Jumat, 08 November 2013

Pemulihan Spiritual


Pemulihan Spiritual Korban Trauma Akibat Intoleransi Beragama

Oleh: Pdt. Ruben Tallo


Pendahuluan

            Orang yang mengalami gangguan kesehatan (sakit) karena luka ringan saja, biasanya merasa tidak nyaman dengan dirinya secara fisik maupun psikis. Apalagi kalau mengalami luka berat atau trauma pasti sangat menyakitkan lagi. Ketika seseorang mengalami hal seperti ini pasti sangat membutuhkan pertolongan untuk bisa menyembuhkannya. Oleh karena itu, yang menjadi thesis statement penulis dalam memaparkan tulisan ini adalah pemulihan spiritual terhadap korban trauma akibat intoleransi kemajemukan beragama di Indonesia harus menjadi penekanan bagi pelayanan pendampingan pastoral di Indonesia masa kini. Dengan kata lain, penulis akan menawarkan suatu cara untuk menyembuhkan luka akibat trauma, yakni dengan pemulihan spiritual.
            Pemulihan spiritual ini akan lebih difokuskan pada salah satu fungsi dari pelayanan pastoral yang sering digunakan dalam sepanjang sejarah gereja Tuhan, yaitu fungsi menyembuhkan. Fungsi menyembuhkan yang dimaksudkan di sini tidak sama dengan upaya psikoterapi yang merupakan sekularisasi yang tidak menghargai implikasi religius dan refleksi teologis dalam gangguan mental manusia. Juga tidak sama dengan proses karismatisasi dengan penumpangan tangan, doa, perminyakan, dan eksorsisme. Penyembuhan ini lebih pada memperhatikan dimensi spiritual kehidupan manusia yang berkaitan dengan kesehatan fisik manusia umumnya dan kesehatan mental manusia khususnya, secara komprehensif atau seutuhnya. Atau tidak memisahkan dimensi fisik, emosional, dan spiritual seseorang sehingga bisa mencegah putus asa dan bunuh diri.(Hommes. 1992, 416).
            Hal ini dikatakan juga oleh Blue Ken bahwa dimensi penyembuhan pada manusia yang sakit trauma itu meliputi tiga dimensi yang utuh dari manusia yaitu akal budi (hati/jiwa), roh, dan tubuh yang berinteraksi dalam penyakit dan dalam proses penyembuhan. Dimensi akal budi, roh, dan tubuh adalah bukan merupakan kategori yang terpisah tetapi menolong kita untuk mengungkapkan berbagai unsur dalam sifat manusiawi kita. Alkitab memandang manusia sebagai suatu entitas tunggal atau merujuk kepada keseluruhan hidup seseorang. Jadi, anggapan terhadap adanya suatu penyakit semata-mata hanya masalah jasmani, tidak di kenal dalam Alkitab. Karena itu, penyembuhan terhadap manusia dilihat sebagai hal yang komprehensif. Hal dimensi akal budi sama dengan yang dikatakan Alkitab sebagai “hati” atau “jiwa” yang merupakan wilayah pikiran, emosi, dan kemauan. Jika kita mencemarkan akal budi dengan kecemaran moral akan mengalami kelumpuhan secara emosi dan kemauan sehingga tidak mampu membedakan antara yang baik dan jahat, indah dan buruk, kasih dan nafsu. Lalu soal dimensi roh, adalah bagian diri kita yang tidak kelihatan yang menyentuh dan berelasi dengan Allah dan roh-roh lainnya. Kekuatan rohani dalam diri kita terdiri dari dua macam yaitu kekuatan yang baik (Roh Kudus dan para malaikat kudus); dan kekuatan yang jahat dari Iblis. Kita dapat digoda dan disiksa oleh kekuatan jahat ini bahkan sampai pada batas tertentu bisa dikendalikan oleh kejahatan rohani ini. Penyakit rohani dapat terjadi karena berbuat dosa, mencari pengalaman okultisme, diundang melalui trauma dan kutukan. Akhirnya dimensi tubuh, adalah bagian keberadaan kita yang nampak dan paling jelas sebagai alat untuk kita membawa dampak ke dunia fisik dan sebaliknya sebagai alat dunia fisik membawa dampak kepada kita. Banyak bentuk penyakit yang membuat tubuh kita mengalami sakit secara kronis yang berkaitan dengan unsur lain sehingga penyembuhan di satu unsur akan mengakibatkan penyembuhan unsur lainnya.(Blue 2010, 149-152).
Menyadari akan eksistensi manusia sebagai suatu entitas tunggal dan upaya pemulihan spiritualnya tersebut, maka sangat penting untuk menangani aksi-aksi kekerasan yang sangat rentan menimpa masyarakat di Indonesia ini. Juga sebagai langkah konkret gereja dalam menyatakan pelayanan pastoral (pastoral care) terhadap “kesakitan” yang dialami oleh masyarakat di sekitar gereja baik secara fisik maupun mental mereka. Dengan demikian, penulis akan mengangkat sebuah pengalaman intoleransi beragama di Indonesia masa kini sebagai contoh untuk pengkajian tulisan ini dengan fokus pada soal intoleransi beragama yang menyebabkan trauma, pemulihan spiritual, dan model pendampingan pastoral terhadap korban trauma yang menekankan pada pemulihan spiritual.

Contoh Kasus Intoleransi

            Pada kesempatan ini penulis mengangkat kasus pembongkaran gereja HKBP Taman Sari di Bekasi pada tanggal 21 Maret 2013 lalu, yang merupakan kasus yang masih sangat aktual dan menimbulkan trauma bagi warga jemaat setempat. Adapun sedikit gambaran tentang peritiwa ini  sbb:

Pembongkaran Gereja HKBP Taman Sari Bekasi

pembongkaran gereja di Bekasi

1. Jemaat Gereja HKBP menyatakan bakal melawan aksi
pembongkaran dengan mengajukan gugatan hukum. (Foto: Laban Laisila)

Pemerintah Kabupaten Bekasi tetap membongkar bangunan gereja HKBP Taman Sari, Bekasi, meski mendapat protes dari sejumlah pihak. Kini pihak gereja akan tempuh jalur hukum untuk mengugat Pemda Bekasi. Pembongkaran gereja ini adalah yang kesekian kalinya terjadi berkaitan dengan pelarangan ibadah di Bekasi.Tangis puluhan jemaat perempuan dan anak anak gereja HKBP Taman Sari, Kecamatan Setu, Bekasi terus mengiringi proses pembongkaran bangunan gereja yang baru setengah jadi, Kamis sore (21/3). Suara raungan semakin keras ketika alat berat milik Pemerintah Kabupaten Bekasi mendekati dan mulai menghancurkan tembok setinggi 3 meter yang mengelilingi bangunan utama.Tidak sampai setengah jam, tembok bangunan gereja sudah rata dengan tanah.Anehnya sejumlah orang yang menolak memberi komentar kepada Radio Australia, ternyata tak bermukim di sekitar gereja.
Bangunan itu adalah hasil sumbangan puluhan jemaat yang sudah 13 tahun beribadah di sana. Awalnya jemaat HKBP hendak memugar bangunan menjadi lebih layak, karena bangunan sebelumnya hanya semi permanen dan sebagian tersusun dari kayu. Kendati sudah mendapat persetujuan lebih dari 70 warga yang bermukim di sekitar gereja untuk mematuhi kesepakatan tiga kementerian, namun izin dari Kabupaten Bekasi tak kunjung turun.
Belakangan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi malah menyegel dan membongkar bangunan gereja dengan alasan tak mempunyai Ijin mendirikan bangunan, seperti yang disampaikan perwakilan bagian hukum Pemda, Maman Suhardiman saat hendak membongkar.
"Kami menegakkan peraturan tentang bangunan yang tidak memiliki izin membangun. Dasar hukum kami adalah Peraturan Daerah. Mekanisme juga sudah dilakukan, termasuk sebelumnya penyegelan," tegas Maman.
Pimpinan jemaat HKBP, Adven Nababan menuding Pemda Kabupaten Bekasi telah diintervensi oleh sekelompok penolak yang memang mendatangi lokasi pembongkaran.
"Banyak kejanggalan, sampai saat ini tidak ada surat yang kami terima dari Ibu Bupati tentang pembongkaran. Jadi kita akan tempuh melalui jalur hukum," ujar Adven.
Peristiwa ini mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menambah daftar panjang kasus pelarangan ibadah dan intoleransi di Jawa Barat. Sebelumnya kasus yang mirip soal sengketa bangunan tempat ibadah juga dialami oleh GKI Jasmin di Bogor dan HKBP FIladelfia di Bekasi yang sebetulnya mempunyai posisi hukum lebih kuat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengutuk keras atas peristiwa pembokaran rumah ibadah itu.(Laban Laisila, website 2013).

Trauma Akibat Intoleransi

Pluralisme agama sekarang merupakan suatu realitas praktis dari hidup setiap hari, dan kapasitas agama untuk toleransi satu dengan yang lain dalam teori dan dalam praktek adalah suatu isu konsekuensial terhadap masyarakat kontemporer. Ada tiga pernyataan yang lebih mendekat pada refleksi keyakinan agama-agama di beberapa negara yaitu: (1) agamaku memberikan satu jalan yang benar kepada Allah dan kesuksesan dalam kehidupan yang akan datang; (2) agama lain yang lazim membagikan keyakinan kepadaku harus juga memberikan suatu jalan kepada Allah; (3) agamaku adalah salah satu dari banyak jalan kepada Allah dan keselamatan; pada dasarnya semua tradisi agama juga memimpin kepada Allah dan keselamatan. (Neusner. 2008, 3-4).
Ketiga pernyataan tersebut sesungguhnya bisa menciptakan sikap toleran dan sifat toleransi antar umat beragama. Namun, tindakan kekekrasan intoleransi beragama yang dialami oleh warga jemaat HKBP Taman Sari ini disebabkan oleh rasa intoleransi beragama yang sangat parah di Indonesia ini. Hal ini nampak dalam proses pembuatan surat izim membangun (IMB) yang walaupun sudah lama diproses, tetapi belum kunjung beres juga. Anehnya, hal ini dipakai dan diakui sebagai alasan utama melakukan tindakan kekerasan tersebut. Karena itu, di sini muncul pertanyaan mendasar bahwa: Apakah masih ada toleransi beragama bagi konteks Indonesia yang pluralistis ini? Pada kesempatan ini, penulis juga hendak mencoba untuk memahami kembali arti sikap toleran dan sifat toleransi ini agar dengan belajar dari pengalaman yang traumatis ini, bisa memahami secara proporsional makna toleran dan toleransi ini.
Sangat penting untuk dipahami tentang sikap toleran dan sifat toleransi ini agar kita dapat membandingkannya dengan tindakan-tindakan kekerasan intoleransi di Indonesia masa kini. Toleran adalah bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan toleransi adalah: 1. sifat atau sikap toleran; 2. batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3. penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. (KBBI. s.v. “toleran” dan “toleransi”). Sedangkan menurut Kevin Corrigan, toleransi adalah berasal dari bahasa Latin tolero-tolerare, yang artinya “ memikul”, “menahan” tapi juga “memelihara” atau “menopang”. Jadi, akar kata untuk beberapa toleransi beragama dalam dunia nampaknya bukan memberi harapan untuk pandangan sekilas saja. (Neusner. 2008, 99). Menyimak definisi-definisi ini, sesungguhnya ada suatu tuntutan dari setiap orang untuk melapangkan akal budi, roh, dan tubuhnya ketika hidup bersama dengan orang lain dimana pun berada agar sikap toleran dan sifat toleransi itu terpelihara. Namun, pada kenyataannya sikap toleran dan sifat toleransi ini sangat sulit untuk dilaksanakan. Berbagai rasa sensitifitas etnis, budaya, dan agama masih sangat kuat di Indonesia ini sehingga terjadilah peristiwa kekerasan intoleransi yang menimbulkan rasa trauma seperti pengalaman warga jemaat HKBP Taman Sari ini.
Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama adalah suatu kekerasan terhadap kebebasan beragama atau keyakinan yang memiliki beberapa perbedaan, pengeluaran, pembatasan, pilihan berdasarkan agama atau keyakinan dan memakainya sebagai tujuannya lalu melakukan perusakan terhadap penghargaan, kesenangan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental dalam suatu dasar kesamaan, seperti tidak menerima suatu komunitas atau mengekspresikan atau menonjolkan kebencian terhadap komunitas lain bedasarkan perbedaan dalam agama atau keyakinan. Intoleransi adalah berasal dari keyakinan bahwa komunitas baik laki-laki atau pun perempuan, sistem keyakinan atau gaya hidupnya adalah lebih tinggi dari yang lain. Ini dapat disebabkan oleh beberapa jajaran konsekuensi dari kekurangan apresiasi atau pembelotan terhadap orang lain untuk melembagakan diskriminasi. Semua tindakan ini berasal dari penyangkalan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. (Hasani. 2009, 15-16).
Kejahatan-kejahatan membenci dan tidak bertoleransi adalah tindakan yang dimotivasikan oleh kebencian atau prasangka terhadap seseorang atau kelompok orang berdasarkan gender, ras, warna kulit, daerah asal, dan atau orientasi seksual. Intoleransi bisa menjadi kejahatan serius seperti menyerang atau memukul. Juga bisa menjadi tindakan kecil seperti ejekan dalam ras atau agama seseorang. Kejahatan-kejahatan membenci dan tidak bertoleransi ini berhubungan dengan kebebasan beragama atau keyakinan di mana objeknya adalah individual. Karena tipe kejahatannya seperti ini, maka tanggung jawab terletak pada individual sebagai subjek dari kejahatan hukum. (Hasani. 2009, 17-18).
Akibat-akibat dari intoleransi seperti ini, benar-benar nyata dalam pengalaman warga gereja HKBP Taman Sari tersebut dengan meninggalkan trauma yang cukup parah. Menurut hemat penulis ada beberapa bagian – yang pada kenyataannya pasti lebih menyakitkan batin mereka - dari berita pembongkaran gereja ini yang menimbulkan rasa trauma bagi warga jemaat yang nampak dalam ungkapan-ungkapan berikut: (1) suara raungan semakin keras ketika ... alat berat mendekati dan mulai menghancurkan tembok; (2) hasil sumbangan puluhan jemaat yang sudah 13 tahun beribadah di sana; (3) Kendati sudah mendapat persetujuan lebih dari 70 warga yang bermukim di sekitar gereja ... namun izin dari Kabupaten Bekasi tak kunjung turun; dan (4) malah menyegel dan membongkar bangunan gereja dengan alasan tak mempunyai izin mendirikan bangunan.
            Keempat suasana tersebut pasti menimbulkan rasa trauma yang sangat mendalam. Terminologi trauma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani; atau luka berat. (KBBI. s.v. “trauma”). Kata Yunani untuk kata trauma adalah τραύμα yang berarti sebuah “luka” atau “ sebuah luka yang membebankan tubuh akibat dari suatu tindakan kekerasan.” Menjadi traumatis karena ada sesuatu yang membantingkan atau menjatuhkan dari suatu kekuatan eksternal yang bermusuhan dengan mengancam untuk menghancurkan seseorang. Pokok penting gambaran visual ini seperti penyerangan karakter sebuah trauma; termasuk suatu serangan oleh suatu alat eksternal yang mudah dirasakan tubuh manusia seperti yang terjadi pada sebuah luka. Pegertian trauma kontemporer dipahami secara luas aplikasinya untuk pikiran dan emosi yang difokuskan pada pengaruh-pengaruh kekerasan dalam dunia interior kita, atau psikis kita. (Jones. 2009, 12-13).
             Trauma adalah penderitaan yang belum pergi dari seseorang atau masyarakat tertentu. Belajar tentang trauma adalah belajar tentang apa yang tersisa dan menghadirkan tantangan bagi pemahaman kita tentang apa yang melanjutkan sebuah pengalaman, lalu apa artinya untuk kesaksian sebuah pengalaman. Dalam akibat buruk dari kekerasan, pribadi atau komunitas ditantang untuk mengenal diri mereka sendiri dalam akibat buruk dari peristiwa-peristiwa yang menghancurkan kerangka kerja yang lazim tentang suatu makna dan rasa percaya dalam diri seseorang. (Rambo. 2010, 15). Dalam hal ini, menurut penulis telah terjadi luka berat (trauma) yang sangat mendalam terhadap jemaat HKBP Taman Sari terebut ketika terjadi tindakan kekerasan pembongkaran gereja oleh pemerintah Bekasi.

