjadi dasar motivasi untuk melakukan pendampingan untuk pemulihan spiritual korban trauma.
            Di pihak lain, penulis juga sangat tertarik dengan pandangan Anton Theophilus Boisen mengenai konsep ‘dokumen manusia yang hidup’ (living human document) saat melakukan pendampingan pastoral. Perhatian Boisen yang lebih mendasar adalah mengobyektifkan bahasa teologis yang tidak kehilangan pertalian dengan data konkret pengalaman manusia melalui studi yang sistematis dan teliti atas kehidupan orang-orang yang sedang bergumul dengan pokok-pokok kehidupan rohani di dalam kekonkretan hubungan sosial mereka. Perhatian risetnya disertai oleh perhatian yang mendalam terhadap kesejahteraan orang-orang yang bermasalah. Bagi Boisen penyembuhan batin harus secara fundamental dilaksanakan dengan bahan mentah pengalaman religius. Dalam citra (image) Boisen seorang manusia dapat dipandang sebagai suatu dokumen yang dapat dibaca dan diinterpretasikan dalam cara-cara yang sama dengan interpretasi terhadap teks-teks historis (Alkitab) yang darinya dasar tradisi iman Yahudi-Kristen kita gali. Citra ini menegur kita untuk mulai mengembangkan teori pelayanan pastoral dengan pengalaman manusia konkret. Maksudnya adalah pengalaman mendalam dari orang-orang di dalam pergumulan kehidupan mental dan rohani mereka. Setiap dokumen yang hidup dari tiap orang mempunyai integritasnya masing-masing dan menuntut pemahaman dan interpretasi khas. Seperti teks Alkitab tidak boleh dibelokkan ke dalam makna yang diinginkan pengkhotbah, demikian juga teks manusia menuntut pemahaman bagi kepentingannya sendiri. Orang yang sedang bermasalah adalah pribadi yang dunia dalamnya (inner world) tidak terorganisir sehingga kehilangan dasar-dasarnya. (Hommes. 1992, 379-381).
            Gagasan utama Boisen adalah untuk memahami sifat dasar penderitaan dari orang yang sakit mental dengan mengaitkan  peristiwa-peristiwa kehidupan orang yang bermasalah dengan pemahamannya terhadap segala sesuatu yang sudah dan sedang terjadi. Di sini Boisen menunjuk pada masalah eksistensial dan dilema dari kehidupan manusia sebagai pembuat makna yang senantiasa dihadapkan pada dua sisi. Pertama, terdapat aliran realitas yang keras di dalam peristiwa-peristiwa. Kedua, ditengah-tengah peristiwa situasi individual itu, setiap orang yang sungguh-sungguh ingin hidup dengan integritas harus dapat memelihara perasaan kemandiriannya dan menjadi seseorang yang mempunyai kuasa untuk bertindak dan memilih.(Hommes. 1992, 394-395).
Kini, kita tiba pada aksi-aksi nyata untuk pemulihan spiritual lewat kata-kata yang memulihkan, percakapan pastoral, dan pendampingan pastoral tersebut diatas yakni kunjungan rumah tangga warga jemaat dan doa penyembuhan. Kunjungan rumah tangga mengandung segi gerejawi dan manusiawi. Maksudnya adalah untuk memelihara hubungan dan mau berusaha untuk membantu jemaat dalam persoalan dan pergumulan mereka. Pada sisi kemanusiaannya, majelis bertemu dengan jemaat sebagai manusia biasa yang hidup di dalam dunia di mana mereka hidup dan bekerja dalam segala suka dan duka mereka. Sedangkan pada sisi agamawinya, mereka bisa mencurahkan isi hati mereka kepada pendeta. Dalam kunjungan rumah tangga, jemaat tahu bahwa pendeta adalah orang yang tepat untuk mereka minta bantuan dan mereka sangat senang atas kunjungan itu.(Abineno. 1999, 93-95).
Satu kunci untuk perkunjungan rumah tangga ini adalah sebagai fungsi kedisiplinan pelayanan gereja. Tujuan dan model dalam perkunjungan sangat dekat dengan gambaran sebagai gembala. Semua aksi perkunjungan harus dipahami sebagai reinterpretasi disiplin gereja dan model dari hubungan pastoral sebagai suatu jenis gambaran persahabatan. Bagaimana pun, kunjungan pastoral modern harus memperhitungkan kebutuhan untuk pelayanan bersama dan disiplin positif yang berorientasi ke arah pertumbuhan dan kekudusan. Menurut William Oglesby dalam bukunya Biblical Themes for Pastoral Care mengatakan bahwa hal yang krusial dalam perkunjungan adalah bahwa setiap kunjungan akan mengandung elemen inisiatif dan kebebasan. Model ini tergambar dalam Alkitab ketika Allah berinisiatif, manusia dapat meresponnya (Wahyu 3:20).(Pattison. 1988, 73-77).