Mengenal Spiritualitas

Beberapa poin penting tentang spiritualitas menurut John J. Shea yang berkaitan dengan kedewasaan seseorang adalah: (1) spiritualitas dapat menjadi suatu gagasan yang mengagumkan tanpa bentuk untuk menangkap sesuatu yang secara manusiawi sangat penting. Penemuan struktur dari seorang dewasa dalam integral spiritualitas adalah sama sebagai struktur dari membantu kedewasaan yang menjelaskan dan memberi bagian untuk gagasan spiritualitas. Spiritualitas, tidak hanya esensial untuk suatu pandangan manusia, tetapi kepenuhan spiritualitas adalah benar-benar suatu deskripsi tentang suatu aktualitas dan refleksi diri orang dewasa. Integral spiritualitas dan hidup bersama orang dewasa adalah suatu pemeliharaan, penopangan, dan memajukan satu dengan yang lainnya; (2) spiritualitas memberi makna untuk hidup dan membolehkan kita untuk partisipasi dalam hal yang lebih luas dan menyeluruh. Spiritualitas merupakan kebutuhan kita semua sebagai manusia. Bukan saja sebagai hal yang esensial, tetapi juga kita bisa mengerti bahwa isi dari integral spiritualitas menjadi hal yang unik bagi setiap individu yang dewasa. Spiritualitas dan perbedaan dihormati bersama pada dasar dari suatu integral diri masing-masing; (3) spiritualitas inheren dengan fenomena manusia yang tidak mengejutkan karena ia merupakan bagian dari pengalaman aktual, sehingga tidak mengejutkan juga jika integral spiritualitas merupakan bagian dari pengalaman diri seorang dewasa yang integral dalam diri masing-masing; (4) jika kedewasaan membuat integral spiritualitas menjadi hal yang mungkin dan merupakan kebutuhan, maka integral spiritualitas kembali pada kemurahan hati. Seorang dewasa dan spiritualitas memiliki hubungan yang sangat intim; dan (5) Dalam kedewasaan, isi spiritualitas hidup dalam diri sebagai proses tanggung jawabnya sendiri. Sebenarnya, yang menarik bagi kita dalam spiritualitas adalah bahwa ada sesuatu rasa pertalian yang memberi makna untuk hidup, sesuatu kehidupan, animasi, dan kebanggaan, sesuatu yang membolehkan untuk membarui harapan dan kasih, sesuatu yang menyembuhkan hati kita, dan transformasikan pertalian kita, kemurahan hati yang menegaskan siapa kita dan mengundang kita untuk berpartisipasi dalam hal yang lebih luas secara keseluruhan.(Shea 2003, 57-58).
Spiritualitas telah lama diakui sebagai kunci untuk pemulihan komunitas untuk mencapai dan memelihara suatu hidup yang tenang. Gereja perdana telah memahami kuasa-kuasa spiritual dan mereka memahami drama kosmik kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Para bapa-bapa gereja perdana juga telah dengan jelas memahami tentang apa yang telah terjadi pada Salib sebagai suatu pertarungan spiritual antara kebaikan dan kejahatan. Model klasik ini menunjukkan bagaimana Kekristenan mulai bisa membantu perkembangan spiritual dalam kehidupan secara individual dan dalam terapeutik komunitas, suatu spiritual yang melindungi dan melawan sakit yang kambuh lagi.(Fifield 2005, 68-71).
Dalam spiritualitas Kristen memiliki  arti spesifik tentang hidup yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Lebih meluas lagi, istilah spiritualitas berhubungan dengan apa yang secara samar dianggap sebagai dimensi spiritual dari pengalaman atau hidup. (Thompson. 2008, x). Spiritualitas Kristen telah selalu nampak akarnya dalam Alkitab termasuk dalam kitab Perjanjian Lama dengan mengingat pada dua spiritualitas yang ditentukan untuk spiritualitas Kristen yaitu spiritualitas diri Yesus sendiri dan spiritualitas pengalaman Yesus yang membentuk gereja paling awal. (Thompson. 2008, 5). Tradisi Kristen lebih cenderung memahami spiritualitas sebagai sesuatu yang diwujudkan dalam apa yang kita katakan atau lakukan sehingga itu memungkinkan kita untuk mengetahui sesuatu tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Bagaimana pun spiritualitas Yesus sendiri telah dibagikan kepada manusia. Oleh karena Yesus bukan hanya untuk pengikutNya, maka beberapa orang telah dibagikan pengalaman spiritulitasNya. Para penulis Perjanjian Baru dengan jelas telah menyaksikan bahwa Yesus sendiri telah berbagi suatu pengalaman spiritual. (Thompson. 2008, 10-12).
Menurut Wesley Carr, spiritualitas manusia adalah salah satu cara untuk pemuridan. Spiritulitas Kristen dibentuk oleh beberapa karakter kalsik Kristen tentang salib: ada dua perasaan yang bertentangan (ambivalence) dalam diri kita; kemenduaan (ambiguity) dalam konteks kita; kebutuhan untuk mengambil keputusan dan bertindak (action); pemahaman tentang korban (cost); dan  spiritualitas dalam sakramen. Spiritualitas Kristen adalah perjalanan hidup manusia di dalam iluminasi dan di bawah pertimbangan jalan salib. (Carr. 1989a, 155-156). Semua aspek ini saling berkaitan, namun dalam hal pastoral ini, menurut penulis kita fokus pada kebutuhan spiritualitas untuk mengambil keputusan dan bertindak. Bertindak adalah hal yang intrinsik untuk spiritualitas Kristen. Tidak ada orang atau kelompok yang pasif di sekitar salib. Masing-masing memiliki suatu keputusan untuk bertindak sebagai konsekuensi dari keputusan itu. Demikian pula, dengan cara Kristen: Bertindak adalah keharusan, dan keputusan tanpa tindakan adalah kehampaan. Itulah sebabnya misi dan penginjilan dikelilingi dengan spiritualitas Kristen. Penekanan dan pentingnya tindakan untuk spiritualitas adalah pada unsur dasar pola salib, menyediakan norma kritis untuk membuat keputusan dan tindakan Kristen. (Carr. 1989b, 159-160). Dari pendapat Carr ini kita dapat pahami bahwa spiritualitas itu selalu dikuti dengan sebuah keputusan sekaligus tindakan yang tak terpisahkan demi suatu pelayanan pastoral yang baik. Oleh karena itu, menurut penulis dalam pelayanan pastoral tidak cukup hanya dengan memahami metode-metode hermenautik saja, tetapi harus didukung oleh spiritualitas ini dalam diri setiap manusia baik sebagai subjek maupun objek dari pelayanan pastoral itu.
Berdasarkan pemahaman tentang beberapa poin penting dari spiritualitas tersebut di atas, maka dalam tulisan ini jelas lebih pada spiritualitas menurut perspektif iman kristiani. Dalam hal ini lebih cenderung nampak pada suatu bimbingan spiritual. Menurut William A. Barry dan William J. Connoly yang dikutip oleh Duance Bidwell, bahwa bimbingan spiritual adalah:

“Bantuan yang diberikan oleh salah satu orang Kristen kepada yang lain yang memungkinkan orang tersebut untuk memperhatikan pada komunikasi pribadi Allah kepadanya, untuk menanggapi secara pribadi hal komunikasi Allah ini, untuk tumbuh dalam keintiman dengan Allah ini, dan untuk menjalani konsekuensi hubungan ini. Fokus dari jenis bimbingan rohani ini adalah pengalaman, bukan ide-ide, dan secara khusus pada pengalaman religius. yaitu, setiap pengalaman tentang misterius Lainnya yang kita sebut Allah.”(Bidwell. 2004, 4-5).

Dengan melihat definisi bimbingan spiritual ini, maka menurut penulis unsur yang penting dan ditekankan adalah soal komunikasi dan pengalaman orang percaya dengan Allah dalam hal-hal yang konkret. Artinya, ditekankan pada hal-hal yang nyata dalam pengalaman hidup seseorang.

Upaya-upaya Pemulihan Spiritual

            Berdasarkan pengertian bimbingan spiritual tersebut, maka upaya pemulihan spiritual ini dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu dengan memakai kata-kata yang memulihkan dan tindakan pendampingan pastoral. Sasaran utama dari pemulihan spiritual ini adalah manusia seutuhnya dengan pintu masuk pemulihannya adalah hati. Menurut Daniel E. Fountain, arsitektur hati manusia itu dapat kita kenal seumpama ruang-ruang dalam rumah kita yakni: (1) ruang depan = mata, telinga, peraba, penciuman, pengecap, dan pikiran alam sadar; (2) ruang dapur = emosi; (3) ruang keluarga = perasaan; (4) ruang belajar = kepercayaan dan nilai-nilai yang kita pegang; (5) ruang perpustakaan = warisan budaya; (6) ruang/kamar tidur = keinginan dan memori yang dapat diingat; dan (7) ruang penyimpanan barang = memori yang tak dapat diingat/naluri. (Fountain 1999a, 108).
Dari beberapa poin ini, maka hal emosi, perasaan, dan kepercayaan dan nilai adalah menjadi poin utama dalam upaya pemulihan spiritual ini dengan memakai kata-kata. Hal emosi menempati tempat yang sangat penting dalam hati karena disinilah kita tertawa atau menagis, bercanda atau marah, dst., terhadap satu dengan yang lain. Dalam emosi itu ada reaksi internal terhadap kejadian eksternal; atau suatu energi psikis yang kuat untuk mempengaruhi tubuh dan pikiran manusia. Di dalam emosi ini juga hati menangkap arti setiap kejadian dan menentukan cara memberi reaksi. Kandungan emosi yang tinggi dan dipendamkan dalam diri seseorang akan memanifestasikan diri dengan cara yang merusak kesejahteraan jiwa dan kesehatan fisiknya. Emosi cenderung mempengaruhi banyak organ internal kita. Selanjutnya, tentang perasaan manusia. Perbedaan emosi dan perasaan ada pada tingkat kekuatannya. Perasaan merupakan kesan yang kita miliki terhadap diri sendiri, terhadap dunia sekitar kita, dan terhadap keadaan dimana kita berada. Sikap, sentimen, dan intuisi kita ada dalam ruang perasaan ini. Semua aspek ini berkaitan dengan orientasi kita atau bagaimana perasaan kita tentang sesuatu. Intinya, perasaan itu menentukan ada sesuatu yang menarik bagi kita atau ada sesuatu yang membuat kita tidak nyaman. Akhirnya, tentang kepercayaan dan nilai. Poin ini merupakan tempat kita memikirkan kehidupan dan dunia sekeliling kita untuk menyimpan kepercayaan tentang segala sesuatu dan nilai yang kita pegang. Banyak dari perilaku kita merupakan hasil dari mempercayai apa yang baik dan bernilai bagi kita. Semakin bertumbuh dan banyak belajar secara cermat dari kepercayaan dan nilai-nilai itu, maka dapat mengubahnya dan mendapatkan yang baru dari pengalaman kita. Kepercayaan dapat mempengaruhi cara berpikir, cara memandang dunia sekeliling, dan  cara kita bertindak.(Fountain 1999b, 110-115).
            Hati yang disakiti oleh trauma, perlu ada pemulihan dengan cara membersihkannya dari berbagai penyakit “hati” seperti perasaan takut, perasaan bersalah, kepahitan, kemarahan, dan memori seseorang. Mengenai penyakit hati ini, nabi Yeremia pernah menulis bahwa “Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yer.17:9). Atau terjemahan Alkitab dalam BIS yang lebih sederhana berbunyi: “Hati manusia tak dapat diduga, paling licik dari segala-galanya dan terlalu parah penyakitnya.” Lalu pada ayat ke 14, Yeremia berseru-seru kepada Tuhan, memohon kesembuhan: “Sembuhkanlah aku ya TUHAN, maka aku akan sembuh ... sebab Engkaulah kepujianku.” Karena itu, penyakit-penyakit hati tersebut perlu dicari cara pengobatannya. Perasaan takut yang timbul karena reaksi emosi terhadap sesuatu yang mengancam kita dapat dipulihkan jika segera ditangani dengan baik. Hal ini jarang menimbulkan efek buruk pada kesehatan. Perasaan bersalah yang timbul karena suatu perbuatan salah yang diketahui oleh orang lain dan pasti juga oleh Tuhan. Untuk mengangkat rasa bersalah ini perlu diucapkan kata-kata pemulihan yang mengungkapkan adanya kepastian pengampunan dari sesama dan Tuhan. Hal kepahitan hidup akan dirasakan ketika seseorang tidak mampu membayar hutang bersalahnya kepada sesama dan hutang dosanya kepada Tuhan. Karena itu, butuh kebesaran hati untuk mengakui kesalahan dan dosanya agar dibebaskan dari rasa berhutang itu. Soal kemarahan, adalah suatu gelora energi emosi yang kuat sekali tetapi normal akibat reaksi terhadap sesuatu yang melukai kita atau orang lain. Segi moral dari kemarahan tergantung pada cara menanganinya sehingga kita harus mengambil keputusan untuk mengendalikannya. Akhirnya, soal memori negatif dapat memberi perasaan suram dan pikiran yang menyiksa batin. Namun, dapat disembuhkan oleh kuasa TUHAN asal didoakan dan diimani dengan sungguh-sungguh bahwa pasti sembuh. (Fountain 1999c, 178-195).
            Berikut ini, penulis menawarkan model-model pemulihan spiritual bagi warga jemaat HKBP Taman Sari akibat trauma tersebut. Model pemulihan spiritual yang pertama adalah kekuatan bahasa atau kata-kata yang memulihkan dan percakapan pastoral. Kata-kata atau ungkapan-ungkapan kunci yang diucapkan ke dalam jiwa orang sakit dan dimengerti oleh jiwa seseorang dapat memecahkan semua persoalan psiko-spiritual seperti perasan akut, konflik, kecemasan, tekanan perasaan bersalah dan keputusasaan. Kehidupan manusia sebenarnya berupa jalinan hubungan yang benar. Pemulihan sejati membuat hubungan yang terluka dan terputus menjadi baik kembali seperti yang dilakukan Yesus dengan seorang perempuan yang mengalami pendarahan. (Fountain 1999, 56). Bahasa atau kata-kata yang kita bawa dalam setiap pertemuan untuk pemulihan spiritul ini adalah bahasa yang berisi dua sisi yaitu: pertama, bahasa kekuatan-kekuatan dalam diri (deep forces) yang telah membentuk kehidupan kita dan memberinya garis bentuk dan kekhususan eksistensial. Kedua, bahasa interpretasi kita yang relevan atau pengalaman kita dan atas kekuatan-kekuatan yang ada di bawahnya (underlying forces). Bahasa interpretasi ini memakai citra, simbol, mitos, dan metafor; juga mempunyai gerakan tertentu  dan suatu kecondongan yang menandainya sebagai milik kita yang unik dan pribadi. Dengan mendayagunakan citra ‘dokumen yang hidup’ dari Boisen, maka kita setuju bahwa Boisen secara mendasar benar di dalam menempatkan hal yang terpenting dari penderitaan rohani manusia pada titik hubungan antara pengalaman dan pemahaman, antara terjadinya peristiwa-peristiwa dan bahasa makna bagi peristiwa-peristiwa itu. (Hommes. 1992, 400-401). Model percakapan pastoral sangat tergantung pada suatu inisiatif. Inisiatif percakapan pastoral ada pada anggota jemaat. Beberapa bentuk percakapan pastoral adalah sbb: (1) memperkenalkan diri; (2) tematis; (3) bentuk diskusi; dan (4) percakapan yang membantu.  Percakapan pastoral mempunyai segi-segi psikologis dan teologis. Percakapan terjadi atas dasar kewibawaan Yesus Kristus. Saat percakapan anggota jemaat sebagai partner harus diterima tanpa syarat sebagaimana ia ada dan memahami keadaannya; tetapi bukan juga menyetujui sifat atau perbuatannya yang jahat. Syarat lainnya adalah pengertian supaya tidak bersifat dingin, tetapi harus terbuka dan ditopang oleh rasa cinta kasih. Minat untuk melakukan percakapan pastoral adalah sebuah “rapport” (hubungan). Rapport adalah dasar pengertian atau itikad baik untuk sampai kepada saling mengerti yang perlu untuk setiap percakapan dengan menaruh perhatian. Pelayan harus bisa mengidentifikasikan dirinya dengan anggota jemaat sebagai partner percakapannya melalui sikap empatis. Juga mau mendengarkan dengan seksama, baik yang diucapkan dengan kata-kata maupun perasaan atau emosinya agar lebih sabar.(Abineno. 1999, 89-93).
            Model pemulihan spiritual yang kedua adalah lewat tindakan pendampingan pastoral.
Kemampuan seorang pendeta dalam pemulihan spiritual harus dibuktikan lewat aksi pendampingan pastoral. Menurut G. Heitink, pendampingan pastoral adalah suatu profesi pertolongan di mana seorang pendeta mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang Injil dan persekutuan dengan gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman. Dalam definisi ini kita melihat ada unsur pendampingan pastoral yang mempunyai identitasnya sendiri dan profesi pertolongan dalam hubungan antar pribadi dalam pendekatan konseling.(Hommes. 1992, 405).
Pendampingan pastoral dapat dijelaskan sebagai: (1) pewartaan firman Allah dalam situasi konkret manusia secara pribadi. Atau pewartaan/percakapan Injil dalam situasi konkret kehidupan seseorang. dan (2) isi pewartaan itu adalah Injil tentang pengampunan dosa. Pendampingan pastoral adalah profesi pertolongan yang berada di bawah terang Injil. Pendampingan pastoral bersifat tanpa cacat apabila mengambil bentuk dan dilaksanakan dalam pewartaan atau pengajaran melalui metode “korelasi,” di mana adanya korelasi antara pertanyaan manusia dengan tanggapan Allah. Melalui Yesus, Allah menerima manusia sebagaimana adanya. Model pendampingan pastoral nampak dalam suatu integrasi yang memberi pemahaman bahwa penyataan Allah dan kenyataan hidup manusia saling mempengaruhi dan saling membutuhkan.(Hommes. 1992, 407).
Dalam pelayanan Yesus, pendampingan pastoral biasa dikenal sebagai penggembalaan dalam bentuk khotbah dan tindakan konkret supaya orang bisa memasuki kondisi dan situasi Kerajaan Allah. Orang-orang pada akhirnya menemukan Allah. Dalam percakapan Injil ini, seseorang bisa merasakan sendiri rahmat, keadilan, dan menemukan bahwa ia membutuhkan keselamatan. Kita bisa mengikuti jejak Yesus ini sehingga bisa terlibat dalam relasi dengan orang lain yang berhubungan dengan konseling dan komunikasi yang penting. Dengan cara inilah orang merasakan diterima karena ada relasi timbal balik sehingga bisa saling terbuka dan persekutuan yang mendalam dan erat terjadi. Perjumpaan ini memiliki dimensi eksistensial perjumpaan antara manusia dengan Allah sebagai perjumpaan perjanjian dalam karya Roh Kudus sehingga manusia menghayati panggilan Allah.(Hommes. 1992, 413-415).
Pada satu pihak, model teologi kontekstual yang bisa kita pakai untuk pendampingan pastoral terhadap trauma adalah model praksis. Istilah praksis sering digunakan sebagai suatu kecenderungan alternatif untuk kata praktek atau tindakan. Istilah ini berasal dari istilah teknik yang berakar dalam Marxisme dan dalam pendidikan filsafat. Ini adalah istilah yang merupakan suatu metode atau model dari pikiran umum dan dari teologi tertentu. (Bevans. 1992a, 71). Penyataan model ini nampak dalam situasi yang diharapkan sebagai Allah yang bekerja dalam dunia dan memanggil manusia laki-laki dan perempuan sebagai mitra pelayanan. Kesaksian Alkitab dan atau kondisi tradisi yang dihadapi model ini adalah kondisi secara budaya seperti ekspresi-ekspresi semua manusia. Sedangkan konteksnya pada dasarnya baik dan dapat dipercaya, namun bisa juga menyimpang; harus ada pendekatan dengan beberapa kecurigaan; dan dapat disetarakan untuk Alkitab dan tradisi. Metode model teologi praksis ini adalah praktek-refleksi-praktek dalam lingkaran spiral yang tak pernah berakhir. (Bevans. 1992b, 142).
Selain dalam spiritualitas Yesus, juga nampak dalam teologi pastoral Yesus yang dapat dikerjakan dalam teologi lokal kita untuk pemulihan spiritual. Yesus telah melakukan teologi dengan pikiran sehat. Dia mengundang orang untuk menggunakan pertimbangan dan kepercayaan mereka sendiri dalam kapabilitas untuk alasan kemanusiaan. Ini dapat diilustrasikan oleh perumpamaan tetang orang Samaria yang baik, hukum Sabat, prioritas kebutuhan manusia, dll. Yesus melakukan teologi ini sebagai seorang yang pragmatis. Sikap pikiran sehat Yesus adalah suatu sikap pastoral yang meresap dalam arti pelayanan dan interaksiNya. Hal ini nampak dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik (Luk.10:30-37). Inti-inti perumpamaan ini sebagai cara melakukan teologi lokal sbb: (1) Orang Samaria yang baik itu tidak menyangka terjadi situasi yang dihadapinya. Namun, pelayanannya ada dalam suatu konteks; (2) rasa belas kasihannya adalah dasar motivasi pelayanannya; (3) dia merawat korban menurut pengertiannya; setelah itu ia mengakui keterbatasannya, dia mendelegasikan tugas kepada seorang yang berprofesional lokal sebagai pengurus rumah penginapan; (4) Orang Samaria yang baik ini melanjutkan perjalanannya yang direncanakan; dia tidak memberikan segala sesuatu karena situasi yang mendesak; dan (5) ia menerima tanggung jawab dan berjanji untuk kembali kepada pengurus penginapan untuk membayar apapun yang menjadi haknya. Ini adalah suatu model yang mengesankan tentang melakukan pelayanan lokal dan memberikan contoh pelayanan berdasarkan pikiran sehat dan belas kasihan. Ini sangat penting bagi kita untuk memahami teologi dengan melihat alasan kehormatan, pertimbangan, dan pikiran sehat Yesus itu. Ini adalah hal yang vital bagi upaya-upaya teologi kita untuk mengakui kepercayaan pada Yesus yang diletakkan dalam kemampuan manusia. (Sedmak, 2002, 28-29). Berdasarkan model ini, maka menurut penulis ada dua hal yang sangat penting untuk dipakai sebagai cara untuk pemulihan spiritual ini yaitu kekuatan spiritualitas Yesus dan teologi pastoral Yesus sendiri. Dua hal ini menjadi dasar motivasi untuk melakukan pendampingan untuk pemulihan spiritual korban trauma.
            Di pihak lain, penulis juga sangat tertarik dengan pandangan Anton Theophilus Boisen mengenai konsep ‘dokumen manusia yang hidup’ (living human document) saat melakukan pendampingan pastoral. Perhatian Boisen yang lebih mendasar adalah mengobyektifkan bahasa teologis yang tidak kehilangan pertalian dengan data konkret pengalaman manusia melalui studi yang sistematis dan teliti atas kehidupan orang-orang yang sedang bergumul dengan pokok-pokok kehidupan rohani di dalam kekonkretan hubungan sosial mereka. Perhatian risetnya disertai oleh perhatian yang mendalam terhadap kesejahteraan orang-orang yang bermasalah. Bagi Boisen penyembuhan batin harus secara fundamental dilaksanakan dengan bahan mentah pengalaman religius. Dalam citra (image) Boisen seorang manusia dapat dipandang sebagai suatu dokumen yang dapat dibaca dan diinterpretasikan dalam cara-cara yang sama dengan interpretasi terhadap teks-teks historis (Alkitab) yang darinya dasar tradisi iman Yahudi-Kristen kita gali. Citra ini menegur kita untuk mulai mengembangkan teori pelayanan pastoral dengan pengalaman manusia konkret. Maksudnya adalah pengalaman mendalam dari orang-orang di dalam pergumulan kehidupan mental dan rohani mereka. Setiap dokumen yang hidup dari tiap orang mempunyai integritasnya masing-masing dan menuntut pemahaman dan interpretasi khas. Seperti teks Alkitab tidak boleh dibelokkan ke dalam makna yang diinginkan pengkhotbah, demikian juga teks manusia menuntut pemahaman bagi kepentingannya sendiri. Orang yang sedang bermasalah adalah pribadi yang dunia dalamnya (inner world) tidak terorganisir sehingga kehilangan dasar-dasarnya. (Hommes. 1992, 379-381).
            Gagasan utama Boisen adalah untuk memahami sifat dasar penderitaan dari orang yang sakit mental dengan mengaitkan  peristiwa-peristiwa kehidupan orang yang bermasalah dengan pemahamannya terhadap segala sesuatu yang sudah dan sedang terjadi. Di sini Boisen menunjuk pada masalah eksistensial dan dilema dari kehidupan manusia sebagai pembuat makna yang senantiasa dihadapkan pada dua sisi. Pertama, terdapat aliran realitas yang keras di dalam peristiwa-peristiwa. Kedua, ditengah-tengah peristiwa situasi individual itu, setiap orang yang sungguh-sungguh ingin hidup dengan integritas harus dapat memelihara perasaan kemandiriannya dan menjadi seseorang yang mempunyai kuasa untuk bertindak dan memilih.(Hommes. 1992, 394-395).
Kini, kita tiba pada aksi-aksi nyata untuk pemulihan spiritual lewat kata-kata yang memulihkan, percakapan pastoral, dan pendampingan pastoral tersebut diatas yakni kunjungan rumah tangga warga jemaat dan doa penyembuhan. Kunjungan rumah tangga mengandung segi gerejawi dan manusiawi. Maksudnya adalah untuk memelihara hubungan dan mau berusaha untuk membantu jemaat dalam persoalan dan pergumulan mereka. Pada sisi kemanusiaannya, majelis bertemu dengan jemaat sebagai manusia biasa yang hidup di dalam dunia di mana mereka hidup dan bekerja dalam segala suka dan duka mereka. Sedangkan pada sisi agamawinya, mereka bisa mencurahkan isi hati mereka kepada pendeta. Dalam kunjungan rumah tangga, jemaat tahu bahwa pendeta adalah orang yang tepat untuk mereka minta bantuan dan mereka sangat senang atas kunjungan itu.(Abineno. 1999, 93-95).
Satu kunci untuk perkunjungan rumah tangga ini adalah sebagai fungsi kedisiplinan pelayanan gereja. Tujuan dan model dalam perkunjungan sangat dekat dengan gambaran sebagai gembala. Semua aksi perkunjungan harus dipahami sebagai reinterpretasi disiplin gereja dan model dari hubungan pastoral sebagai suatu jenis gambaran persahabatan. Bagaimana pun, kunjungan pastoral modern harus memperhitungkan kebutuhan untuk pelayanan bersama dan disiplin positif yang berorientasi ke arah pertumbuhan dan kekudusan. Menurut William Oglesby dalam bukunya Biblical Themes for Pastoral Care mengatakan bahwa hal yang krusial dalam perkunjungan adalah bahwa setiap kunjungan akan mengandung elemen inisiatif dan kebebasan. Model ini tergambar dalam Alkitab ketika Allah berinisiatif, manusia dapat meresponnya (Wahyu 3:20).(Pattison. 1988, 73-77).
Intinya, seperti Yesus, para pendeta harus berinisiatif dalam pendekatan terhadap jemaat dalam pelayanan pastoral. Inisiatif adalah suatu yang pasti dalam pelayanan pastoral karena mengatasi isolasi dan kesendirian dan membawa rekonsiliasi dan kebersamaan. Selalu ada kebutuhan untuk para pendeta membuat suatu gerakan awal dan persiapan untuk bergerak ke arah orang lain. Ketika melakukan perkunjungan sebagai suatu inisiatif diri sendiri, pendeta harus mengikuti percakapan untuk memahami keinginan keluarga yang dikunjungi. Ini menegaskan kebebasan mereka, sehingga pendeta harus sensitif terhadap saat yang baik untuk lakukan suatu perkunjungan. Ini adalah kebenaran mendasar ketika pendeta mengambil inisiatif dalam panggilan pelayanannya melalui perkunjungan rumah tangga ini. (Pattison. 1988, 78-79).
            Kemungkinan aksi nyata lain yang bisa terjadi dalam upaya pemulihan spiritual terhadap manusia yang mengalami trauma seperti warga jemaat HKBP Taman Sari tersebut adalah melalui doa penyembuhan. Dalam hal ini penulis tertarik dengan pandangan seorang misiolog dan ahli pertumbuhan gereja, C. Peter Wagner. Menurut Wagner, model-model penyembuhan yang kita lihat di berbagai denominasi gereja masih menjadi kontroversi bagi gereja-gereja tertentu. Model penyembuhan yang baik adalah sesuai dengan kebiasaan masing-masing gereja lokal atau tidak perlu memakai atau mengimpor gaya penyembuhan dari gereja lain yang tidak tahu tentang tradisi gereja lokal. Untuk memahami model penyembuhan ini, harus belajar dari model pelayanan dalam Alkitab. Alkitab menyediakan norma-norma yang harus kita percayai dan juga harus bertindak dengan mempraktekkan pelayanan Yesus saat menyembuhkan orang sakit. Model penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus biasanya dengan memerintahkan suatu penyakit untuk keluar atau meninggalkan tubuh seorang yang sakit. Lalu kemudian gereja mula-mula mengikuti model penyembuhan ini dengan cara yang berbeda yakni dengan berdoa dalam nama Yesus. Lebih lanjut Wagner mengatakan bahwa pelayanan penyembuhan sudah terbentuk dalam berbagai tradisi gereja Ortodoks Yunani, Roma Katolik, Episkopal-Anglikan, Lutheran, Calvinis, Pentakosta, dan berbagai kelompok Karismatik. Semuanya tidak memiliki unsur kesamaan struktur dan prosedur karena setiap tradisi memiliki model pelayanan yang mencerminkan sejarah dan ideal teologis yang mereka pegang. Hal ini penting untuk dipelajari dan menguatkan hati karena ternyata sangat luar biasa Allah bekerja melalui ciri khas dan kepercayaan masing-masing untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Kita tidak perlu harus beradaptasi dengan teknik kelompok lain, apa lagi menghakimi mereka. (Blue 2010a, 125-130).
Ada beberapa unsur penting yang dipegang oleh orang-orang Kristen yang terlibat dalam proses penyembuhan ini yakni: (1) Allah berkehendak menyembuhkan orang sakit karena Ia lebih menyukai keutuhan daripada penyakit pada umatNya; (2) yang ada dalam komunitas penyembuhan adalah belas kasih kepada yang menderita; (3) ada sikap keberanian untuk investasi pribadi dan pengambilan resiko dalam iman yang dibuat oleh para pendoa, seperti yang dikatakan Jim Glennon: “Saya merasa berada di tepi kemalangan dan di sisi mukjizat.”; (4) penyembuhan Kristen adalah suatu misteri yang tidak dapat dikendalikan dengan menerapkan suatu formula sebab-akibat tertentu. Baik Alkitab, maupun gereja manapun tidak pernah menetapkan unsur struktural atau prosedural tertentu sebagai hal yang hakiki untuk model penyembuhan ini. (Blue 2010, 131-132). Demikian juga halnya dengan gereja HKBP Taman Sari, pasti bisa melakukan pemulihan spiritual bagi warga jemaatnya pasca kekerasan intoleransi tersebut sesuai dengan tradisi pelayanan doa penyembuhan di HKBP.

Penutup/Refleksi

             Eksistensi manusia menurut Alkitab dan iman kristiani adalah merupakan entitas tunggal yang terdiri dari dimensi akal budi (hati/jiwa). roh, dan tubuh. Ketika manusia mengalami kesakitan atau penderitaan pasti ketiga dimensi ini merasakannya. Oleh karena itu, upaya pemulihannya sangat membutuhkan pelayanan pastoral melalui salah satu fungsi utamanya yakni menyembuhkan (healing). Arti menyembuhkan dalam perspektif pastoral adalah lebih pada memperhatikan dimensi spiritual kehidupan manusia yang berkaitan dengan kesehatan utuh manusia umumnya dan kesehatan mental manusia khususnya. Tidak memisahkan dimensi fisik, emosional, dan spiritual seseorang sehingga bisa mencegah putus asa dan bunuh diri.
            Dalam hal ini penulis mengangkat contoh kekerasan intoleransi beragama di Indonesia yang dialami oleh gereja HKBP Taman Sari sebagai objek pemulihan spiritualnya yang berkaitan dengan fungsi pastoral dan dimensi spiritual tersebut. Metode pemulihan spiritual yang ditawarkan penulis di sini adalah melalui kekuatan bahasa atau kata-kata yang memulihkan dan percakapan pastoral, dan aksi-aksi nyata pendampingan pastoral melalui kunjungan rumah tangga dan doa penyembuhan. Semua tindakan ini tetap berpatokan pada spiritualitas yang rela berbagi atau menolong orang lain, sebagai suatu disiplin pemuridan, sikap yang berani mengambil keputusan dan bertindak untuk menolong melalui sebuah bimbingan spiritual; dan tindakan teologi pastoral Yesus yang menggunakan pikiran yang sehat serta kemampuan untuk melakukan salah satu tidakan nyata pendampingan pastoral seperti yang dicitrakan oleh Anton Theophilus Boisen, dengan nama membaca “dokumen manusia yang hidup”(living human document).

_______________________


Daftar Acuan

Buku

Abineno, J.L.Ch. 1999. Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Bevans, Stephen B. 1992. Models of Contextual Theology. New York: Orbis Books.

Bidwell, Duane R. 2004. Short-Term Spiritual Guidance. Minneapolis: Fortress Press.

Blue, Ken. 2010. Authority to Heal (Otoritas untuk Menyembuhkan). Terj. Paul Hidayat.
Jakarta: Pancar Pijar Alkitab.

Carr, Wesley. 1989. The Pastor As Theologian: The Integration of Pastoral Ministry
Theology and Discipleship. London: SPCK.

Fountain, Daniel E. 1999. God, Medicine & Miracles (Allah, Kesembuhan Medis & Mukjizat). Terj. Doreen Widjana. Bandung: Lembaga Literatur Baptis.

Hasani, Ismail. 2009. peny. Siding and Acting Intolerantly. Jakarta: Publikasi Setara Institute.

Hommes, Tjaard G. dan E.G. Singgih. 1992. peny. Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi Pastoral. Jakarta dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius.

Jones, Serene. 2009. Trauma+Grace: Theology In a Rupturd World. Louisville-Kentucky: Westminster John Knox Press.

Neusner, Jakob. dan Bruce Chilton. 2008. peny. Religious Tolerance in World Religions. Pennsylvania: Templeton Foundation Press.

Pattison, Stephen.  1988. A Critique of Pastoral Care. London: SCM Press.

Sadmak, Clemens. 2002. Doing Local Theology: A Guide for Artisan of a New Humanity. New York: Orbis Books.

Thompson, Ross. dan Gareth Williams. 2008. Christian Spirituality. London: SCM Press.

Artikel dari Jurnal

Fifield, Mary Anne. 2005. Spirituality in the Therapeutic Community: A Christian Perspective. American Journal of Pastral Counseling . Vol.8 (Januari): 67-72.

Shea, John J. 2003. Adulthood-A Missing Perspective: Psychotherapy, Spirituality, and Religion. American Journal of Pastral Counseling . Vol.7 (Januari): 39-60.


Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1194. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka s.v. Trauma.

Website dari Internet

Pembongkaran Gereja. http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-03-22/pembongkaran-gereja-hkbp-taman-sari-bekasi/1105560. Diperbaharui 22 March 2013, 11:02 AEST (diakses tanggal 7 Mei 2013)


gumul & juang

Apa Itu Pastoral?

APA ITU PASTORAL?[1]

Oleh: Pdt. Ruben Tallo.

I. PELAYANAN PASTORAL

Pengertian Dasar Untuk Pelayanan  Pastoral[2]
Pelayanan pastoral adalah pelayanan yang berkata-kata tentang teori dan praktek pelayanan. Juga tentang pelayanan yang dijalankan oleh gereja atau jemaat dalam arti umum dan oleh pendeta[3] secara khusus. Isi pelayanan pastoral pertama-tama berkata-kata tentang Allah dan pemeliharaanNya akan manusia, lalu tentang manusia yang menerima atau mengalami pemeliharaan Allah itu. Manusia seutuhnya adalah manusia dari tubuh dan jiwa. Pengertian-pengertian dasar untuk pelayanan pastoral adalah:

1. Pemeliharaan jiwa (Latin: cura animarum / Ingg: cure of souls).
Menurut Alkitab PL bahwa manusia itu utuh dari tubuh dan jiwa atau tubuh yang berjiwa (Kej.2:7). Manusia itu tidak mempuyai jiwa ilahi (nefesy), karena nefesy adalah kehidupan atau makhluk yang hidup. Nefesy adalah pengertian yang melingkupi hakikat atau diri manusia seluruhnya. Dalam PB, dipakai kata psyckhe sebagai kehidupan individual yang terbatas. Untuk kehidupan dalam arti umum dan kehidupan yang kekal, PB menggunakan kata zoe, sedangkan kata sarx mempunyai dua arti yaitu manusia yang duniawi dan makhluk yang berdosa. Jadi, manusia itu adalah seluruhnya sebagai suatu kesatuan dalam tubuh, jiwa, dan roh. Menurut teolog Eduard Thurneysen jiwa adalah rahasia eksistensi manusia sebagai pribadi dalam panggilannya di hadapan Allah. Allah menciptakan manusia sebagai tubuh dan jiwa yang merupakan suatu kesatuan. Allah menciptakan manusia oleh FirmanNya dan untuk FirmanNya itu. Allah menghidupkan dan memanggilnya, Allah berkata-kata kepada dan dengan manusia itu. Manusia mengaku bahwa ia diciptakan untuk mendengar Allah dan mengakui sebagai Allahnya. Manusia berdiri di hadapan Allah dinyatakan oleh roh dan gambar Allah yang memungkinkan manusia untuk masuk dalam relasi dengan Allah.

2. Konseling Pastoral
Hal ini timbul dari konseling umum dari pekerjaan sosial yang dijalankan sesudah perang dunia II. Menurut sejarahnya, pekerjaan sosial di Amerika selama 30 atau 40 tahun terakhir dapat dibagi dalam IV fase:
I. persoalan penderita-penderita. Memberikan uang dan nasihat kepada penderita dengan keyakinan bahwa dengan bantuan itu mereka telah menolong para penderita untuk mengatasi persoalan mereka. Tetapi kemungkinan itu tidak benar, karena sikap mau membantu itu hanya sebagian kecil dari persoalan total yang para penderita sedang hadapi.
II. Perhatian ditujukan kepada para penderita sebagai pribadi. Para konselor masih menganggap diri sebagai orang-orang yang lebih penting dalam konseling dengan anggapan lebih mengetahui kebutuhan para penderita.
III. Kebenaran anggapan mereka mulai disangsikan. Mereka mulai mengakui bahwa para penderita harus diikutsertakan dalam usaha menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Pandangan dan sikap terhadap persoalan yang dihadapi tidak boleh disampingkan begitu saja. Metode pelayanan mulai berubah dengan cara mendengarkan (listening) dari para penderita mendapat tempat yang penting dalam konseling.
IV. Cara koseling berubah. Pekerja sosial bekerja sama dengan para penderita melalui cara membangkitkan tenaga-tenaga yang tersembunyi atau terpendam dalam diri mereka, sehingga para penderita dapat menolong diri sendiri. Inilah yang disebut konseling.
Sesudah perang dunia II, gereja-gereja di Amerika mengambil alih metode ini untuk pekerjaan mereka tetapi dengan kesadaran penuh bahwa pelayanan gereja harus berdasarkan pelayanan Allah kepada manusia seperti yang diberitakan oleh Kitab Suci. Dan untuk membedakannya dengan konseling umum, maka mereka menyebutnya konseling pastoral. Menurut seorang teolog Belanda, bernama Brillenburg Wurth bahwa orang-orang di Amerika mau memperoleh nasihat (Latin:consulere: memberi nasihat) dan ‘jawaban” atas situasi pelayanan pastoral ini. Karena itu, seorang pastor (konselar) sangat tinggi dihargai karena ia adalah seorang yang praktis, mengasihi penderita yang ia tolong, seorang yang cukup mempunyai pengetahuan tentang kehidupan. Nasihat-nasihatnya harus jelas dan konkrit dan dapat digunakan dalam praktek. Namun, maksud dan tujuan konseling pastoral bukanlah untuk memberikan nasihat. Kata konseling ini sudah lazim dipakai sehingga akhirnya mengambil keputusan untuk menggunakannya saja.

3. Penggembalaan.
Penggembalaan adalah pelayanan yang dijalankan oleh pastor. Pastor adalah kata Latin yang berarti gembala. Motif gembala yang terdapat dalam Alkitab adalah ekspresi dari penjagaan atau pemeliharaan Allah yang penuh dengan kasih. Allah yang memimpin umatNya melintasi sejarah, Ia juga penjaganya yang tidak terlelap dan tidak tertidur (Mzm.121:4). Hal ini Allah tugaskan kepada setiap orang (Kej.4:9). Jadi motifnya adalah motif kasih dan motif penghiburan (Yes.40:1). Allah memihak kepada orang-orang yang lemah, miskin, tertindas, dan tidak mempunyai penolong (Mzm.72:12). Allah murka terhadap gembala-gembala yang tidak menggembalakan umatNya (Yeh.34), Allah sendiri yang akan mengambil alih tugas mereka (Yeh.34:11 dyb), Allah sendiri yang akan memperhatikan, mencari, dan membawa mereka keluar ke tempat yang subur rumputnya dan banyak airnya (Mzm.23). Dalam PB, kita temukan dalam pekerjaan Yesus Kristus sebagai gembala yang baik (Yoh.10), Yesus sebagai gembala mengenal domba-dombaNya dan mereka mengenal suara Yesus. Yesus menuntun mereka dan mereka mengikutiNya, Ia membela terhadap serigala dengan jalan mempertaruhkan nyawaNya, hatiNya tergerak oleh belas kasihan karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak mempunyai gembala (Mat.9:36). Yesus juga rela meninggalkan 99 ekor domba dan pergi mencari seekor yang sesat sampai Ia menemukannya (Luk.15:4). Yang sesat di sini ialah mereka yang paling hina: pelacur, pemungut cukai, yang tidak mengenal Taurat, orang cacat, orang najis, dan yang dikucilkan dari pergaulan hidup sehari-hari. Yesus tidak mengangkat diriNya atas mereka tetapi duduk bersama-sama dengan mereka, mengerti mereka, tidak menghakimi mereka, tidak mempersalahkan mereka, mau solider dengan mereka (lewat baptisanNya), berdiri di samping mereka sebagai Hamba Allah untuk melayani manusia dengan kasih, bahkan rela mati di kayu salib. Yesus tidak mencari muka (Mrk.12:14), jujur, tidak takut kepada siapa pun, utusan Allah untuk memberitakan tentang KerajaanNya, bersifat terbuka, lemah lembut dan rendah hati. Tetapi dalam penilaianNya, Yesus dapat bersikap keras dengan mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, dll (Mat.11:20-24; 23:13-36; Mrk.11:12-14). Sebagai gembala, Yesus juga bergaul dengan orang-orang yang Ia temui, karena setiap orang mempunyai hidupnya sendiri. PergaulanNya tidak menurut suatu mode yang tertentu, tetapi mempunyai sifat atau karakter tersendiri. Pelayanan Yesus adalah pelayanan yang “person-centered” seperti yang disaksikan oleh peginjil Yohanes: “Gembala yang baik mengenal domba-dombaNya dan domba-dombaNya mengenalNya” (Yoh.10:14, 27). Yesus sering memanggil orang-orang datang kepadaNya tapi tidak memaksa mereka untuk mengikutiNya. Yesus hanya mencari tapi tidak memforsir sesuatu keputusan. Yesus menasihati dan membangunkan mereka untuk saling menggembalakan, saling mengasihi, saling menghibur, saling melayani, saling mendoakan, dll. Dan yang terutama seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus bahwa harus mereka lakukan sesuai dengan contoh yang diberikan Yesus yaitu dengan jalan mengosongkan diri dan melayani seperti seorang hamba. Elemen-elemen kasih, solidaritas, kesabaran, nasihat, penghiburan yang kita temui melalui motif penggembalaan adalah paling penting dalam pelayanan pastoral atau pelayanan penggembalaan.

4. Pastorat
Pastorat adalah pelayanan dan perhatian kepada orang lain yang mencakup manusia seutuhnya dengan memperhatikan situasi yang berbeda-beda dalam pertemuan dan percakapan berdasarkan iman kristiani, terikat pada persekutuan kristiani, bersama-sama dengan organisasi lain yang terarah pada masyarakat. Menurut teolog J. Firet, pastorat mempunyai karakter agogis (bersifat menuntun) dengan memberikan bantuan seperti pekerjaan sosial, pelayanan psikologi, dan psikoterapi. Esensi dari pastorat adalah keterarahan antropologisnya yaitu ditujukan kepada manusia sebagai individu. Kehidupannya sendiri dengan segala persoalannya termasuk persoalan iman dalam segala relasi sosialnya dimana ia hidup supaya ia dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah. Di sini bukan berarti individualisme tetapi pada individuasi yaitu terjadinya manusia sebagai individu dalam relasi dengan manusia-manusia yang lain atau individuasi melalui partisipasi dalam masyarakat.


5. Pemeliharaan Rohani
Ini sama dengan pemeliharaan jiwa kategorial. Menurut Firet memahami kata ‘rohani’ harus bertolak dari manusia sebagai roh dalam arti manusia seutuhnya tetapi ditinjau dari fungsinya yang rohani. Di sini kita dapat mengingat akan orientasi hidup yaitu cara seorang manusia memberikan makna, isi dan arti kepada hidupnya. Yang penting bagi pengertian ‘rohani’ ialah pertanyaan tentang makna atau arti hidup. Dalam pelayanan pastoral dimensi makna ini nampak dengan jelas terutama dalam situasi di mana orang percaya mempertanyakan sikapnya terhadap apa yang terjadi dengan dirinya. Situasi psikis dan rohani berkaiatan erat. termasuk dalam hal kesehatan psikis dan kesehatan rohani. Kesehatan rohani adalah mengalami dan memelihara makna hidup, keberanian untuk bebas, menyerahkan diri kepada pembebasan batiniah, dll. Jadi tugas dari pastorat adalah memelihara manusia sebagai roh. Artinya dalam pelayanan pastor memperhatikan dan membicarakan dengan anggota jemaat hal-hal harapan dan kekecewaannya, keberanian dan ketakutannya, kepercayaan dan kebimbangannya, kesalahan dan kesepiannya, dsb. Semuanya itu dilakukan dalam perspektif Kerajaan Allah dan dalam relasi dengan situasi fisik, psikis, dan kemasyarakatannya.

6. Teologi Pastoral
Menurut ensiklopedi teologi, bidang yang mencakup pembentukan teori tentang isi dan praktek pastorat disebut teologi pastoral. Teologi pastoral biasa disebut juga “poimenik”, artinya ilmu tentang gembala. Teologi pastoral adalah bagian dari teologi praktika. Teologi praktika adalah teologi yang berkata-kata tentang pelayanan gereja di berbagai bidang. Bidang-bidang teologi pastoral adalah:
1. Pemikiran secara teologi dan perenungan secara kritis tentang apa yang dilakukan dalam pelayanan pastoral. Pelayanan pastoral adalah pelayanan yang mempunyai tugas intermediair, artinya tugas sebagai alat untuk menyampaikan karunia. Yang penting dalam teologi pastoral adalah soal relasi.
2. Relasi antara manusia dan ilmu psikologi. Kerjasama antara teologi pastoral dengan psikologi pastoral mencakup persoalan yang bersifat hermeneutis, artinya hubungan injil dengan perasaan dan pengalaman manusia. Teologi pastoral menyibukkan diri dengan bidang teologi dan psikologi dalam ajarannya saling menyinggung.
3. Praktek pastoral. Bentuk dan isi pastorat memberikan perhatian terhadap relasi pastoral dalam percakapan individual dan kelompok tentang sikap dasar pastoral untuk gereja dan jabatan juga memainkan peranan penting. Yang penting dalam teologi pastoral adalah bagaimana anggota jemaat dapat dibina dan dimampukan untuk melayani kedatangan Allah kepada manusia dalam situasi kehidupannya sendiri.

II. JENIS-JENIS PELAYANAN PASTORAL[4]

1. Sebagai pemberitaan firman.
Jenis ini berasal dari eropa Barat dengan tokoh pertama yang paling terkenal adalah Eduard Thurneysen, kawan dari Karl Barth. Menurutnya pelayanan pastoral (pemeliharaan jiwa) adalah pemberitaan firman yang berintikan pengampunan dosa kepada individu dalam bentuk percakapan. Sifatnya anti klarikal, yang bukan saja ditugaskan kepada pejabat-pejabat gereja tetapi juga kepada anggota jemaat yang lain atau kepada seluruh jemaat. Namun, pendeta adalah seorang pastor. Sifat reformatoris lainnya nampak pada tempat yang diberikan kepada pembenaran (yustifikasi) sebagai karya Allah dalam Yesus Kristus yang mencakup seluruh manusia. Juga erat hubungannya dengan aspek pengudusan (sanktifikasi) sebagai aspek dari firman Allah yang satu. Manusia dibenarkan oleh Allah dan dikuduskan olehNya serta dipimpin kembali ke dalam persekutuan dengan jemaat sebagai tubuh Kristus. Thurneysen juga lebih dekat dengan Calvin yang nampak dari pandangannya tentang hubungan antara Injil dan hukum. Hukum adalah bentuk firman Allah yang datang kepada manusia. Hukum bukan saja penerapan dari Injil tetapi juga akta pengudusan dan akta disiplin. Tugas disiplin adalah menjaga supaya kekuatan atau kuasa yang terpancar dari firman dan sakramen benar-benar bekerja dalam hidup jemaat. Disiplin gerejawi adalah tempat pelayanan pastoral didasarkan. Pengaruh dari Christoph Blumhart, Thurneysen mengajarkan bahwa pelayanan pastoral adalah suatu perjuangan karena dosa adalah suatu kuasa yang harus dimusnahkan; juga dikatakan bahwa suatu exorsisme karena persoalan penderitaan manusia adalah keterikatan dan perhambaannya kepada kuasa-kuasa demonis. Maka pelayanan pastoral harus membawa pembebasan dan harapan. Sedangkan pengaruh yang paling penting dari Barth adalah: 1. Antropologi Thurneysen. Menurut Thurneysen psikologi sebagai pengetahuan imperis mempunyai hubungan dengan fenomena-fenomena. Psikologi memberi pengetahuan tentang manusia, sedangkan teologi lebih dari pada itu karena memberi pengertian tentang manusia. 2. Tentang hubungan injil dan hukum. Hukum adalah bentuk dari injil dan injil adalah isi dari hukum. Menurutnya, pelayanan pastoral sebagai pemberitaan firman adalah injil dan hukum yang menuntut penyesalan dan pertobatan sesudah mendengar injil. 3. Pelayanan pastoral sebagai pemberitaan firman kepada individu-individu. Tanpa pengetahuan dan pengertian akan diri sendiri manusia tidak dapat datang kepada injil dan kepada penyembuhan. Kebenaran dan keselamatan tidak ia temukan dalam dirinya sendiri.
Jadi, pelayanan pastoral sebagai pemberitaan firman adalah satu-satunya bentuk pelayanan pastoral yang benar-benar melayani injil sebagai berita dari presensia dan aktivitas Allah yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus. Lalu terjadi pergeseran pikiran atau pandangan dari Thurneysen a.l: 1. Disiplin sebagai kerangka pelayanan pastoral tidak di sebut lagi. 2. Istilah ‘percakapan’ digunakan secara bergantian dengan istilah ‘pertemuan’. 3. Ruang lingkup pelayanan pastoral makin ditujukan ke luar atau dunia yang sekuler. 4. Bidang isi pelayanan pastoral, bukan lagi pengampunan dosa tetapi Kerajaan Allah sehingga lebih luas.Selanjutnya menurut H. Asmussen, pelayanan pastoral (pemeliharaan jiwa) adalah pemberitaan firman kepada anggota jemaat sebagai individu (orang seorang). Yang dimaksud dengan pemberitaan firman itu adalah percakapan antara dua orang atau antara pastor dengan anggota jemaat. Pastor harus menjaga supaya orang yang ia layani tidak melarikan diri dari padanya. Orang itu diperhadapkan dengan Allah sehingga terjadi pergumulan dengan Dia sehingga berakhir dengan kemenangan anugerah. Pastor harus memberitakan firman supaya bisa menunjuk kepada percaya. selanjutnya menurut A.D.Muller, pelayanan pastoral adalah suatu bentuk tersendiri dari pertemuan antara Allah dan manusia di mana merupakan suatu fungsi yang mandiri dari gereja karena pengertian ‘bantuan’ mendapat tempat yang sentral. Jadi, pelayanan pastoral adalah bantuan hidup dan bantuan percaya yang berdasar atas pengikutan orang sebagai murid akan Kristus. Padangan ini dianut juga oleh O. Haendler, yang mengatakan bahwa pelayanan pastoral bukan saja pemberitaan firman tetapi juga pengkonkretisasian yakni memberikan keterbukaan yang benar ke arah aspek-aspek antropologis dan psikologis dari segala sesuatu yang dikatakan dalam pemberitaan firman. Maka pelayanan pastoral ini diarahkan kepada problema-problema khusus dari orang yang digembalakan. Salah seorang tokoh lainnya adalah H.O.Wölbert mengatakan bahwa pelayanan pastoral adalah suatu perluasan dalam usaha mencari bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Misalnya tentang pengosongan diri Allah (kenosis Theou) sebagai tempat yang sentral dalam pelayanan pastoral, terutama dimanifestasikan dalam perumpamaan domba yang hilang. Jadi, pelayanan pastoral adalah apostolat atau pengutusan dari kemurahan Allah yang tidak terbatas kepada manusia yang sesat dan hilang. Pelayanan ini diberikan oleh anggota jemaat kepada orang yang menderita, yang hidup dalam kebimbangan, yang berdosa, yang sedang menghadapi maut, dalam ketakutan dan pergumulan mereka. Di gereja-gereja Belanda ada Brillenburg Wurth, tentang pelayanan pastoral ia melihat sebagai penerapan secara pribadi dari firman Allah pada domba-domba Kristus yang hilang. Lalu Roscam Abbing mengatakan bahwa pelayanan pastoral berbeda dengan pemberitaan firman sbb: 1. pemberitaan fiman untuk jemaat, sedangkan pelayanan pastoral untuk anggota jemaat sebagai individu 2. pemberitaan firman mengandung unsur pemberitaan saja, sedangkan pelayanan pastoral mengandung unsur nasihat atau kecaman 3. Pada hari minggu injil didahulukan, pada hari-hari lain hukum yang didahulukan. 4. dalam pemberitaan, anugerah tampil ke muka; pelayanan pastoral hukuman yang tampil. 5. pemberitaan firman lebih mengenal dosa tunggal, pelayanan pastoral lebih mengenal dosa jamak. 6. PF bertalian dengan keakuan, PP bertalian dengan sifat atau watak manusia. 7. PF mengandung unsur kesaksian, PP mengandung unsur nasihat. 8. PF berlangsung dalam ketenangan, PP berlangsung dalam pergumulan dan perjuangan.

2. Pelayanan pastoral sebagai konseling.
Berasal dari Amerika Serikat. Oleh banyak orang biasa disebut juga sebagai sebagai pemberian bantuan.Tokoh yang dikenal sebagai bapak konseling ini adalah A.T.Boisen. Pikirannya tentang pelayanan pastoral jenis ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan kisah penyakitnya sendiri. Menurut Boisen, seorang pastor sangat penting untuk ‘belajar membaca’ orang yang bergumul dengan kesusahan dan penderitaan sebagai suatu ‘dokumen manusiawi yang hidup’. Tese sentral dari seluruh karyanya yaitu bahwa bentuk-bentuk tertentu dari kebobrokan mental erat berhubungan dengan bentuk-bentuk tertentu dari pengalaman religius. Gangguan psikis dapat disebabkan oleh kontak-kontak sosial yang tidak lancar dan oleh konflik-konflik hidup yang tidak terselesaikan. Selain Bosen, ada juga Richard C. Cabot (1925) yang banyak memberikan perhatian terhadap pelayanan pastoral di rumah-rumah sakit. Teolog Pastoral Amerika yang paling terenal adalah Seward Hiltner yang karyanya mempunyai dua ciri pokok yaitu: satu, terarah ke praktik pastoral; dua, diasarkan atas suatu pertanggungjawaban yang panjang lebar di bidang psikologis dan teologis. Karyanya yang menonjol adalah suatu interaksi yang terus menerus antara teori dan praksis dengan mengikuti jalan induktif. Prinsip yang paling penting dalam karyanya adalah ‘learning by doing’ dan ‘learning from observation’. Ciri khas Hiltner dalam memakai istilah ‘dynamic’ baik dalam bidang psikologis maupun bidang teologis. Arti dari ‘psychological dynamics’ adalah sesuatu yang diterapkan dalam konseling dan dipelajari dari konseling. sedangkan arti dari ‘theological dynamics’ adalah hubungan antara ketegangan-ketegangan dan keseimbangan-keseimbangan. Dalam pendekatan teologisnya, Hiltner bertolak dari kehidupan praksis dan sosial manusia dalam kekuatan atau kuasa yang bekerja di dalamnya. Tugas teologi adalah menginterpretasi hidup yang aktual dari manusia dan memberikan bimbingan kepadanya. Dalam pelayanan pastoral Hiltner memberikan suatu pertanggungjawaban tentang metode teologis yang bertolak dari suatu pembagian antara Alkitab, sejarah, etika,dll (logic centered fields) dan bidang teologi praktika (operation centered areas). Bidang-bidang ini dapat ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu: penggembalaan, komunikasi, dan organisasi. Yang paling penting dari ketiganya adalah penggembalaan. Hubungan antara teori dan praksis ialah korelasi antara pengetahuan psikologis dan pengetahuan teologis. Misalnya dalam pelayanan pastoral contoh implikasi psikologis dan korelasinya dalam hal ‘penerimaan’(akseptasi), yang juga mempunyai implikasi teologisnya sama dengan kristologis. Hal ini dipengaruhi juga oleh Paul Tillich yang berusaha mengkomunikasikan ajaran tentang penerimaan (akseptasi) dan ajaran tentang pembenaran oleh iman kepada orang kriten modern bahwa Oleh Yesus Kristus Allah menerima/mengakseptasi kita semata-mata karena anugerahNya yang kita sambut dalam percaya. Maka Hiltner merumuskan bahwa konseling pastoral adalah usaha yang dijalankan oleh pastor untuk membantu orang agar ia dapat menolong dirinya sendiri oleh proses perolehan pengertian tentang konflik-konflik batiniahnya. Dengan demikian maka nyatalah bahwa konseling pastoral adalah suatu proses yang berusaha memecahkan persoalan oleh relasi antara pastor dan anggota jemaat; pastor adalah pembantu dari anggota jemaat yang ia gembalakan; bantuannya dalam bentuk percakapan yang sebaik mungkin. Dalam dapat percakapan, pastor membantu supaya jemaat melihat persoalan dengan jelas dan menerimanya sebagai pesoalannya. Tujuan akhir konseling pastoral adalah supaya oleh bantuan pastor anggota jemaat yang telah memperoleh pengertian tentang persoalannya dapat menolong dirinya sendiri. Selanjutnya konseling pastoral menurut Rogers, seorang psikolog terkenal bahwa perkembangan manusia, interaksi, dan komunikasi antara psikoterapeut dan klien dipakai sebagai model. Perhatian terapeut harus diarahan seluruhnya pada diri klien dan menerimanya sebagaimana ia ada. Hal ini dilakukan dengan hangat dan simpati terhadap klien yang harus dihormati sebagai saudara sendiri. Dengan cara ini maka pembelaan diri oleh klien akan musnah dengan sendirinya. Klien menempati tempat yang sentral dalam konseling sehingga ia yang menentukan sifat dan tempo komunikasi. Tapi terapeut harus secepatnya mengambil alih kerangka referensi dari klien supaya tiba kepada suatu empati yang dalam dan dapat melihat dunia dengan mata klien. Maksud konseling ialah supaya klien dapat melihat dirinya sendiri dan dunia sekelilingnya secara realistis dan benar-benar menjadi dirinya sendiri. Maka klien akan memperoleh keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya. Yang diutamakan adalah manusia yang dibebaskan dan yang menentukan sendiri norma-norma yang ia mau gunakan dalam hidupnya. Selanjutnya, menurut Hulme yang memberikan suatu ikhtisar dari prinsip konseling dan hubungannya dengan pendapat teologis merumuskannya sbb: konseling adalah suatu proses yang terletak pada persoalan dan diri orang yang dikonsel. Tujuan konseling adalah untuk pemecahan persoalan dan kematangan orang yang dikonsel sehingga ia lebih mampu menghadapi persoalan yang akan ia temui nanti. Implikasi teologis dari konseling pastoral selanjutnya dikemukakan oleh W.E.Oates. Menurut Oates, pastor adalah wakil Allah di dunia (2 Kor.5:20), yang dalam pekerjaannya tidak menunjuk kepada dirinya sendiri tetapi harus memberikan perhatian pada implikasi religius dari penderitaan manusia. Pelayanan pastoral adalah pelayanan yang sangat penting dan pekerjaan profesional. Dalam pekerjaannya sebagai pastor harus bertolak dari prinsip-prinsip protestan: kedaulatan Kristus sebagai Tuhan, percakapan yang bertanggungjawab antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai makhluk, persembahan hidup kepada Allah dan panggilan imamat dari tiap orang percaya, pembebasan dari pembenaran diri sendiri ke dalam kebebasan karena pembenaran oleh percaya. Roh Kudus berada pada tempat yang sentral saat konseling. Pastor hanya sebagai pelayanNya.  Dari semua pendapat di atas ada tiga tokoh yang sangat kritis di bidang teologis yaitu T.C. Oden, J.E.Adams,  dan R. Maurer/Mowrer. Menurut Oden, ia mempersalahkan Tillich dan Hiltner lalu ia memperjuangkan suatu ajaran tentang analogi yang benar yaitu analogi fidei dari Karl Barth bahwa suatu pendekatan kristologis dari proses konseling di mana penyataan Allah dalam Kristus mendapat tempat yang sentral. Kemudian menurut Adams, Rogers dan Freud yang kurang memberi perhatian terhadap tanggugjawab dan kesalahan (dosa). Adams mengembangkan suatu konsep konseling di mana unsur nasihat/kecaman harus memainkan peranan penting. Dalam pelayanan konseling firman Allah harus memainkan peranan penting dan Roh Kudus menuntut hal itu dari pastor. Pastor dapat belajar bagaimana ia harus bertindak dalam berbagai situasi yang ia hadapi. Akhirnya menurut Mowrer, yang juga menentang Rogers dan Hiltner karena terlampau banyak dipengaruhi oleh Freud sehingga ia secara radikal menolak ajaran Freud. Ia memulihkan ajaran Boisen yang memberikan perhatian terhadap kesalahan (dosa) manusia.

3. Pelayanan pastoral sebagai persekutuan dan diakonia.
Manusia yang sesungguhnya yaitu manusia yang hidup di dalam berbagai relasi dengan sesama manusia. Manusia tidak dapat dipahami kalau terlepas dari hubungan-hubungannya itu lalu meninjaunya sebagai individu yang hidup seorang diri. Dalam bidang teologi, ada pemahaman tentang persekutuan kristen bahwa manusia yang diselamatkan oleh Kristus dan yang kita layani dalam pastorat ialah bukant individu yang hidup dalam isolemen, tetapi anggota dari jemaat Yesus Kristus. Dalam jemaat ia memperoleh persekutuan dengan Kristus dan anggota-anggota jemaat yang lain. Oleh persekutuan itu ia memperoleh keselamatan yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia. Dalam PB, pelayanan pastoral mencakup hidup manusia seluruhnya dan dilakukan oleh semua anggota jemaat untuk semua anggota jemaat. Pelayanan pastoral tidak dapat dipisahkan dari persekutuan. Maksud pelayanan pastoral sebagai persekutuan ini adalah memperbaiki hubungan yang rusak supaya anggota jemaat yang bersangkutan mendapat kembali tempatnya dalam persekutuan sehingga ia dapat berfungsi lagi sebagai anggota tubuh Kristus. Masalah persekutuan adalah masalah zaman modern merupakan tantangan yang besar. Tidak ada orang yang memberikan kepada mereka persekutuan yang mereka butuhkan (the lonely one’s). Mereka seperti gumpalan pasir yang tidak mempunyai ikatan, yang tidak ada persekutuan yang sesungguhnya, tidak ada persaudaraan, tidak ada hidup bersama dengan dan untuk orang lain (Verkuyl). Gereja harus menaruh perhatian yang khusus. Mereka membutuhkan kunjungan, percakapan, bimbingan, dan persekutuan. Gereja harus menjadi rumah supaya mereka dapat berlindung setiap saat dan mengalami persaudaraan dan kekeluargaan yang sesungguhnya. Pelayanan pastoral sebagai pemberian bantuan dapat disebut juga sebagai diakonia. Diharapkan supaya dalam praktik pelayanan lebih diutamakan lagi dalam bentuk perbuatan. Gereja harus benar-benar berfungsi sebagai persekutuan pelayanan bagi mereka yang lapar, yang dahaga, yang telanjang, yang sakit, dll.(Mat.25). Müller dalam karyanya tentang penataan kembali ibadah jemaat mengatakan bahwa gereja yang benar ialah gereja orang Samaria yang murah hati. Kita membutuhkan dalam pelayanan para diaken sebagai komponis persekutuan.

III. FUNGSI-FUNGSI PELAYANAN PASTORAL[5]

Fungsi pelayanan pastoral ialah apa yang pelayanan pastoral benar-benar secara nyata kerjakan atau hasilkan. Ada empat fungsi pastoral yang paling penting yaitu:

1. Menyembuhkan manusia seutuhnya.
Alkitab tidak mengenal dikotomi manusia (tubuh dan jiwa) atau trikotomi (tubuh, roh, dan jiwa), tetapi mengenal manusia sebagai suatu kesatuan dari tubuh, roh dan jiwa. Di situ ia berada bersama-sama dengan manusia lain. Manusia mempunyai relasi sehingga kita pahaminya dari dalam relasi-relasi itu. Ia juga hidup dalam suatu konteks politik, sosial, dan kebudayaan tertentu. Relasi yang terutama adalah relasi dengan Allah penciptanya, sehingga bisa disebut sebagai manusia religius (homo religiosus), artinya selalu mempunyai hubungan dengan sesuatu kuasa di luar atau di dalam dirinya. Melayani manusia yang utuh dalam arti pastoral adalah melayani secara fisik dan psikis sehingga ia dapat berfungsi lagi dalam hidupnya dengan baik. Menurut Karl Barth, ungkapan “mens sana in copere sana” harus ditambahkan dengan ungkapan “in societate sana”, karena banyak konflik dan persoalan yang dialami sering berhubungan dengan konflik dan persoalan dalam masyarakat (societate). Sejarah fungsi penyembuhan ini mulai dari pekerjaan Yesus di dunia, lewat perkataan dan perbuatanNya. Pekerjaan penyembuhan ini mencakup penyakit jasmaniah dan rohaniah, a.l: (Mat.4:23; 8:7; Luk.4:23 –therapeuo). (Mat.8:8 – iaomai). (Yoh.5:4-15; Kis.4:10 – hygiaino). (Mat.8:22 dyb, Mat.10:8; 4:9; Luk.4:27; 17:14-17 –katharizo). (Mat.9:21 dyb; Mrk.10:52; Luk.17:19 – soizo). (Luk.13:12 dyb – apolyo). Penyembuhan erat hubungannya dengann pengampunan. Penyembuhan dengan perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh Yesus mempunyai arti yang sama karena keduanya bekerjasama atau bergandengan tangan. Ilmu kedokteran adalah sauatu karunia Allah juga dan pelayanan medisnya ada hubungan dengan pelayanan penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus.

2. Membantu orang yang kita layani dalam pastorat.
Banyak orang dalam situasi sulit dan bergumul dengan berbagai macam persoalan sehingga hampir putus asa dan tidak tahu apa yang mereka harus lakukan. Mereka membutuhkan bantuan. Bentuk-bentuk bantuan yang bisa kita berikan a.l: 1. membantu dengan perkataan dan perbuatan supaya penderitaan tidak bertambah berat. 2. menghibur dan menguatkan mereka kalau mereka terbuka untuk bantuan ini. 3. memobilisasi dan menyusun kembali tenaga mereka yang masih ada supaya dapat menghadapi persoalan mereka. 4. membantu supaya mereka dapat memulai lagi hidup baru dalam situasi baru dimana mereka berada. Sejarah fungsi ini sudah ada sebelum ada Alkitab, yakni dalam literatur Yunani kuno. Para filsuf mempunyai tugas untuk menghibur orang-orang yang berduka. Salah seorangnya adalah Antiphon mempunyai suatu balai atau klinik penghiburan. Selain para filsuf ada juga pujangga-pujangga dan orang-orang yang bertugas untuk meratapi orang-orang mati dan menghibur keluarga yang mereka tinggalkan. Dalam Alkitab, istilah yang paling banyak digunakan adalah nikham yang berarti membuat orang bernafas dengan lega dalam suatu situasi yang sulit. Penghiburan itu diberikan dengan perkataan dan perbuatan dengan roti dan anggur (Yer.16:7). Penghiburan manusia mempunyai hubungan dengan penghiburan Allah, seperti sifat seorang ibu (Yes.66:13) dan kiasan seorang gembala yang menggembalakan dan menghimpunkan dombaNya dengan tanganNya; anak-anak domba dipangkuNya dan induk domba dituntunNya dengan hati-hati (Yes.40:11). Dalam PB, istilah parakalein yang mempunyai dua arti yakni: menasihati dan menghibur. Kedua arti ini bermaksud untuk mengikat orang keluar dari kesusahannya. Hal penghiburan dan pengharapan mempunyai hubungan yang erat. Siapa yang menghibur orang berduka, ia harus menempatkan diri di tempat orang itu sehingga dapat merasakan apa yang dirasakan orang berduka itu, maka dapat membantunya untuk mengatasi kedukaannya. Pelayanan dalam bentuk nasihat dan penghiburan ini sangat penting dalam gereja. Pemberian bantuan ini berkaitan dengan kesusahan, penderitaan, dan kematian. Kitab Ayub dapat membantu kita dalam hal ini. Ayub tidak melarikan diri dari Allah, sehingga ia sendiri mengakui Allah dalam penderitaannya bahwa: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau. Tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”.(Ay.42:5). Gereja masa kini mempunyai tanggung jawab yang penting terhadap anggotanya dalam hal kesusahan, kesepian, penderitaan, dll. Yang paling dibutuhkan adalah bantuan yang konkret: penghiburan, persekutuan, solidaritas. Reedijk mengatakan bahwa: “Saya yakin bahwa hanya kalau orang tahu apa itu percaya, ia dihibur dan oleh penghiburan itu ia mendapat keberanian untuk melanjutkan perjalanan kehidupannya. Seorang pastor harus memiliki sifat solidaritas yang melebihi relasi bantuan yaitu solidaritas seperti dengan saudaranya.

3. Menuntun orang yang kita layani dalam pastorat.
Pelayanan pastoral adalah suatu proses yang panjang. Jalan yang ditempuh seseorang biasanya tidak lurus dan licin, malahan berliku-liku. Karena itu membutuhkan kawan untuk menuntunnya. Dalam keadaan sulit biasanya sering mencampuraduk dengan hal-hal yang tidak penting, sehingga fakta-fakta yang disampaikan kepada pastor banyak kehilangan nilai obyektifnya. Maksud dari tuntunan ini adalah supaya dengan bantuan pastor seseorang dapat melihat kesalahannya. Ketika kesadarannya akan hal-hal yang negatif mulai nampak maka pastor harus menjelaskan hal itu kepadanya sehingga ia dapat melihat persoalannya dengan lebih terang, asal saja pastor melakukannya dengan hati-hati dan secara bijaksana. Pastor harus berjalan atau berada di sisi anggota jemaat atau mengikutinya setapak demi setapak dalam usaha menjelaskan perasaan dan reaksinya sehingga ia akan puas dan merasa aman. Dalam percakapan pastoral seorang pastor yang mungkin telah berpengalaman dan lebih terang melihat persoalan jemaat harus lebih bijaksana dengan menyimpan dahulu pendapat dan konklusinya dan berusaha menolong anggota jemaat untuk dapat melihat apa yang telah dilihat pastor supaya ia dapat menarik konklusi sendiri. Pastor menunggu sampai anggota jemaat sendiri beroleh pengertian tentang persolannya. Pastor berusaha sedapat mungkin menghindari segala macam interpretasi dan komentar. Interpretasi artinya menambahkan apa yang pastor pikirkan tentang keadaan anggota jemaat dan yakin bahwa mereka pun berpikir demikian. Sejarah fungsi ini juga sudah ada jauh sebelum Alkitab. Dalam semua agama sudah ada sebutan-sebutan ‘guru’, ‘rabi’, ‘orang bijak’, dll. Mereka mempunyai kuasa dan memangku suatu jabatan yang tinggi secara religius dan etis yang harus ditaati oleh rakyat biasa. Dalam dunia Yunani ada para filsuf dan pujangga, sedangkan dalam dunia Yahudi ada para rabi dan orang-orang bijak. Dalam PL ada hal tentang ‘hikmat’ (Amsal dan Pengkhotbah). Hikmat (Ibr: khokmah) atau kebijakan selalu terarah pada praktik hidup sehari-hari. Orang bijak adalah orang yang adil, benar, yang tahu diri kapan berbicara dan mendengarkan, dapat dipercayai, memenuhi norma-norma yang ditetapkan oleh Allah, dan siap memberikan nasihat kepada orang lain. Dalam PB, Yesus disebut “Rabi” atau Guru karena perkataanNya meyakinkan. Yesus berkata dengan otoritas mesianis (exousia). AjaranNya membebaskan dan penuh dengan penghiburan. Untuk menjadi penasihat ‘dalam Roh Kristus’ harus memenuhi syarat yang berat dalam 2 Kor.4:5 : “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus”. Menjadi murid Yesus harus turut bekerja untuk sukacita jemaat (2 Kor.1:24). Hal menuntun ini juga berkaitan dengan hal disiplin gerejawi dan katekisasi. Disiplin berkaitan dengan hal kebebasan, sedangkan katekisai berkaitan dengan hak pendidikan rumah tangga yang ada di dalam tanggung jawab orang tua semacam pemerintah kecil untuk mendidik anak-anak supaya menjadi orang yang bertanggung jawab. Pada saat ini Injil juga menuntut seorang pastor untuk menjadi penuntun yang sebagai saudara dari orang yang ia layani dalam pastorat. Yang paling penting bagi pastor adalah hikmat atau pengetahuan yang berdasarkan pengalaman seperti yang kita baca dalam Alkitab. Pastor yang demikian bukanlah orang yang mengetahui segala sesuat tetapi yang dapat dipercayai dan yang dapat mendengarkan orang lain, yang telah menemukan identitasnya sendiri sehingga dapat membantu dan menjadi tokoh identifikasi bagi orang lain. Pastorbenar-benar melakukan apa yang ia katakan. Hanya atas dasar kasih dan kepercayaan dapat tercipta pembaruan dalam jemaat.

4. Mendamaikan orang dalam pelayanan pastorat.
Ada banyak jemaat yang hidup terpisah atau terasing dari anggota jemaat lain dan dengan Allah. Keterasingan ini disebabkan oleh pertentangan golongan, keluarga, suku, dll. Hal ini terjadi karena tidak cukup mendapat perhatian dari gereja. Padahal pelayanan untuk pendamaian adalah salah satu tugas penting yang ditugaskan oleh Kristus kepada gereja (2 Kor.5:18). Tindakan pelayanan ini terletak pada relasi dengan banyak orang atau golongan yang berselisih pendapat yang mengganggu relasi mereka. Fungsi mendamaikan adalah berusaha memperbaiki relasi yang rusak antara manusia dan sesamanya dan antara manusia dengan Allah. Hal ini bersumber pada karya pendamaian Kristus sendiri sebagai jawaban atas dosa manusia. Inti dosa manusia adalah pemberontakannya terhadap Allah dan pemutusan relasi imannya dengan Allah. Akibatnya musnahlah hubungan manusia dengan Allah, dengan  sesama manusia, dan dengan alam. Dalam PB, istilah untuk pendamaian ini adalah “katallage”. Arti mula-mulanya adalah pertukaran, seolah-olah telah terjadi pertukaran peranan antara Kristus dan manusia. Karena dosa manusialah, maka Allah menolak manusia, namun Kristus yang dengan sukarela mengambil alihnya dan menganugerahkan keselamatan dari Allah kepada manusia (2 Kor.5:8 dyb). Oleh korban Kristus itu maka hubungan Allah dengan manusia pulih seperti dahulu lagi. Kristus mendamaikan dosa seluruh bangsa (Ibr.2:17; Mat.6:12; Mat.18:33). Relasi dengan Allah dan relasi dengan sesama manusia tidak dapat dipisahkan. Hal ini sangat impresif dilukiskan dalam perumpamaan anak yang hilang (Luk.15:11 dyb). Pengampunan dalam perumpamaan ini menimbulkan konflik antara saudara karena tidak ada kasih yang banyak di antara mereka sehingga dibutuhkan banyak pengampunan dan pendamaian dalam konflik-konflik yang ada. Pelayanan pendamaian dalam gereja mulai dengan adanya penyesalan atau pertobatan (metanoia) dan pengakuan dosa (exhomologesis). Kedua hal ini dilakukan di “kursi biecht” (kursi pengakuan dosa) oleh rohaniawan yang memimpin pelayanan ini, tanpa memaksa anggota jemaat untuk melakukan biecht. Problematik sekitar dosa dan pendamaian muncul secara kuantitatif dan kualitatif secara radikal. Misalnya dalam hal revolusi industri yang memusnahkan relasi antara manusia kepada kemajuan teknik sehingga menimbulkan problema-problema, adanya kebimbangan dan keputusasaan karena permusuhan dimana-mana, pertentangan di bidang ekonomi yang memperdalam jurang antara yang kaya dan miskin. Inilah akibat-akibat yang penting bagi pelayanan pastoral pada masa kini supaya gereja harus menyadarinya sehingga perjuangan dan penderitaan jemaat tidak semakin berat. Pelayanan pastoral ini juga membangkitkan kesadaran di bidang politik dan sosial untuk turut menciptakan suatu masyarakat baru. Lebih dari itu perlu menyadarkan jemaat secara pribadi karena pada akhirnya pribadi-pribadi sendirilah yang mempunyai persoalan, ketakutan, dan tanggung jawab sendiri.

IV. PELAYANAN PASTORAL JEMAAT[6]

Pelayanan pastoral jemaat menemati tempat yang penting sebagai subyek dan obyek pelayanan. Menurut Thurneysen, percakapan pastoral adalah percakapan gerejawi yang harus memimpin kepada jemaat di mana firman Allah diberitakan dan sakramen dilayani. Gereja adalah ruang dan pelaku dari pelayanan pastoral ini. Pelayanan pastoral terarah kepada orientasi Kerajaan Allah. Selanjutnya menurut Brillenburg Wurth, subyek dari pelayanan pastoral adalah Kristus Kepala gereja. Dalam pelayananNya Kristus menggunakan pejabat-pejabat gerejawi, sedangkan jemaat adalah obyeknya. Teolog-teolog Luthern seperti Trillhaas mengatakan bahwa pelayanan pastoral adalah pelayanan jemaat sebagai tubuh Kristus kepada anggota-anggotanya. Sedangkan bagi teolog pastoral di Amerika, sentral pelayanan pastoralnya adalah membantu manusia dalam problema-problemanya. Gereja bertugas untuk memelihara segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, khususnya ibadah dan tata ibadah jemaat dan menciptakan bentuk-bentuk pelayanan pastoral yang bersifat misioner dan diakonal. Berikut ini kita melihat susunan, struktur, dan organisasi pelayanan pastoral sebagai pastorat jemaat.

1. Saling melayani dalam pastorat jemaat.
Bentuk dasar dari pelayanan pastoral adalah saling menggembalakan dalam hal menasihati, mendoakan, menghibur, mengajar, melayani, dll. Tanggung jawab seorang terhadap yang lain merupakan hakekat gereja dalam sebuah persekutuan yang penuh, yang timbul oleh iman bersama dari anggota-anggotanya kepada Kristus. Anggota jemaat sehati dan sejiwa, artinya hati dan jiwa mereka searah dan setujuan. Perjamuan malam merupakan puncak dari persekutuan jemaat. Hubungan dan tanggung jawab mereka berdasarkan atas apa yang Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kerjakan bagi mereka. Manifestasi dari hal ini adalah nampak dalam kata “kami” dari doa Bapa Kami. Makna kata ini adalah bahwa Allah itu adalah Bapa mereka bersama dan jemaat adalah anak-anak dari satu Bapa. Juga pengakuan iman yang mengatakan bahwa “persekutuan orang-orang kudus” mempunyai makna bahwa gereja adalah orang-orang yang dipilih dan dikuduskan oleh Allah untuk digunakan sebagai alat dalam karya penyelamatanNya. Di sini fungsi pastoral untuk saling menyembuhkan secara utuh, saling membantu dan menuntun dalam hidup dan pelayanan, dan mencari jalan pendamaian terlihat jelas. Semua ini dapat terjadi apabila gereja kembali menata pelayanannya dan memperlakukan jemaat sebagai orang-orang dewasa, dianggap secara serius hingga tetap berinisiatif dalam persekutuan.

2. Pastorat teritorial
Pastorat teritorial adalah pelayanan pastoral yang diberikan kepada orang-orang yang tinggal dalam suatu teritorium atau daerah yang sama. Untuk dapat menjalankan pelayanannya, gereja membutuhkan peraturan-peraturan (1 Kor.14:40; 11:14), butuh ketetapan-ketetapan (1 Kor.7:17), butuh perintah-perintah (1 Kor.14:37), dll. Menurut struktur tradisional, sejak dahulu pelayanan pastoral telah dijalankan oleh paroki (parokia: 1 Ptr. 1:17). Ketika agama Kristen dijadikan agama negara pada abad ke IV, perlu sekali dibentuk pusat-pusat pelayanan pastoral di daerah-daerah. Sejak abad IX model dasar dari pelayanan pastoral ini tersebar ke seluruh eropa Barat yang hanya ditugaskan kepada imam saja. Dalam perkembangan selanjutnya para pastor/pendeta mendapat tempat yang sentral dalam pelayanan pastoral. Pelayanan pastoral paroki (bagian jemaat) berlangsung dalam bentuk kunjungan rumah tangga. Kemudian terjadi perubahan yang besar di mana gereja juga menggunakan anggota jemaat biasa sebagai tenaga-tenaga sukarela dalam pelayanan pastoral yang sebagaian besar para wanita. Dalam struktur fungsional, pelayanan antara anggota jemaat biasa dengan pejabat gerjawi biasa berkumpul dan berunding bersama tentang pelayanan yang dipercayakan kepada mereka.

3. Pemberian pelayanan pastoral.
Pelayanan ini biasa disebut juga sebagai pemberian bantuan pastoral sebagai perluasan dari kunjungan rumah tangga. Kunjungan biasa dilakukan oleh penatua dan diaken untuk membicarakan tentang soal-soal yang ringan. Misalnya, hidup kerohanian, pendidikan anak-anak, pelayanan baptisan, perayaan perjamuan kudus, dll. Sedangkan untuk soal-soal yang berat disampaikan kepada pendeta, lalu pendeta melakukan kerja sama dengan ahli-ahli lain dalam soal gangguan penyakit dan psikis. Pelayanan-pelayanan ini biasanya dipersiapkan dengan baik dan cermat. Jadi, pemberian pelayanan pastoral adalah relasi yang diadakan oleh seorang pastor/pendeta dengan anggota jemaat sebagai bantuan dalam terang injil dan hubungan dengan jemaat Kristus untuk bersama-sama mencari jalan dalam soal-soal percaya dan soal-soal hidup. Di sini terjadi relasi dan memberikan bantuan kepada jemaat untuk persoalan mereka dalam jangka waktu yang lama. Maksud dan tujuan pemberian pelayanan pastoral adalah memimpin dan membantu anggota jemaat supaya dapat memfungsikan seluruh hidup kerohaniannya. Dalam pelayanan, injil pembebasan menjadi motivasi yang paling dalam atau paling penting. Relasi yang baik adalah mempunyai suatu momen yang menyembuhkan (terapeutis). Dalam hal ini pastor berusaha mendidik dan membina anggota jemaat sebagai kawan-kawan sekerjanya.

4. Pelayanan pastoral di kota-kota besar.
Jemaat hidup dalam suatu kebudayaan kota yang dipengaruhi dan ditentukan oleh segala sesuatu yang ada dan terjadi di kota-kota besar. Dengan membangun kota satelit, maka kota besar sebenarnya telah kehilangan fungsi penghuniannya. Dalam perkembangan gereja di kota-kota besar telah terbukti bahwa tidak sedikit gereja mengalami kekosongan pengunjung. Pertanyaan yang paling penting dalam pelayanan pastoral adalah: Bagaimana Gereja dapat tetap berada dalam situasi misioner dari pusat kota-kota besar yang dinamis? Ancaman kekosongan ini diakibatkan oleh: 1.  Kehilangan fungsi teritorial yang hanya bisa bertahan dan masih menarik dikunjungi karena nama baik di masa yang lalu, terutama untuk pemuda/pemudi gereja. 2. Karena ada anggota jemaat dari berbagai gereja bersama-sama berusaha membentuk persekutuan kristiani yang baru dan  menciptakan suatu hidup gerejawi yang baru. Anggota-anggotanya mendapat kesempatan untuk membaca dan merenungkan firman Allah, bermeditasi, berdoa, dsb. Ada juga jemaat yang berusaha membantu mereka yang bergumul dengan rupa-rupa problema, memperoleh rupa-rupa keterangan tentang berbagai hal di segala bidang. Hanya belum berhasil menatanya dan memberikan suatu struktur yang lebih baik. 3. Adanya persekutuan-persekutuan hidup atau komunitas-komunitas yang menyerupai hidup bersama antara orang yang telah menikah dengan yang belum menikah sebagai protes terhadap lembaga pernikahan. Kadang mereka memiliki suatu ordo religius. Umumnya mereka mempunyai fungsi menerima dan menuntun orang-orang yang hidup dalam kekurangan (tuna wisma) atau yang menjadi korban narkoba, dan menderita sesuatu yang kritis, dll.

5. Pastoral kategorial.
Pastorat kategorial ialah pelayanan pastoral yang diberikan kepada orang-orang yang termasuk pada suatu kategori yang sama. Pelayanan ini dilakukan di berbagai bidang dan dalam rupa-rupa bentuk yang berhubungan dengan orang atau jemaat yang hidup dan bekerja dalam situasi yang khusus. Di tempat di mana banyak orang lama tinggal dan bekerja, kadang-kadang timbul suatu jemaat kategorial.

V. BENTUK-BENTUK PELAYANAN PASTORAL[7]

Bentuk dasar pelayanan pastoral adalah percakapan yang diadakan antara pastor dan anggota jemaat yang digembalakannya. Percakapan pastoral berlangsung dalam perkunjungan rumah tangga. Kunjungan ini bisa secara pribadi dan secara bersama. Yang pribadi biasanya membicarakan persoalan secara lebih mendalam; sedangkan yang bersama-sama tentang hal-hal yang ringan. Yang penting ada persekutuan, pertukaran pengalaman, pembacaan firman dan doa bersama. Ada macam-macam bentuk pelayanan seperti lewat surat yang walaupun menciptakan jarak/distansi tapi membuat orang yang bersangkutan saling berdekatan. Bentuk lainnya adalah lewat telepon, radio, televisi, dll.

1. Percakapan.
Inisiatif percakapan ada pada anggota jemaat. Beberapa bentuk percakapan pastoral adalah sbb: 1. Memperkenalkan diri. Untuk memberi informai dan pertukaran pengalaman serta mengungkapkan harapan-harapan. 2. Tematis. Misalnya tentang baptisan ulang. Pastor harus berusaha untuk mengajari dan menobatkan orang yang hidup todak senonoh dan bersalah, bukan baptisannya yang harus diulangi. 3. Bentuk diskusi. Beriskusi tentang sesuatu hal dengan penekanan pada soal cara diskusinya, bukan soal prinsipnya. Dalam diskusi butuh kesediaan untuk mendengarkan orang lain dan untuk mengerti alasannya. 4. Percakapan yang membantu. Biasanya dianggap sebagai percakapan pastoral yang sebenarnya. Orang yang bermasalah mendapat kesempatan untuk mengungkapkan perasaan sukacita atau dukacitanya.

2. Percakapan pastoral.
Percakapan pastoral mempunyai segi-segi psikologis dan teologis. Percakapan ini ditugaskan kepada gereja dan melalui gereja oleh Kristus sebagai Pastor Agung. Percakapan terjadi atas dasar kewibawaan Yesus Kristus. Gereja melakukannya sebagai utusan dan pelayanNya. Dalam percakapan, firmanNya harus turut di dengarkan. Saat percakapan anggota jemaat sebagai partner harus diterima tanpa syarat sebagaimana ia ada dan memahami keadaannya; bukan menyetujui sifat atau perbuatan yang bersangkutan. Mengadakan suatu percakapan harus menciptakan relasi yang baik yang membuat anggota menjadi tenang dan merasa aman. Relasi ini tercipta ketika pastor memusatkan perhatian pada persoalan teman bicara. Tugas pastor adalah menolongnya dengan melihat persoalan dengan jelas dan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan baik. Hal lain yang penting adalah mengidentifikasikan diri dengan partner percakapan atau memiliki sikap empati yaitu dapat merasakan dan memikirkan apa yang dialami oleh partner dalam keadaan batiniah sehingga dapat menghayati apa yang ia hayati. Rasa empati berarti mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan oleh partner dengan kata-kata dan yang tidak diucapkan dengan kata-kata. Artinya berusaha untuk mengerti apa yang dimaksudkan dan dirasakan oleh partner sambil menunggu dan mengharapkan apa sebenarnya yang terjadi. Salah satu syarat lainnya adalah pengertian supaya tidak bersifat dingin, tetapi harus terbuka dan ditatang oleh rasa cinta kasih. Pastor harus menolong, menerima, dan mengertinya dengan kata-kata dan perbuatan. Percakapan Pastoral[8] adalah percakapan yang diadakan oleh pendeta/pelayan dengan anggota-anggota jemaat melalui suatu proses untuk mengerti diri, persoalan dan situasinya atas nama dan berdasarkan kewibawaan Yesus Kristus. Minat untuk melakukan percakapan pastoral disebut “rapport” (hubungan). Rapport adalah dasar pengertian atau itikad baik untuk sampai kepada saling mengerti yang perlu untuk setiap percakapan dengan menaruh perhatian, bersikap terbuka terhadap yang lain dengan melupakan sedikit kepentingan diri sendiri. Anggota jemaat harus diterima tanpa syarat sebagaimana adanya dan mengerti keadaannya. Di sini pendeta harus berusaha menciptakan relasi yang membuat partner menjadi tenang dan merasa aman. Kemudian memusatkan perhatian pada persoalan yang diceritakannya sehingga membuat partner merasa aman. Sikap ini penting supaya yang bersangkutan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan baik. Pelayan harus bisa mengidentifikasikan dirinya dengan anggota jemaat sebagai partner percakapannya melalui sikap empatis. Artinya, bisa menempatkan diri dalam keadaan batiniahnya agar dapat menghayati apa yang diceritakannya.  Juga mau mendengarkan dengan seksama, baik yang diucapkan dengan kata-kata maupun perasaan atau emosinya agar lebih sabar. Sikap penuh kasih adalah dasar percakapan pastoral. Kasih berarti membiarkan diri untuk dikenal oleh orang lain sangat penting karena jikalau kita berusaha mengenal diri sendiri dengan sungguh-sungguh, maka jelaslah kita tidak baik bahkan tidak selalu berkemauan baik. Hal-hal yang perlu dibuat agar kita mendapat rapport untuk mengadakan percakapan pastoral a.l: a. pendeta memeriksa diri bahwa minatnya untuk percakapan adalah berdasarkan perhatian yang sungguh, simpati dan kasih terhadap partner walaupun kita membenci dosa dan tidak setuju dengan perbuatan jahatnya; b. pendeta mau memberi dirinya sendiri untuk dikenal oleh jemaat, dengan membuka topengnya yang sering dipakai sebagai pelayan yang saleh dan sedikit lebih baik dari pada warga jemaat biasa. Pendeta dan anggota jemaat sama-sama sebagai teman dan orang berdosa yang mengharapkan anugerah pengampunan Allah; c. jika gagal mengadakan rapport, jangan memaksakan diri tapi minta orang lain untuk mengadakan percakapan pastoralnya. Menurut Dr. H. Faber, seorang ahli penggembalaan di Belanda, membedakan tiga macam percakapan pastoral yaitu: a. Percakapan mengenai soal-soal praktis; b. Percakapan tentang soal hubungan dengan orang lain; c. Percakapan mengenai persoalan dalam hubungan dengan Allah.

3. Kunjungan rumah tangga.
Kunjungan RT adalah tradisi calvinis, yang mengandung segi gerejawi dan manusiawi. Maksudnya adalah untuk memelihara hubungan dan mau berusaha untuk membantu jemaat dalam persoalan dan pergumulan mereka. Untuk segi manusiawinya, majelis bertemu dengan jemaat sebagai manusia biasa yang hidup di dalam dunia di mana mereka hidup dan bekerja dalam segala suka dan duka mereka. Di sini mereka bisa mencurahkan isi hati mereka kepada pastor. Dlam kunjungan rumah tangga jemaat tahu bahwa pendeta adalah orang yang tepat untuk mereka minta bantuan dan mereka sangat senang atas kunjungan itu.

4. Tempat-tempat penumpangan.
Anggota jemaat yang berada dalam kesusahan selama suatu waktu tertentu sangat mengharapkan tumpangan. Yang mereka butuhkan adalah tempat penampungan dengan suasana pastoral, di mana mereka dapat bertukar pikiran tentang bagaimana mereka harus menghadapi situasi mereka. Ada juga orang-orang yang lebih serius kondisinya yang sangat membutuhkan bantuan spiritual dan material, bahkan ada anggota jemaat yang untuk sementara harus meninggalkan rumah mereka karena rupa-rupa penyebab.

5. Bentuk surat dan telepon.
Sejak zaman rasul Paulus, pelayanan pastoral lewat surat memainkan peranan penting. Surat adalah suatu alat yang selalu tersedia untuk mengekspresikan diri seseorang. Sifatnya sangat hidup dan terikat pada orang yang menulis dan menerimanya. Surat pastoral adalah suatu tanda yang nyata dari cinta kasih dan perhatian kita kepada orang lain. Dalam surat orang lebih baik mengungkapkan pikirannya dari pada dalam suatu percakapan. Dalam surat ada motivasi psikologis dari penulisnya. Menuliskan surat gembala kepada jemaat secara keseluruhan merupakan kebiasaan yang baik. Melalui telepon, ada baiknya pastor harus selalu siap untuk menerima panggilan jemaat. Jika ada kesibukan pastor mengusahakan ada orang yang menggantikannya. Maksud seseorang untuk telepon adalah meminta informasi, atau sedang menghadapi suatu problema.

VI. P A S T O R[9]

Pastor adalah pendeta jemaat yang harus memimpin ibadah jemaat, pelayanan sakramen, peneguhan dan pemberkatan nikah, kateketik, pemimpin dari berbagai badan gerejawi, dll. Beberapa hal yang menyangkut dirinya, jabatannya, pengetahuannya, keterampilannya, tugasnya, dan spiritualitasnya sebagai pastor yang bersumber pada Yesus Kristus sebagai Pastor Agung adalah sbb:

1. Identitas pastor
Identitas adalah istilah Perancis yang berarti sama sekali sesuai, kesamaan, atau jati diri. Menunjukkan pribadi sesuai dengan apa yang ia sebutkan atau katakan. Jadi, identitas pastor adalah orang yang berada sesuai dengan dirinya sebagai pastor. Betapa sulitnya bagi kita untuk membedakan eksistensi pribadi pastor dari tugas atau profesinya sebagai pastor. E.H. Erikson dalam karyanya tentang identitas pribadi, mengatakan bahwa dalam hidup manusia terdapat berbagai fase yang harus ia lalui. Antara fase-fase itu ada suatu kontinuitas yang jelas, lalu kalau tidak baik menempuh atau tidak berintegrasi dengan baik fase-fase itu akan mengalami krisis atau ketegangan. Ketegangan-ketegangan itu nampak antara pribadi dan jabatan atau antara teologi dan iman/percaya sehingga timbul frustasi yang merugikan identitas sendiri. Selanjutnya Kruijne dalam karyanya tentang pastor dan identitas, ia tiba pada kesimpulan bahwa dalam krisis identitas dari pastor, faktor-faktor intra-psikis memainkan peranan yang dominan karena tidak tiba pada suatu kesadaran yang matang tentang generativitas. Sesuai dengan itu maka modus keberadaannya sebagai pastor, sebagai orang percaya, dan sebagai manusia terus menerus saling medorong dan saling mencegah sehingga faktor eksternal yang bersifat kemasyarakatan dapat menyebabkan dan memperbesar suatu krisis. Faktor-faktor lainnya adalah seorang pastor juga seorang teolog yang harus dapat mempertanggungjawabkan teologis tentang pekerjaannya dalam segi teoritis dan segi eksistensial. Pastor sebagai verbi divini menister harus menemukan dirinya sendiri dalam pelayanan pastoral karena berbeda dengan pelayanan pemberitaan firman. Sebagai pastor, ia hidup dalam suatu tradisi tertentu dan harus terdapat perdamaian. Selanjutnya pastor adalah orang gereja yang bisa memperoleh suatu sikap yang baik terhadap gereja sebagai lembaga. Relai antara jabatan gerejawi dan keahlian profesinya harus menemukan suatu jalan sebagai wakil dari suatu gereja dalam masyarakat dengan segala ketegangan yang ditimbulkannya. Segala faktor ini menentukan identitas pastor.

2. Jabatan pastor.
Menurut E. Thurneysen, seorang ahli teologi dari Swis mengatakan bahwa yang mempunyai wibawa dalam pelayanan pastoral adalah Firman yang diberitakan. Pastor adalah saudara dari anggota jemaat. Tanda yang menentukan panggilan dari seseorang untuk melayani sebagai pastor adalah iman atau percayanya sendiri. Namun seorang pastor haruslah seorang ahli dan teolog. Menurut Brillenburg Wurth, seorang teolog gereformeerd mengatakan bahwa jabatan adalah penting dan sebagai diakonia dengan suatu tempat  tersendiri dalam keseluruhan penyataan Allah. Pelayanan pastoral adalah suatu fungsi jabataniah yang ditugaskan dari Allah dengan sesuatu yang spesifik seperti pembasuhan kaki murid-murid oleh Yesus. Dalam terang ini, maka pelayanan pastoral adalah pelayanan imamat. Namun antara anggota jemaat terdapat suatu relasi wibawa sehingga dalam pelayanan tidak boleh merendahkan jabatan. Memangku suatu jabatan gerejawi dalam playanan pastoral mempunyai suatu nilai tersendiri yaitu identitas rohani, legitimasi oleh jemaat, pergaulan sebagai saudara dengan saudara, dan juga rahasia jabatan.

3. Keahlian pastor.
Pastor adala suatu fungsi rohani yang tidak membutuhkan pengakuan masyarakat, tetapi yang ditatang oleh gereja. Namun berhubungan dengan pekerjaannya yang banyak bergerak di bidang praktik, maka persiapan studinya mencakup sebagian dari teologi praktika. Tugas teologi praktika adalah menjaga supaya studi itu tetap bersifat teologis dan menjadi praktis. Yang dibutuhkan adalah suatu studi yang teologis praktis yakni mempunyai praksis sebagai locus theologicus. Teologi praktika adalah ajaran tentang pekerjaan atau pelayanan gereja. Keahlian pastor harus nampak dalam bidang hermeneutis dan agogis. Sebagai hermenit, harus mampu menafirkan kitab suci dan menginterpretasi Injil dalam situasi yang konkrit dari hidup manusia supaya karya penyelamatan Kristus dapat dialami sebagai suatu kekuatan yang membarui dan merubah. Sebagai agog (penuntun) harus mempunyai suatu sikap dasar yang memampukannya untuk memperoleh identitas pastoral dan memimpinnya pada eksistensi teologis. Untuk itu butuh komunikasi dalam bentuk percakapan dan kegiatan pastoral lainnya dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Keahlian ini disebut keahlian interpretasi yang diperoleh dari praktek hidup dan pengetahuan teoritis. Sebagai seorang teolog, pastor harus dapat mengintegrasikan diri di segala bidang.

4. Spiritualitas pastor.
Pelayanan pastoral sangat intensif terjalin pada dimensi kerohanian manusia. Karena itu, pastor harus terus menerus memperhatikan spiritualitasnya sendiri. Pastor harus memelihara dan meneruskan rahasia keselamatan dalam Yesus Kristus. Ia harus menjadi actus traditionis, bahwa mereka dihayati oleh anggota jemaat sebagai wakil dari suatu tradisi yang impresif yaitu kesaksian tentang Yesus dari Nazaret. Pastor harus belajar mengenal Yesus ini karena hanya murid yang dapat diutus sebagai pastor. Rasul Paulus mengatakan: “Ini yang kukehendaki, yaitu mengenal Dia dan kuasa kebangkitanNya dan persekutuan dalam penderitaanNya”.(Fil.3:10). Iman hanya dapat dibangkitkan oleh Roh Kudus. Yang bisa dilakukan oleh pastor dan jemaat saat ada persoalan atau kendala yang biasa atau bersifat psikologis adalah saling membantu untuk meniadakan persoalan dan kendala. Dalam menghadapi persoalan, seorang pastor harus berani bereksistensi sebagai manusia dan sebagai orang percaya yang diterima oleh Tuhan. Ia boleh bekerja dalam nama Tuhan Yesus sebagai orang yang sendiri mengenal penderitaan, pergumulan, dan kesepian dalam hidupnya ( as the wounded healer), atau sebagai orang yang mengalami bahwa justru dalam kelemahanlah kuasa Allah menjadi nyata (2 Kor.12:9). Dalam pergaulannya seorang pastor akan dikenal sebagai orang yang dapat diajak berbicara, seorang yang percaya, dan seorang yang selalu bersedia untuk menolong. Menurut H.J.M. Nouwen, perkembangan spiritualitas pastor terdapat dua muka yaitu penerimaan diri sendiri dan penghargaan diri sendiri yang satu dalam relasi yang lain. Hal penyangkalan diri juga penting karena hanya dengan jalan ini manusia dapat bertumbuh dalam iman atau percaya kepada Tuhan.

5. Rumah pastor.
Biasa disebut juga dengan istilah pastori. Bagi pastor yang sudah menikah, pelayanannya kadang membawa konsekuensi agak menyulitkan anggota rumah tangga yang lain, sebab pastori bisa juga berfungsi sebagai rumah jemaat dan tempat pelarian bagi orang-orang yang mempunyai persoalan. Keluarga pastor (familia dimoni) dianggap berkewajiban menolong orang, mempunyai fungsi sebagai contoh atau teladan. Hal ini cukup menyulitkan anak-anak. Menurut Abineno, pastor harus berani menerobos isolemennya dan membicarakan kesulitan dan problemanya dengan majelis jemaat; majelis jemaat harus mengangkat seorang “pastor pastorum” untuk membantu pastor dalam kesulitan dan persoalan mereka; isteri pastor harus mendapat perhatian dari majelis jemaat.

VII. PELAYANAN PASTORAL DI DALAM JEMAAT [10]

Pelayanan pastoral (penggembalaan) adalah pelayanan yang dilakukan oleh pastor (gembala). Di dalam gereja tugas pelayanan pastoral juga dilakukan oleh mereka yang dipanggil dan dipilih untuk itu. Pendeta dapat melakukan pelayanannya bersama mitranya (co-pastor) yang perlu diperlengkapi. Pelayanan yang ditunjang oleh keikutsertaan banyak anggota atau pejabat gereja, jemaat akan sehat bertumbuh dan berbuah. Di dalam Alkitab, gembala mengekspresikan penjagaan dan pemeliharaan oleh Tuhan. Jemaat yang berjumlah banyak memerlukan pastoral yang baik dan memadai dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab kepada Tuhan dan di dalam nama Tuhan bagi kemuliaan namaNya. Harus atas nama dan untuk Tuhan. Menurut Dr. M. Bons-Storm dalam karyanya berjudul “Apakah Penggembalaan Itu?, bahwa gambaran penggembalaan semakin jelas dalam Yoh.21:15-19, tentang menggembalakan anak domba dan domba dewasa.

1. Manusia menurut Alkitab.
Seperti yang dikatakan Dr.J.L.Ch.Abineno dalam bukunya “Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia” bahwa: 1. Manusia sebagai ciptaan Allah. Manusia diciptakan pada hari terakhir dan menurut gambar dan rupa Allah. Hubungan antara manusia dengan Allah sangat dekat dan luar biasa karena manusia mencerminkan keberadaan Allah di dunia. Hubungan manusia dengan Allah, dengan sesamanya, dan dengan lingkungan harus diwujudkan dengan baik. Kelebihan manusia adalah ia dijadikan makhluk yang bertanggung jawab. 2. Manusia sebagai totalitas. Manusia adalah kesatuan yang utuh menyeluruh, terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh yang tak terpisahkan satu dengan yang lain. Jika Alkitab mengatakan “jiwaku memuji Tuhan” berarti aku memuji Tuhan (Mzm.103:1; 104:1, 3, 5) atau dalam PB mengatakan: “Tuhan menyertai rohmu”, berarti Tuhan menyertai dirimu seutuhnya. (2 Tim.4:22). 3. Manusia diciptaan bukan sendirian. Allah menciptakan mereka laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri. Mereka diajak untuk hidup bersama menata kehidupan. Manusia dilihat secara komunal dan dalam konteks hidupnya. 4. Manusia dan masa depannya. Manusia memikirkan masa depan yang lebih baik dan percaya akan kehidupan setelah kematian atau mempercayai kehidupan kekal. Hal ini namapak dalam pemahaman tentang dosa dan berjalan sesuai kehendak Allah dalam semua aspek kehidupan.

2. Kepribadian yang sehat.
World Health Organization (WHO) pernah merumuskan gambaran tentang kepribadian yang sehat sbb: 1. Mampu memperoleh penyelesaian secara efektif dan positif dalam situasi hidup yang berbeda-beda dan mempu mencerna pengetahuan yang seluas-luasnya. 2. Mampu beradaptasi secara konstruktif pada realita yang ada. 3. Relatif bebas dari rasa tegang, cemas, dan tertekan. 4. Menerimaan kekecewaan untuk dipakai sebagai pengalaman pada masa mendatang. 5. Dapat mengarahkan/menjuruskan permusuahan pada penyelesaian yang konstruktif. 6. Memperoleh kepuasan dari hasil usahanya. 7. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima. 8. Mampu behubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan. 9. Mempunyai daya kasih sayang yang besar. Semua hal ini menolong kita untuk berusaha menjadi manusia yang sehat kepribadian. Dapat kita tarik kesimpulan sbb: Sikap positif: Memiliki sifat positif artinya selalu ingin mencari yg terbaik bagi diri dan untuk semua orang. (Rm.14:19; 5:3b-5).

3. Menempatkan diri pada orang lain demi kebaikan:
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepardamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat.7:12). Tidak mencari keuntungan atau kesenangan sendiri adalah rumusan yang perlu diperhatikan juga (Rm.12:15; 15:1-3; Mat.22:39; Kis.20:35).
Ciri kasih: Kasih adalah yang terbesar (1 Kor.13:13), menjiwai semua perbuatan baik dan menjadi pendobrak segala hambatan yang berhubungan dengan orang lain melalui proses tolong menolong dan usaha saling memuaskan (Gal.6:2).
Berbagai fungsi pelayanan pastoral [11]
Mula-mula dicetuskan oleh William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle yang diperkenalkan oleh Seward Hiltner sbb:
1. Healing (menyembuhkan)
2. Sustaining (membantu/menopang)
3. Guiding (membimbing/menuntun)
4. Reconciling (mendamaikan)
5.Nurturing(mengasuh/merawat/memelihar). Ditambahkan oleh Howard Clinebell untuk mendekatkan pemahaman mengenai kaitan yang erat antara pendidikan dan konseling.

VIII. KEMISKINAN, KERENTANAN, DAN KETERSISIHAN SOSIAL: TANTANGAN PELAYANANPASTORAL [12]

Kepedulian Kristus dan gerejaNya nampak dalam keselamatan holistik dalam pluralisme sosial, budaya, dan keagamaan. Salah satunya dalam bidang kemiskinan, baik sebagai kondisi ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan maupun mencakup rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, tidak adanya jaminan masa depan, kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan, ketidakmampuan menyalurkan aspirasi, dan ketersisihan dalam peranan sosial. Pelayanan pastoral untuk kaum miskin kurang diperhatikan. Karena itu gereja harus terus hidup dalam semangat keselamatan holistik sebagai perwujudan dari panggilan pelayanan pastoralnya. Tantangan globalisasi dan kemiskinan ini memanggil gereja untuk mengerjakan berita injil dengan tindakan kenabian mulai dari pewartaan sampai aksi konkrit yang tuntas.

1. Tantangan pelayanan pastoral gereja.
            Gereja juga ditantang untuk masuk dalam realitas persoalan masyarakat yang menjadi konteksnya. Panggilan untuk berteologi kontekstual (contextual theology) adalah kepastian dalam upaya pengembangan pelayanan pastoral gereja. Artinya pelayanan teologi dari bawah yang dikembangkan berdasarkan apa yang hidup dalam keseharian jemaat. Hal ini sejalan dengan tujuan teologi pastoral yang selalu ada kebutuhan untuk membawa nilai-nilai agama dan moral ke dalam sebuah hubungan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia untuk menginterpretasi arti masalah dan cara pemecahannya. Jadi, jemaatlah yang menjadi teolog primer dan para teolog ilmiah sebagai teolog sekunder yang membantu jemaat. Realitas pertama yang menjadi konteks gereja di Indonesia adalah pluralitas masyarakat secara sosio budaya maupun agama. Realitas ini akan menuntut gereja untuk mengembangkan pendekatan sosio budaya dalam pelayanan pastoralnya, sehingga mempunyai persepsi pengembangan teologi multikultural. Banyak pusat pengembangan teologi yang semakin pluri-centric. Dasar teologis yang sesuai untuk merespons realitas pluralisme adalah Tuhan Allah hadir dan bekerja di mana-mana, kapan saja, tidak dapat dibatasi oleh tempat, waktu, dan kelompok tertentu. Konteks lainnya adalah kemiskinan di tengah globalisasi. Dalam aspek ekonomis ditandai adanya kesepakatan Washington (Washington Consensus), di mana negara-negara yang berhutang kepada lembaga keuangan internasional (International Monetary Fund / IMF) wajib melakukan stabilitas makro ekonomi, liberalisasi perdagangan, dan privatisasi. Globalisasi telah menyebabkan masyarakat menjadi semakin rentan (vulnerable) terhadap gejolak ekonomi global. Nilai-nilai tradisional bergeser sehingga melemahkan sendi-sendi kebersamaan yang pada dulu berperan sebagai jejaring pengaman sosial tradisional (traditional social safety nets) di masa sulit. Hasilnya adalah muncul kemiskinan yang dipaksakan, pengucilan (exclusion), kesewenangan dalam mengelola SDA sebagai milik penguasa, dan pelenyapan budaya lokal. Fakta kemiskinan ini telah terbawa ke pintu gereja, maka rencana dan infrastruktur perlu dibuat agar gereja dapat mengatasi masalah ini. Pendeta dan aktivis gereja harus dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi kebutuhan pastoral kaum miskin.

2. Pemerdekaan orang miskin: Sebuah tantangan karya pastoral.
            Gereja berjalan dalam jalan kemuridan dan merupakan kesaksian kehidupan yang nyata mengaku melalui peran dan karyanya di dunia. Hal ini disaksikan dalam pewartaan keselamatan holistik dalam jemaat khususnya ditengah kaum miskin dan tertindas. Injil memberi kekuatan perjuangan bagi gereja kini dan di dunia ini. Gereja harus mewartakan dan mewujudkan tentang Kerajaan Allah dan tahun rahmatNya yang akan datang (Luk.4:18-19). Kesaksian dalam Matius pasal 25-26, Yesus mengaitkan kewajiban terhadap orang miskin dengan diriNya sendiri. Pasal 25 mengatakan bahwa perbuatan baik dan pelayanan terhadap kaum miskin adalah perbuatan baik untukNya; sedangkan dalam pasal 26 Yesus mengatakan bahwa ketika Ia sudah tidak ada di antara kita, kita harus terus memberikan pelayanan terhadap kaum miskin seperti kita melayani Yesus sendiri. Hubungan iman dengan Kristus akan membuahkan perbuatan amal dan kasih. Pelayanan pastoral tanpa pamrih karena kasih kita tidak akan menyakiti mereka yang ditolong. Tindakan memberi jauh lebih utama atau lebih berbahagia memberi dari pada menerima (Kis.20:35), dan gereja dipanggil untuk mewujudkan semangat yang tidak bisa di beli dengan uang yakni kesamaan, kemerdekaan, keadilan dan perdamaian. Kemuridan gereja akan bermakna ketika berbaur dan masuk dalam perjuangan rakyat miskin, mengupayakan kemerdekaan, dan keadilan bagi mereka. Gereja berjuang bersama saudara-saudaranya dari berbagai agama dan elemen masyarakat lainnya yang telah lebih dahulu berjuang bersama kaum miskin.

3. Merangkul ilmu-ilmu sosial dalam karya pastoral.
            Pelayanan pastoral dituntut lebih profesional dan lebih membuka diri kepada ilmu-ilmu kemasyarakatan. Di sini pendeta perlu ada pendekatan lintas disiplin seperti sosiologi, ekonomi, psikologi, antropologi, dll. Teori dan pemahaman dari ilmu-ilmu ini digunakan sebagai dasar bagi pelayanan pastoral. Menurut Irawan Soehartono (1995), komponen pengetahuan dalam pekerjaan sosial dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu: pengetahuan asimtif, pengetahuan hipotetik, dan pengetahuan yang sudah teruji. Lalu menurut J. Janse van Rensburg (2000) mengidentifikasikan lima buah hipotesis atas kondisi kemiskinan yang relevan sebagai dasar penelitian bagi pengembangan pelayanan pastoral yaitu: 1. Pelayanan pastoral terhadap kaum miskin membutuhkan suatu pendekatan jangka panjang di dalam pelayanan dan pembinaan. Keputusasaan dalam konteks kemiskinan sangatlah hebat dan mendalam sehingga campur tangan pelayanan pastoral butuh waktu jangka panjang. 2. Perumpamaan tentang gembala (Yoh.10) dan tentang tubuh Kristus (1 Kor.12) sangat penting di dalam pelayanan terhadap kaum miskin. Keduanya tidak boleh dilangsungkan bersama dengan sebuah pelayanan amal berencana sebisa mungkin. 4. Pelayanan pastoral dan pembinaan terhadap kaum miskin membutuhkan keahlian profesional. Hal ini penting karena masalah emosional dan praktis dapat muncul saat pelayanan dan pembinaan, masalah stres dari kemiskinan dapat menimbulkan masalah psikologi dan psikopatologi yang menjadi sumber kemiskinan. 5. Pendekatan hermeneutik penting dalam pelayanan pastoral dan pembinaan masyarakat miskin. Pendekatan hermeneutik inter-subyektifitas dalam pelayanan pastoral dibutuhkan karena pendeta bukan orang miskin sehingga tidak bisa memahami secara langsung penderitaan kaum miskin. Meningkatkan pengetahuan asumtif dan hipotesis menjadi pengetahuan yang teruji merupakan tugas penelitian pelayanan pastoral. Fungsi penelitian ini adalah memberi sumbangan bagi pengembangan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam melayani tujuan dan cara kerja pelayanan pastoral. Gereja Tuhan mempunyai kewajiban yang besar untuk memberikan pelayanan pastoral kepada masyarakat miskin, rentan, dan tersisihkan. Gereja harus siap untuk mengadakan pelayanan pastoral pada perkembangan akhir-akhir ini yang mengindikasikan bahwa kemiskinan akan meningkat dalam dekade sekarang. Pendekatan menyeluruh (holistik) dan berjangka panjang dapat memberikan hasil terbaik dalam hal penyembuhan luka akibat kemiskinan, mendukung iman kaum miskin dalam situasi yang sulit, membimbing mereka menuju pemecahan maslah atau mengurangi beban. Semua ini dapat terlaksana hanya di dorong oleh kasih tanpa pamrih sehingga kaum miskin dapat merasa pendamaian oleh karena diterima dan dicintai dengan kasih yang tanpa pamrih itu. Itulah fungsi pelayanan pastoral yang sesungguhnya.

--------------------------------



[1] Laporan buku dari beberapa buku tentang Pastoral.
[2] Dr. J.L.Ch. Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal.1-18.

[3]a.Internet:Alkitab.sabda.org/article.php?no=847&type=12 Apa asal-usul dari gelar atau sebutan "Pendeta" (Reverend) yang dipakai untuk para pelayan Injil? Asal-usulnya tidak jelas. Kata itu diketahui telah dipergunakan sejak abad ketiga belas. Kata itu merupakan gelar yang diakui pada zaman Reformasi. Kaum Puritan memakainya dan Richard Baxter menyapa rekan sekerjanya dalam pelayanan dengan sebutan "Reverend Brethren" ("Saudara Pendeta)." Dalam gereja mula-mula para pendeta ditunjuk sebagai "pemimpin." Sebutan "pendeta," yang dipakai kemudian, mengacu kepada sifat dari jabatan, bukan kepada individu. Sebutan itu mengangkat atau menilai tinggi pekerjaan itu bukan pekerjanya. Ketika menyebut dirinya sendiri sebagai rasul, Paulus memuliakan pelayanannya (Rm.11:13) dan ini dipahami dengan benar dalam konteks kata "pendeta," yang bagaimanapun rendah pekerja itu, namun menghormati kerja keras yang dilakukan dengan mata hanya tertuju kepada kemuliaan Allah dan keselamatan manusia.

b.loveebenhaezer.blogspot.com/.../jabatan-pastor-itu-istilah-kristen-ata... Kata "Pendeta" berasal dari bahasa Sansekerta (bahkan beberapa tafsiran mengatakan berasal dari bahasa Pali atau malah bahasa Tamil), yakni : "PANDIT/PANDITHA". Makanya agama Hindu & Buddha juga memakai istilah "PANDITHA / PENDETA" untuk pemuka agamanya.  Di Indonesia, saat ini istilah pendeta secara khusus malah digunakan untuk sebutan pemimpin agama-agama Kristen Protestan, Hindu atau Buddha secara umum, istilah ini kadang-kadang juga digunakan untuk pemimpin agama Konghucu. Sedangkan agama Islam menggunakan ustadz. Entah salah kaprahnya ini dimulai sejak kapan sehingga, arti kata Pandhita akhirnya mengalami Penyempitan makna menjadi "Pemimpin Umat Kristen"padahal sejatinya bukanbegitu & tidak sesederhana itu!!!Pendeta (dalam istilah Dewanagari: पण्डित, paṇḍit) asalnya adalah sebutan bagi pemimpin agama Hindu. Kata pendeta berasal dari kata Pandita (bahasa Sansekerta), yang berarti brahmana atau guru agama Hindu atau Buddha. Namun arti lebih khusus lagi adalah : pandhita artinya = orang yang berilmu.
c. www.artikata.com/arti-344433-pendeta.html Definisi 'pendeta'Indonesian to Indonesian. noun
1. 1 orang pandai; 2 pertapa (dl cerita-cerita lama); 3 pemuka atau pemimpin agama atau jemaah (dl agama Hindu atau Protestan); rohaniwan; guru agama; ke·pen·de·ta·an n perihal yg menyangkut pendeta

[4] Ibid. Hal.20-46.
[5] Ibid. Hal. 48-66.
[6] Ibid.Hal.68-84.
[7] Ibid. Hal. 86-99.
[8] Dr. M. Bons-Storm, Apakah Penggembalaan Itu? (Jakarta: BPK: Gunumg  Mulia,1999), hlm.56-62.
[9] Ibid. Hal.126-139.
[10] Pdt. Dr. Samuel O. Purwadisastra dalam Pdt.Dr. Daniel Susanto (Editor) Bungan Rampai Teologi dan Pelayanan Pastoral: Buku Kenang-kenangan 25 Tahun Pelayanan pendeta Daniel Susanto selaku pendeta di GKI Menteng Jakarta (6 Juni 1978 – 6 Juni 2003). (Jakarta: Majelis Jemaat GKI Menteng), hal.53-66.
[11] Bandingkan: Loc.cit. Abineno, hal.48-63.
[12] Dr. Sudarno Sumarto, dalam Ibid. hal. 148-160.