Intinya, seperti Yesus, para pendeta harus berinisiatif dalam pendekatan terhadap jemaat dalam pelayanan pastoral. Inisiatif adalah suatu yang pasti dalam pelayanan pastoral karena mengatasi isolasi dan kesendirian dan membawa rekonsiliasi dan kebersamaan. Selalu ada kebutuhan untuk para pendeta membuat suatu gerakan awal dan persiapan untuk bergerak ke arah orang lain. Ketika melakukan perkunjungan sebagai suatu inisiatif diri sendiri, pendeta harus mengikuti percakapan untuk memahami keinginan keluarga yang dikunjungi. Ini menegaskan kebebasan mereka, sehingga pendeta harus sensitif terhadap saat yang baik untuk lakukan suatu perkunjungan. Ini adalah kebenaran mendasar ketika pendeta mengambil inisiatif dalam panggilan pelayanannya melalui perkunjungan rumah tangga ini. (Pattison. 1988, 78-79).
            Kemungkinan aksi nyata lain yang bisa terjadi dalam upaya pemulihan spiritual terhadap manusia yang mengalami trauma seperti warga jemaat HKBP Taman Sari tersebut adalah melalui doa penyembuhan. Dalam hal ini penulis tertarik dengan pandangan seorang misiolog dan ahli pertumbuhan gereja, C. Peter Wagner. Menurut Wagner, model-model penyembuhan yang kita lihat di berbagai denominasi gereja masih menjadi kontroversi bagi gereja-gereja tertentu. Model penyembuhan yang baik adalah sesuai dengan kebiasaan masing-masing gereja lokal atau tidak perlu memakai atau mengimpor gaya penyembuhan dari gereja lain yang tidak tahu tentang tradisi gereja lokal. Untuk memahami model penyembuhan ini, harus belajar dari model pelayanan dalam Alkitab. Alkitab menyediakan norma-norma yang harus kita percayai dan juga harus bertindak dengan mempraktekkan pelayanan Yesus saat menyembuhkan orang sakit. Model penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus biasanya dengan memerintahkan suatu penyakit untuk keluar atau meninggalkan tubuh seorang yang sakit. Lalu kemudian gereja mula-mula mengikuti model penyembuhan ini dengan cara yang berbeda yakni dengan berdoa dalam nama Yesus. Lebih lanjut Wagner mengatakan bahwa pelayanan penyembuhan sudah terbentuk dalam berbagai tradisi gereja Ortodoks Yunani, Roma Katolik, Episkopal-Anglikan, Lutheran, Calvinis, Pentakosta, dan berbagai kelompok Karismatik. Semuanya tidak memiliki unsur kesamaan struktur dan prosedur karena setiap tradisi memiliki model pelayanan yang mencerminkan sejarah dan ideal teologis yang mereka pegang. Hal ini penting untuk dipelajari dan menguatkan hati karena ternyata sangat luar biasa Allah bekerja melalui ciri khas dan kepercayaan masing-masing untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Kita tidak perlu harus beradaptasi dengan teknik kelompok lain, apa lagi menghakimi mereka. (Blue 2010a, 125-130).
Ada beberapa unsur penting yang dipegang oleh orang-orang Kristen yang terlibat dalam proses penyembuhan ini yakni: (1) Allah berkehendak menyembuhkan orang sakit karena Ia lebih menyukai keutuhan daripada penyakit pada umatNya; (2) yang ada dalam komunitas penyembuhan adalah belas kasih kepada yang menderita; (3) ada sikap keberanian untuk investasi pribadi dan pengambilan resiko dalam iman yang dibuat oleh para pendoa, seperti yang dikatakan Jim Glennon: “Saya merasa berada di tepi kemalangan dan di sisi mukjizat.”; (4) penyembuhan Kristen adalah suatu misteri yang tidak dapat dikendalikan dengan menerapkan suatu formula sebab-akibat tertentu. Baik Alkitab, maupun gereja manapun tidak pernah menetapkan unsur struktural atau prosedural tertentu sebagai hal yang hakiki untuk model penyembuhan ini. (Blue 2010, 131-132). Demikian juga halnya dengan gereja HKBP Taman Sari, pasti bisa melakukan pemulihan spiritual bagi warga jemaatnya pasca kekerasan intoleransi tersebut sesuai dengan tradisi pelayanan doa penyembuhan di HKBP.

Penutup/Refleksi

             Eksistensi manusia menurut Alkitab dan iman kristiani adalah merupakan entitas tunggal yang terdiri dari dimensi akal budi (hati/jiwa). roh, dan tubuh. Ketika manusia mengalami kesakitan atau penderitaan pasti ketiga dimensi ini merasakannya. Oleh karena itu, upaya pemulihannya sangat membutuhkan pelayanan pastoral melalui salah satu fungsi utamanya yakni menyembuhkan (healing). Arti menyembuhkan dalam perspektif pastoral adalah lebih pada memperhatikan dimensi spiritual kehidupan manusia yang berkaitan dengan kesehatan utuh manusia umumnya dan kesehatan mental manusia khususnya. Tidak memisahkan dimensi fisik, emosional, dan spiritual seseorang sehingga bisa mencegah putus asa dan bunuh diri.
            Dalam hal ini penulis mengangkat contoh kekerasan intoleransi beragama di Indonesia yang dialami oleh gereja HKBP Taman Sari sebagai objek pemulihan spiritualnya yang berkaitan dengan fungsi pastoral dan dimensi spiritual tersebut. Metode pemulihan spiritual yang ditawarkan penulis di sini adalah melalui kekuatan bahasa atau kata-kata yang memulihkan dan percakapan pastoral, dan aksi-aksi nyata pendampingan pastoral melalui kunjungan rumah tangga dan doa penyembuhan. Semua tindakan ini tetap berpatokan pada spiritualitas yang rela berbagi atau menolong orang lain, sebagai suatu disiplin pemuridan, sikap yang berani mengambil keputusan dan bertindak untuk menolong melalui sebuah bimbingan spiritual; dan tindakan teologi pastoral Yesus yang menggunakan pikiran yang sehat serta kemampuan untuk melakukan salah satu tidakan nyata pendampingan pastoral seperti yang dicitrakan oleh Anton Theophilus Boisen, dengan nama membaca “dokumen manusia yang hidup”(living human document).

_______________________


Daftar Acuan

Buku

Abineno, J.L.Ch. 1999. Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Bevans, Stephen B. 1992. Models of Contextual Theology. New York: Orbis Books.

Bidwell, Duane R. 2004. Short-Term Spiritual Guidance. Minneapolis: Fortress Press.

Blue, Ken. 2010. Authority to Heal (Otoritas untuk Menyembuhkan). Terj. Paul Hidayat.
Jakarta: Pancar Pijar Alkitab.

Carr, Wesley. 1989. The Pastor As Theologian: The Integration of Pastoral Ministry
Theology and Discipleship. London: SPCK.

Fountain, Daniel E. 1999. God, Medicine & Miracles (Allah, Kesembuhan Medis & Mukjizat). Terj. Doreen Widjana. Bandung: Lembaga Literatur Baptis.

Hasani, Ismail. 2009. peny. Siding and Acting Intolerantly. Jakarta: Publikasi Setara Institute.

Hommes, Tjaard G. dan E.G. Singgih. 1992. peny. Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi Pastoral. Jakarta dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius.

Jones, Serene. 2009. Trauma+Grace: Theology In a Rupturd World. Louisville-Kentucky: Westminster John Knox Press.

Neusner, Jakob. dan Bruce Chilton. 2008. peny. Religious Tolerance in World Religions. Pennsylvania: Templeton Foundation Press.

Pattison, Stephen.  1988. A Critique of Pastoral Care. London: SCM Press.

Sadmak, Clemens. 2002. Doing Local Theology: A Guide for Artisan of a New Humanity. New York: Orbis Books.

Thompson, Ross. dan Gareth Williams. 2008. Christian Spirituality. London: SCM Press.

Artikel dari Jurnal

Fifield, Mary Anne. 2005. Spirituality in the Therapeutic Community: A Christian Perspective. American Journal of Pastral Counseling . Vol.8 (Januari): 67-72.

Shea, John J. 2003. Adulthood-A Missing Perspective: Psychotherapy, Spirituality, and Religion. American Journal of Pastral Counseling . Vol.7 (Januari): 39-60.


Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1194. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka s.v. Trauma.

Website dari Internet

Pembongkaran Gereja. http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-03-22/pembongkaran-gereja-hkbp-taman-sari-bekasi/1105560. Diperbaharui 22 March 2013, 11:02 AEST (diakses tanggal 7 Mei 2013)


gumul & juang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar