Pemulihan Spiritual Korban Trauma Akibat
Intoleransi Beragama
Oleh: Pdt. Ruben Tallo
Pendahuluan
Orang yang mengalami gangguan
kesehatan (sakit) karena luka ringan saja, biasanya merasa tidak nyaman dengan
dirinya secara fisik maupun psikis. Apalagi kalau mengalami luka berat atau
trauma pasti sangat menyakitkan lagi. Ketika seseorang mengalami hal seperti
ini pasti sangat membutuhkan pertolongan untuk bisa menyembuhkannya. Oleh
karena itu, yang menjadi thesis statement penulis dalam memaparkan tulisan ini
adalah pemulihan spiritual terhadap
korban trauma akibat intoleransi kemajemukan beragama di Indonesia harus
menjadi penekanan bagi pelayanan pendampingan pastoral di Indonesia masa kini.
Dengan kata lain, penulis akan menawarkan suatu cara untuk menyembuhkan luka
akibat trauma, yakni dengan pemulihan
spiritual.
Pemulihan spiritual ini akan lebih
difokuskan pada salah satu fungsi dari pelayanan pastoral yang sering digunakan
dalam sepanjang sejarah gereja Tuhan, yaitu fungsi menyembuhkan. Fungsi menyembuhkan yang dimaksudkan di sini tidak
sama dengan upaya psikoterapi yang merupakan sekularisasi yang tidak menghargai
implikasi religius dan refleksi teologis dalam gangguan mental manusia. Juga
tidak sama dengan proses karismatisasi dengan penumpangan tangan, doa,
perminyakan, dan eksorsisme. Penyembuhan ini lebih pada memperhatikan dimensi spiritual kehidupan manusia yang
berkaitan dengan kesehatan fisik manusia
umumnya dan kesehatan mental manusia
khususnya, secara komprehensif atau seutuhnya. Atau tidak memisahkan dimensi
fisik, emosional, dan spiritual seseorang sehingga bisa mencegah putus asa dan
bunuh diri.(Hommes. 1992, 416).
Hal ini dikatakan juga oleh Blue Ken
bahwa dimensi penyembuhan pada manusia yang sakit trauma itu meliputi tiga dimensi yang utuh dari manusia yaitu
akal budi (hati/jiwa), roh, dan tubuh yang berinteraksi dalam penyakit dan
dalam proses penyembuhan. Dimensi akal budi, roh, dan tubuh adalah bukan
merupakan kategori yang terpisah tetapi menolong kita untuk mengungkapkan
berbagai unsur dalam sifat manusiawi kita. Alkitab memandang manusia sebagai
suatu entitas tunggal atau merujuk
kepada keseluruhan hidup seseorang. Jadi, anggapan terhadap adanya suatu
penyakit semata-mata hanya masalah jasmani, tidak di kenal dalam Alkitab. Karena
itu, penyembuhan terhadap manusia dilihat sebagai hal yang komprehensif. Hal dimensi
akal budi sama dengan yang dikatakan
Alkitab sebagai “hati” atau “jiwa” yang merupakan wilayah pikiran, emosi, dan
kemauan. Jika kita mencemarkan akal budi dengan kecemaran moral akan mengalami
kelumpuhan secara emosi dan kemauan sehingga tidak mampu membedakan antara yang
baik dan jahat, indah dan buruk, kasih dan nafsu. Lalu soal dimensi roh, adalah bagian diri kita yang tidak
kelihatan yang menyentuh dan berelasi dengan Allah dan roh-roh lainnya. Kekuatan
rohani dalam diri kita terdiri dari dua macam yaitu kekuatan yang baik (Roh
Kudus dan para malaikat kudus); dan kekuatan yang jahat dari Iblis. Kita dapat
digoda dan disiksa oleh kekuatan jahat ini bahkan sampai pada batas tertentu
bisa dikendalikan oleh kejahatan rohani ini. Penyakit rohani dapat terjadi
karena berbuat dosa, mencari pengalaman okultisme, diundang melalui trauma dan kutukan. Akhirnya dimensi tubuh, adalah bagian keberadaan kita
yang nampak dan paling jelas sebagai alat untuk kita membawa dampak ke dunia
fisik dan sebaliknya sebagai alat dunia fisik membawa dampak kepada kita. Banyak
bentuk penyakit yang membuat tubuh kita mengalami sakit secara kronis yang
berkaitan dengan unsur lain sehingga penyembuhan di satu unsur akan
mengakibatkan penyembuhan unsur lainnya.(Blue 2010, 149-152).
Menyadari
akan eksistensi manusia sebagai suatu entitas tunggal dan upaya pemulihan
spiritualnya tersebut, maka sangat
penting untuk menangani aksi-aksi kekerasan yang sangat rentan menimpa masyarakat
di Indonesia ini. Juga sebagai langkah konkret gereja dalam menyatakan
pelayanan pastoral (pastoral care)
terhadap “kesakitan” yang dialami oleh masyarakat di sekitar gereja baik secara
fisik maupun mental mereka. Dengan demikian, penulis akan mengangkat sebuah pengalaman intoleransi
beragama di Indonesia masa kini sebagai contoh untuk pengkajian tulisan ini
dengan fokus pada soal intoleransi beragama yang menyebabkan trauma, pemulihan
spiritual, dan model pendampingan pastoral terhadap korban trauma yang
menekankan pada pemulihan spiritual.
Contoh Kasus
Intoleransi
Pada
kesempatan ini penulis mengangkat kasus pembongkaran gereja HKBP Taman Sari di Bekasi
pada tanggal 21 Maret 2013 lalu, yang merupakan kasus yang masih sangat aktual
dan menimbulkan trauma bagi warga jemaat setempat. Adapun sedikit gambaran
tentang peritiwa ini sbb:
Pembongkaran Gereja HKBP Taman Sari Bekasi

1. Jemaat
Gereja HKBP menyatakan bakal melawan aksi
pembongkaran dengan
mengajukan gugatan hukum. (Foto: Laban Laisila)
Pemerintah Kabupaten Bekasi tetap membongkar bangunan
gereja HKBP Taman Sari, Bekasi, meski mendapat protes dari sejumlah pihak. Kini
pihak gereja akan tempuh jalur hukum untuk mengugat Pemda Bekasi. Pembongkaran
gereja ini adalah yang kesekian kalinya terjadi berkaitan dengan pelarangan
ibadah di Bekasi.Tangis puluhan jemaat perempuan dan anak anak gereja HKBP
Taman Sari, Kecamatan Setu, Bekasi terus mengiringi proses pembongkaran
bangunan gereja yang baru setengah jadi, Kamis sore (21/3). Suara raungan
semakin keras ketika alat berat milik Pemerintah Kabupaten Bekasi mendekati dan
mulai menghancurkan tembok setinggi 3 meter yang mengelilingi bangunan
utama.Tidak sampai setengah jam, tembok bangunan gereja sudah rata dengan
tanah.Anehnya sejumlah orang yang menolak memberi komentar kepada Radio
Australia, ternyata tak bermukim di sekitar gereja.
Bangunan itu adalah hasil sumbangan puluhan jemaat
yang sudah 13 tahun beribadah di sana. Awalnya jemaat HKBP hendak memugar
bangunan menjadi lebih layak, karena bangunan sebelumnya hanya semi permanen
dan sebagian tersusun dari kayu. Kendati sudah mendapat persetujuan lebih dari
70 warga yang bermukim di sekitar gereja untuk mematuhi kesepakatan tiga
kementerian, namun izin dari Kabupaten Bekasi tak kunjung turun.
Belakangan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi malah
menyegel dan membongkar bangunan gereja dengan alasan tak mempunyai Ijin
mendirikan bangunan, seperti yang disampaikan perwakilan bagian hukum Pemda,
Maman Suhardiman saat hendak membongkar.
"Kami menegakkan peraturan tentang bangunan yang
tidak memiliki izin membangun. Dasar hukum kami adalah Peraturan Daerah. Mekanisme
juga sudah dilakukan, termasuk sebelumnya penyegelan," tegas Maman.
Pimpinan jemaat HKBP, Adven Nababan menuding Pemda
Kabupaten Bekasi telah diintervensi oleh sekelompok penolak yang memang
mendatangi lokasi pembongkaran.
"Banyak kejanggalan, sampai saat ini tidak ada
surat yang kami terima dari Ibu Bupati tentang pembongkaran. Jadi kita akan
tempuh melalui jalur hukum," ujar Adven.
Peristiwa ini mendapat kecaman dari berbagai pihak
karena menambah daftar panjang kasus pelarangan ibadah dan intoleransi di Jawa
Barat. Sebelumnya kasus yang mirip soal sengketa bangunan tempat ibadah juga
dialami oleh GKI Jasmin di Bogor dan HKBP FIladelfia di Bekasi yang sebetulnya
mempunyai posisi hukum lebih kuat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengutuk
keras atas peristiwa pembokaran rumah ibadah itu.(Laban Laisila, website 2013).
Trauma Akibat Intoleransi
Pluralisme agama sekarang merupakan
suatu realitas praktis dari hidup setiap hari, dan kapasitas agama untuk
toleransi satu dengan yang lain dalam teori dan dalam praktek adalah suatu isu
konsekuensial terhadap masyarakat kontemporer. Ada tiga pernyataan yang lebih
mendekat pada refleksi keyakinan agama-agama di beberapa negara yaitu: (1)
agamaku memberikan satu jalan yang benar kepada Allah dan kesuksesan dalam
kehidupan yang akan datang; (2) agama lain yang lazim membagikan keyakinan
kepadaku harus juga memberikan suatu jalan kepada Allah; (3) agamaku adalah
salah satu dari banyak jalan kepada Allah dan keselamatan; pada dasarnya semua
tradisi agama juga memimpin kepada Allah dan keselamatan. (Neusner. 2008, 3-4).
Ketiga pernyataan tersebut
sesungguhnya bisa menciptakan sikap toleran dan sifat toleransi antar umat
beragama. Namun, tindakan kekekrasan intoleransi beragama yang dialami oleh
warga jemaat HKBP Taman Sari ini disebabkan oleh rasa intoleransi beragama yang
sangat parah di Indonesia ini. Hal ini nampak dalam proses pembuatan surat izim
membangun (IMB) yang walaupun sudah lama diproses, tetapi belum kunjung beres
juga. Anehnya, hal ini dipakai dan diakui sebagai alasan utama melakukan
tindakan kekerasan tersebut. Karena itu, di sini muncul pertanyaan mendasar
bahwa: Apakah masih ada toleransi beragama bagi konteks Indonesia yang
pluralistis ini? Pada kesempatan ini, penulis juga hendak mencoba untuk
memahami kembali arti sikap toleran dan sifat toleransi ini agar dengan belajar
dari pengalaman yang traumatis ini, bisa memahami secara proporsional makna
toleran dan toleransi ini.
Sangat penting untuk dipahami tentang
sikap toleran dan sifat toleransi ini agar kita dapat membandingkannya dengan
tindakan-tindakan kekerasan intoleransi di Indonesia masa kini. Toleran adalah bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan toleransi adalah: 1. sifat atau sikap toleran; 2. batas ukur
untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3. penyimpangan
yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. (KBBI. s.v. “toleran” dan “toleransi”). Sedangkan menurut Kevin
Corrigan, toleransi adalah berasal dari bahasa Latin tolero-tolerare, yang artinya “ memikul”, “menahan” tapi juga “memelihara”
atau “menopang”. Jadi, akar kata untuk beberapa toleransi beragama dalam dunia nampaknya
bukan memberi harapan untuk pandangan sekilas saja. (Neusner. 2008, 99).
Menyimak definisi-definisi ini, sesungguhnya ada suatu tuntutan dari setiap
orang untuk melapangkan akal budi, roh, dan
tubuhnya ketika hidup bersama dengan
orang lain dimana pun berada agar sikap toleran dan sifat toleransi itu
terpelihara. Namun, pada kenyataannya sikap toleran dan sifat toleransi ini
sangat sulit untuk dilaksanakan. Berbagai rasa sensitifitas etnis, budaya, dan
agama masih sangat kuat di Indonesia ini sehingga terjadilah peristiwa
kekerasan intoleransi yang
menimbulkan rasa trauma seperti pengalaman warga jemaat HKBP Taman Sari ini.
Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan
agama adalah suatu kekerasan terhadap kebebasan beragama atau keyakinan yang memiliki
beberapa perbedaan, pengeluaran, pembatasan, pilihan berdasarkan agama atau
keyakinan dan memakainya sebagai tujuannya lalu melakukan perusakan terhadap
penghargaan, kesenangan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan
kebebasan-kebebasan fundamental dalam suatu dasar kesamaan, seperti tidak
menerima suatu komunitas atau mengekspresikan atau menonjolkan kebencian
terhadap komunitas lain bedasarkan perbedaan dalam agama atau keyakinan. Intoleransi
adalah berasal dari keyakinan bahwa komunitas baik laki-laki atau pun perempuan,
sistem keyakinan atau gaya hidupnya adalah lebih tinggi dari yang lain. Ini
dapat disebabkan oleh beberapa jajaran konsekuensi dari kekurangan apresiasi
atau pembelotan terhadap orang lain untuk melembagakan diskriminasi. Semua
tindakan ini berasal dari penyangkalan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. (Hasani.
2009, 15-16).
Kejahatan-kejahatan membenci dan tidak
bertoleransi adalah tindakan yang dimotivasikan oleh kebencian atau prasangka
terhadap seseorang atau kelompok orang berdasarkan gender, ras, warna kulit,
daerah asal, dan atau orientasi seksual. Intoleransi bisa menjadi kejahatan
serius seperti menyerang atau memukul. Juga bisa menjadi tindakan kecil seperti
ejekan dalam ras atau agama seseorang. Kejahatan-kejahatan membenci dan tidak
bertoleransi ini berhubungan dengan kebebasan beragama atau keyakinan di mana
objeknya adalah individual. Karena tipe kejahatannya seperti ini, maka tanggung
jawab terletak pada individual sebagai subjek dari kejahatan hukum. (Hasani. 2009,
17-18).
Akibat-akibat
dari intoleransi seperti ini, benar-benar nyata dalam pengalaman warga gereja
HKBP Taman Sari tersebut dengan meninggalkan trauma yang cukup parah. Menurut
hemat penulis ada beberapa bagian – yang pada kenyataannya pasti lebih
menyakitkan batin mereka - dari berita pembongkaran gereja ini yang menimbulkan
rasa trauma bagi warga jemaat yang nampak dalam ungkapan-ungkapan berikut: (1) suara
raungan semakin keras ketika ... alat berat mendekati dan mulai menghancurkan tembok; (2) hasil sumbangan puluhan
jemaat yang sudah 13 tahun beribadah di sana; (3) Kendati sudah mendapat
persetujuan lebih dari 70 warga yang bermukim di sekitar gereja ... namun izin
dari Kabupaten Bekasi tak kunjung turun; dan (4) malah menyegel dan membongkar
bangunan gereja dengan alasan tak mempunyai izin mendirikan bangunan.
Keempat
suasana tersebut pasti menimbulkan rasa trauma yang sangat mendalam. Terminologi
trauma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari
tekanan jiwa atau cedera jasmani; atau luka berat. (KBBI. s.v. “trauma”). Kata Yunani untuk kata trauma adalah τραύμα yang berarti sebuah “luka” atau “ sebuah
luka yang membebankan tubuh akibat dari suatu tindakan kekerasan.” Menjadi traumatis
karena ada sesuatu yang membantingkan atau menjatuhkan dari suatu kekuatan
eksternal yang bermusuhan dengan mengancam untuk menghancurkan seseorang. Pokok
penting gambaran visual ini seperti penyerangan karakter sebuah trauma;
termasuk suatu serangan oleh suatu alat eksternal yang mudah dirasakan tubuh
manusia seperti yang terjadi pada sebuah luka. Pegertian trauma kontemporer dipahami
secara luas aplikasinya untuk pikiran dan emosi yang difokuskan pada
pengaruh-pengaruh kekerasan dalam dunia interior kita, atau psikis kita. (Jones.
2009, 12-13).
Trauma adalah penderitaan yang belum pergi
dari seseorang atau masyarakat tertentu. Belajar tentang trauma adalah belajar
tentang apa yang tersisa dan menghadirkan tantangan bagi pemahaman kita tentang
apa yang melanjutkan sebuah pengalaman, lalu apa artinya untuk kesaksian sebuah
pengalaman. Dalam akibat buruk dari kekerasan, pribadi atau komunitas ditantang
untuk mengenal diri mereka sendiri dalam akibat buruk dari peristiwa-peristiwa
yang menghancurkan kerangka kerja yang lazim tentang suatu makna dan rasa percaya
dalam diri seseorang. (Rambo. 2010, 15). Dalam hal ini, menurut penulis telah
terjadi luka berat (trauma) yang
sangat mendalam terhadap jemaat HKBP Taman Sari terebut ketika terjadi tindakan
kekerasan pembongkaran gereja oleh pemerintah Bekasi.
Mengenal Spiritualitas
Beberapa poin penting tentang
spiritualitas menurut John J. Shea yang berkaitan dengan kedewasaan seseorang
adalah: (1) spiritualitas dapat menjadi suatu gagasan yang mengagumkan tanpa
bentuk untuk menangkap sesuatu yang secara manusiawi sangat penting. Penemuan
struktur dari seorang dewasa dalam integral spiritualitas adalah sama sebagai
struktur dari membantu kedewasaan yang menjelaskan dan memberi bagian untuk
gagasan spiritualitas. Spiritualitas, tidak hanya esensial untuk suatu
pandangan manusia, tetapi kepenuhan spiritualitas adalah benar-benar suatu
deskripsi tentang suatu aktualitas dan refleksi diri orang dewasa. Integral
spiritualitas dan hidup bersama orang dewasa adalah suatu pemeliharaan,
penopangan, dan memajukan satu dengan yang lainnya; (2) spiritualitas memberi
makna untuk hidup dan membolehkan kita untuk partisipasi dalam hal yang lebih
luas dan menyeluruh. Spiritualitas merupakan kebutuhan kita semua sebagai
manusia. Bukan saja sebagai hal yang esensial, tetapi juga kita bisa mengerti
bahwa isi dari integral spiritualitas menjadi hal yang unik bagi setiap
individu yang dewasa. Spiritualitas dan perbedaan dihormati bersama pada dasar
dari suatu integral diri masing-masing; (3) spiritualitas inheren dengan fenomena
manusia yang tidak mengejutkan karena ia merupakan bagian dari pengalaman
aktual, sehingga tidak mengejutkan juga jika integral spiritualitas merupakan
bagian dari pengalaman diri seorang dewasa yang integral dalam diri
masing-masing; (4) jika kedewasaan membuat integral spiritualitas menjadi hal
yang mungkin dan merupakan kebutuhan, maka integral spiritualitas kembali pada
kemurahan hati. Seorang dewasa dan spiritualitas memiliki hubungan yang sangat
intim; dan (5) Dalam kedewasaan, isi spiritualitas hidup dalam diri sebagai
proses tanggung jawabnya sendiri. Sebenarnya, yang menarik bagi kita dalam
spiritualitas adalah bahwa ada sesuatu rasa pertalian yang memberi makna untuk
hidup, sesuatu kehidupan, animasi, dan kebanggaan, sesuatu yang membolehkan
untuk membarui harapan dan kasih, sesuatu yang menyembuhkan hati kita, dan
transformasikan pertalian kita, kemurahan hati yang menegaskan siapa kita dan
mengundang kita untuk berpartisipasi dalam hal yang lebih luas secara
keseluruhan.(Shea 2003, 57-58).
Spiritualitas telah lama diakui sebagai
kunci untuk pemulihan komunitas untuk mencapai dan memelihara suatu hidup yang
tenang. Gereja perdana telah memahami kuasa-kuasa spiritual dan mereka memahami
drama kosmik kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Para
bapa-bapa gereja perdana juga telah dengan jelas memahami tentang apa yang
telah terjadi pada Salib sebagai suatu pertarungan spiritual antara kebaikan
dan kejahatan. Model klasik ini menunjukkan bagaimana Kekristenan mulai bisa
membantu perkembangan spiritual dalam kehidupan secara individual dan dalam
terapeutik komunitas, suatu spiritual yang melindungi dan melawan sakit yang
kambuh lagi.(Fifield 2005, 68-71).
Dalam
spiritualitas Kristen memiliki arti spesifik
tentang hidup yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Lebih meluas lagi, istilah
spiritualitas berhubungan dengan apa yang secara samar dianggap sebagai dimensi
spiritual dari pengalaman atau hidup. (Thompson. 2008, x). Spiritualitas
Kristen telah selalu nampak akarnya dalam Alkitab termasuk dalam kitab
Perjanjian Lama dengan mengingat pada dua spiritualitas yang ditentukan untuk
spiritualitas Kristen yaitu spiritualitas
diri Yesus sendiri dan spiritualitas pengalaman Yesus yang membentuk gereja paling awal. (Thompson. 2008, 5). Tradisi
Kristen lebih cenderung memahami spiritualitas sebagai sesuatu yang diwujudkan
dalam apa yang kita katakan atau lakukan sehingga itu memungkinkan kita
untuk mengetahui sesuatu tentang kehidupan dan pengajaran Yesus. Bagaimana pun
spiritualitas Yesus sendiri telah dibagikan kepada manusia. Oleh karena Yesus
bukan hanya untuk pengikutNya, maka beberapa orang telah dibagikan pengalaman
spiritulitasNya. Para penulis Perjanjian Baru dengan jelas telah menyaksikan
bahwa Yesus sendiri telah berbagi suatu pengalaman spiritual. (Thompson. 2008,
10-12).
Menurut
Wesley Carr, spiritualitas manusia adalah salah satu cara untuk pemuridan. Spiritulitas
Kristen dibentuk oleh beberapa karakter kalsik Kristen tentang salib: ada dua
perasaan yang bertentangan (ambivalence)
dalam diri kita; kemenduaan (ambiguity)
dalam konteks kita; kebutuhan untuk mengambil keputusan dan bertindak (action); pemahaman tentang korban (cost); dan spiritualitas dalam sakramen. Spiritualitas
Kristen adalah perjalanan hidup manusia di dalam iluminasi dan di bawah
pertimbangan jalan salib. (Carr. 1989a, 155-156). Semua aspek ini saling
berkaitan, namun dalam hal pastoral ini, menurut penulis kita fokus pada kebutuhan spiritualitas untuk mengambil
keputusan dan bertindak.
Bertindak adalah hal yang intrinsik untuk spiritualitas Kristen. Tidak ada
orang atau kelompok yang pasif di sekitar salib. Masing-masing memiliki suatu
keputusan untuk bertindak sebagai konsekuensi dari keputusan itu. Demikian
pula, dengan cara Kristen: Bertindak adalah keharusan, dan keputusan tanpa
tindakan adalah kehampaan. Itulah sebabnya misi dan penginjilan dikelilingi
dengan spiritualitas Kristen. Penekanan dan pentingnya tindakan untuk
spiritualitas adalah pada unsur dasar pola salib, menyediakan norma kritis
untuk membuat keputusan dan tindakan Kristen. (Carr. 1989b, 159-160). Dari
pendapat Carr ini kita dapat pahami bahwa spiritualitas
itu selalu dikuti dengan sebuah keputusan sekaligus tindakan yang tak
terpisahkan demi suatu pelayanan pastoral yang baik. Oleh karena itu,
menurut penulis dalam pelayanan pastoral tidak cukup hanya dengan memahami
metode-metode hermenautik saja, tetapi harus didukung oleh spiritualitas ini
dalam diri setiap manusia baik sebagai subjek maupun objek dari pelayanan
pastoral itu.
Berdasarkan
pemahaman tentang beberapa poin penting dari spiritualitas tersebut di atas,
maka dalam tulisan ini jelas lebih pada spiritualitas menurut perspektif iman
kristiani. Dalam hal ini lebih cenderung nampak pada suatu bimbingan spiritual.
Menurut William A. Barry dan William J. Connoly yang dikutip oleh Duance
Bidwell, bahwa bimbingan spiritual adalah:
“Bantuan yang diberikan oleh salah satu
orang Kristen kepada yang lain yang memungkinkan orang tersebut untuk memperhatikan pada komunikasi pribadi
Allah kepadanya, untuk
menanggapi secara pribadi hal komunikasi
Allah ini, untuk tumbuh dalam keintiman dengan Allah ini, dan untuk menjalani konsekuensi hubungan ini. Fokus dari jenis bimbingan
rohani ini adalah pengalaman,
bukan ide-ide, dan
secara khusus pada pengalaman religius.
yaitu, setiap pengalaman
tentang misterius Lainnya yang kita
sebut Allah.”(Bidwell. 2004, 4-5).
Dengan melihat definisi bimbingan
spiritual ini, maka menurut penulis unsur yang penting dan ditekankan adalah
soal komunikasi dan pengalaman orang percaya dengan Allah
dalam hal-hal yang konkret. Artinya, ditekankan pada hal-hal yang nyata dalam pengalaman
hidup seseorang.
Upaya-upaya Pemulihan
Spiritual
Berdasarkan
pengertian bimbingan spiritual tersebut, maka upaya pemulihan spiritual ini
dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu dengan memakai kata-kata yang memulihkan dan tindakan
pendampingan pastoral. Sasaran utama dari pemulihan spiritual ini adalah manusia seutuhnya dengan pintu masuk
pemulihannya adalah hati. Menurut Daniel
E. Fountain, arsitektur hati manusia itu dapat kita kenal seumpama ruang-ruang
dalam rumah kita yakni: (1) ruang depan = mata, telinga, peraba, penciuman,
pengecap, dan pikiran alam sadar; (2) ruang dapur = emosi; (3) ruang keluarga =
perasaan; (4) ruang belajar = kepercayaan dan nilai-nilai yang kita pegang; (5)
ruang perpustakaan = warisan budaya; (6) ruang/kamar tidur = keinginan dan
memori yang dapat diingat; dan (7) ruang penyimpanan barang = memori yang tak
dapat diingat/naluri. (Fountain 1999a, 108).
Dari beberapa poin ini, maka hal emosi, perasaan, dan kepercayaan dan nilai
adalah menjadi poin utama dalam upaya pemulihan spiritual ini dengan memakai kata-kata. Hal emosi menempati tempat yang sangat penting dalam hati karena
disinilah kita tertawa atau menagis, bercanda atau marah, dst., terhadap satu
dengan yang lain. Dalam emosi itu ada reaksi internal terhadap kejadian
eksternal; atau suatu energi psikis yang kuat untuk mempengaruhi tubuh dan
pikiran manusia. Di dalam emosi ini juga hati menangkap arti setiap kejadian
dan menentukan cara memberi reaksi. Kandungan emosi yang tinggi dan dipendamkan
dalam diri seseorang akan memanifestasikan diri dengan cara yang merusak
kesejahteraan jiwa dan kesehatan fisiknya. Emosi cenderung mempengaruhi banyak
organ internal kita. Selanjutnya, tentang perasaan
manusia. Perbedaan emosi dan perasaan ada pada tingkat kekuatannya.
Perasaan merupakan kesan yang kita miliki terhadap diri sendiri, terhadap dunia
sekitar kita, dan terhadap keadaan dimana kita berada. Sikap, sentimen, dan
intuisi kita ada dalam ruang perasaan ini. Semua aspek ini berkaitan dengan
orientasi kita atau bagaimana perasaan kita tentang sesuatu. Intinya, perasaan
itu menentukan ada sesuatu yang menarik bagi kita atau ada sesuatu yang membuat
kita tidak nyaman. Akhirnya, tentang kepercayaan
dan nilai. Poin ini merupakan tempat
kita memikirkan kehidupan dan dunia sekeliling kita untuk menyimpan kepercayaan
tentang segala sesuatu dan nilai yang kita pegang. Banyak dari perilaku kita merupakan
hasil dari mempercayai apa yang baik dan bernilai bagi kita. Semakin bertumbuh
dan banyak belajar secara cermat dari kepercayaan dan nilai-nilai itu, maka
dapat mengubahnya dan mendapatkan yang baru dari pengalaman kita. Kepercayaan
dapat mempengaruhi cara berpikir, cara memandang dunia sekeliling, dan cara kita bertindak.(Fountain 1999b, 110-115).
Hati
yang disakiti oleh trauma, perlu ada pemulihan dengan cara membersihkannya dari
berbagai penyakit “hati” seperti perasaan takut, perasaan bersalah, kepahitan,
kemarahan, dan memori seseorang. Mengenai penyakit hati ini, nabi Yeremia
pernah menulis bahwa “Betapa liciknya
hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang
dapat mengetahuinya?” (Yer.17:9). Atau terjemahan Alkitab dalam BIS yang
lebih sederhana berbunyi: “Hati manusia
tak dapat diduga, paling licik dari segala-galanya dan terlalu parah
penyakitnya.” Lalu pada ayat ke 14, Yeremia berseru-seru kepada Tuhan,
memohon kesembuhan: “Sembuhkanlah aku ya TUHAN, maka aku akan sembuh ... sebab
Engkaulah kepujianku.” Karena itu, penyakit-penyakit hati tersebut perlu dicari
cara pengobatannya. Perasaan takut
yang timbul karena reaksi emosi terhadap sesuatu yang mengancam kita dapat
dipulihkan jika segera ditangani dengan baik. Hal ini jarang menimbulkan efek
buruk pada kesehatan. Perasaan bersalah
yang timbul karena suatu perbuatan salah yang diketahui oleh orang lain dan
pasti juga oleh Tuhan. Untuk mengangkat rasa bersalah ini perlu diucapkan
kata-kata pemulihan yang mengungkapkan adanya kepastian pengampunan dari sesama
dan Tuhan. Hal kepahitan hidup akan
dirasakan ketika seseorang tidak mampu membayar hutang bersalahnya kepada
sesama dan hutang dosanya kepada Tuhan. Karena itu, butuh kebesaran hati untuk
mengakui kesalahan dan dosanya agar dibebaskan dari rasa berhutang itu. Soal kemarahan, adalah suatu gelora energi
emosi yang kuat sekali tetapi normal akibat reaksi terhadap sesuatu yang
melukai kita atau orang lain. Segi moral dari kemarahan tergantung pada cara
menanganinya sehingga kita harus mengambil keputusan untuk mengendalikannya. Akhirnya,
soal memori negatif dapat memberi
perasaan suram dan pikiran yang menyiksa batin. Namun, dapat disembuhkan oleh
kuasa TUHAN asal didoakan dan diimani dengan sungguh-sungguh bahwa pasti
sembuh. (Fountain 1999c, 178-195).
Berikut
ini, penulis menawarkan model-model pemulihan spiritual bagi warga jemaat HKBP
Taman Sari akibat trauma tersebut. Model pemulihan spiritual yang pertama adalah kekuatan bahasa atau kata-kata yang memulihkan dan percakapan pastoral. Kata-kata atau
ungkapan-ungkapan kunci yang diucapkan ke dalam jiwa orang sakit dan dimengerti
oleh jiwa seseorang dapat memecahkan semua persoalan psiko-spiritual seperti
perasan akut, konflik, kecemasan, tekanan perasaan bersalah dan keputusasaan.
Kehidupan manusia sebenarnya berupa jalinan hubungan yang benar. Pemulihan
sejati membuat hubungan yang terluka dan terputus menjadi baik kembali seperti
yang dilakukan Yesus dengan seorang perempuan yang mengalami pendarahan. (Fountain
1999, 56). Bahasa atau kata-kata yang kita bawa dalam setiap pertemuan untuk
pemulihan spiritul ini adalah bahasa yang berisi dua sisi yaitu: pertama, bahasa kekuatan-kekuatan dalam diri
(deep forces) yang telah membentuk
kehidupan kita dan memberinya garis bentuk dan kekhususan eksistensial. Kedua, bahasa interpretasi kita yang
relevan atau pengalaman kita dan atas kekuatan-kekuatan yang ada di bawahnya (underlying forces). Bahasa interpretasi
ini memakai citra, simbol, mitos, dan metafor; juga mempunyai gerakan
tertentu dan suatu kecondongan yang
menandainya sebagai milik kita yang unik dan pribadi. Dengan mendayagunakan
citra ‘dokumen yang hidup’ dari Boisen, maka kita setuju bahwa Boisen secara
mendasar benar di dalam menempatkan hal yang terpenting dari penderitaan rohani
manusia pada titik hubungan antara pengalaman dan pemahaman, antara terjadinya
peristiwa-peristiwa dan bahasa makna bagi peristiwa-peristiwa itu. (Hommes.
1992, 400-401). Model percakapan pastoral
sangat tergantung pada suatu inisiatif.
Inisiatif percakapan pastoral ada pada anggota jemaat. Beberapa bentuk percakapan
pastoral adalah sbb: (1) memperkenalkan diri; (2) tematis; (3) bentuk diskusi;
dan (4) percakapan yang membantu. Percakapan pastoral mempunyai segi-segi
psikologis dan teologis. Percakapan terjadi atas dasar kewibawaan Yesus Kristus. Saat percakapan anggota jemaat sebagai
partner harus diterima tanpa syarat sebagaimana ia ada dan memahami keadaannya;
tetapi bukan juga menyetujui sifat atau perbuatannya yang jahat. Syarat lainnya
adalah pengertian supaya tidak bersifat dingin, tetapi harus terbuka dan
ditopang oleh rasa cinta kasih. Minat untuk melakukan percakapan pastoral
adalah sebuah “rapport” (hubungan). Rapport adalah dasar pengertian atau
itikad baik untuk sampai kepada saling mengerti yang perlu untuk setiap
percakapan dengan menaruh perhatian. Pelayan harus bisa mengidentifikasikan dirinya dengan anggota jemaat sebagai partner
percakapannya melalui sikap empatis. Juga mau mendengarkan dengan seksama,
baik yang diucapkan dengan kata-kata maupun perasaan atau emosinya agar lebih sabar.(Abineno.
1999, 89-93).
Model
pemulihan spiritual yang kedua adalah
lewat tindakan pendampingan pastoral.
Kemampuan
seorang pendeta dalam pemulihan spiritual harus dibuktikan lewat aksi pendampingan pastoral. Menurut G.
Heitink, pendampingan pastoral adalah suatu profesi
pertolongan di mana seorang pendeta mengikatkan
diri dalam hubungan pertolongan dengan orang lain, agar dengan terang Injil
dan persekutuan dengan gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar
bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman. Dalam definisi ini kita
melihat ada unsur pendampingan pastoral yang mempunyai identitasnya sendiri dan
profesi pertolongan dalam hubungan antar pribadi dalam pendekatan
konseling.(Hommes. 1992, 405).
Pendampingan
pastoral dapat dijelaskan sebagai: (1) pewartaan firman Allah dalam situasi
konkret manusia secara pribadi. Atau pewartaan/percakapan Injil dalam situasi
konkret kehidupan seseorang. dan (2) isi pewartaan itu adalah Injil tentang
pengampunan dosa. Pendampingan pastoral adalah profesi pertolongan yang berada
di bawah terang Injil. Pendampingan pastoral bersifat tanpa cacat apabila
mengambil bentuk dan dilaksanakan dalam pewartaan atau pengajaran melalui
metode “korelasi,” di mana adanya korelasi antara pertanyaan manusia dengan
tanggapan Allah. Melalui Yesus, Allah menerima manusia sebagaimana adanya.
Model pendampingan pastoral nampak dalam suatu integrasi yang memberi pemahaman
bahwa penyataan Allah dan kenyataan hidup manusia saling mempengaruhi dan
saling membutuhkan.(Hommes. 1992, 407).
Dalam
pelayanan Yesus, pendampingan pastoral biasa dikenal sebagai penggembalaan dalam bentuk khotbah dan
tindakan konkret supaya orang bisa memasuki kondisi dan situasi Kerajaan Allah.
Orang-orang pada akhirnya menemukan Allah. Dalam percakapan Injil ini,
seseorang bisa merasakan sendiri rahmat, keadilan, dan menemukan bahwa ia
membutuhkan keselamatan. Kita bisa mengikuti jejak Yesus ini sehingga bisa
terlibat dalam relasi dengan orang lain yang berhubungan dengan konseling dan
komunikasi yang penting. Dengan cara inilah orang merasakan diterima karena ada
relasi timbal balik sehingga bisa saling terbuka dan persekutuan yang mendalam
dan erat terjadi. Perjumpaan ini memiliki dimensi eksistensial perjumpaan
antara manusia dengan Allah sebagai perjumpaan perjanjian dalam karya Roh Kudus
sehingga manusia menghayati panggilan Allah.(Hommes. 1992, 413-415).
Pada satu pihak, model teologi kontekstual yang bisa kita pakai untuk pendampingan
pastoral terhadap trauma adalah model
praksis. Istilah praksis sering
digunakan sebagai suatu kecenderungan alternatif untuk kata praktek atau tindakan. Istilah ini berasal dari istilah teknik yang berakar
dalam Marxisme dan dalam pendidikan filsafat. Ini adalah istilah yang merupakan
suatu metode atau model dari pikiran umum dan dari teologi tertentu. (Bevans.
1992a, 71). Penyataan model ini nampak dalam situasi yang diharapkan sebagai Allah yang bekerja dalam dunia dan memanggil
manusia laki-laki dan perempuan sebagai mitra pelayanan. Kesaksian Alkitab
dan atau kondisi tradisi yang dihadapi model ini adalah kondisi secara budaya
seperti ekspresi-ekspresi semua manusia. Sedangkan konteksnya pada dasarnya
baik dan dapat dipercaya, namun bisa juga menyimpang; harus ada pendekatan
dengan beberapa kecurigaan; dan dapat disetarakan untuk Alkitab dan tradisi.
Metode model teologi praksis ini adalah praktek-refleksi-praktek
dalam lingkaran spiral yang tak pernah berakhir. (Bevans. 1992b, 142).
Selain
dalam spiritualitas Yesus, juga nampak dalam teologi pastoral Yesus yang dapat dikerjakan dalam teologi lokal
kita untuk pemulihan spiritual. Yesus telah melakukan teologi dengan pikiran
sehat. Dia mengundang orang untuk menggunakan pertimbangan dan kepercayaan
mereka sendiri dalam kapabilitas untuk alasan kemanusiaan. Ini dapat
diilustrasikan oleh perumpamaan tetang orang Samaria yang baik, hukum Sabat,
prioritas kebutuhan manusia, dll. Yesus melakukan teologi ini sebagai seorang
yang pragmatis. Sikap pikiran sehat Yesus adalah suatu sikap pastoral yang
meresap dalam arti pelayanan dan interaksiNya. Hal ini nampak dalam perumpamaan
tentang orang Samaria yang baik (Luk.10:30-37). Inti-inti perumpamaan ini
sebagai cara melakukan teologi lokal sbb: (1) Orang Samaria yang baik itu tidak
menyangka terjadi situasi yang dihadapinya. Namun, pelayanannya ada dalam suatu
konteks; (2) rasa belas kasihannya adalah dasar motivasi pelayanannya; (3) dia
merawat korban menurut pengertiannya; setelah itu ia mengakui keterbatasannya,
dia mendelegasikan tugas kepada seorang yang berprofesional lokal sebagai
pengurus rumah penginapan; (4) Orang Samaria yang baik ini melanjutkan
perjalanannya yang direncanakan; dia tidak memberikan segala sesuatu karena
situasi yang mendesak; dan (5) ia menerima tanggung jawab dan berjanji untuk
kembali kepada pengurus penginapan untuk membayar apapun yang menjadi haknya.
Ini adalah suatu model yang mengesankan tentang melakukan pelayanan lokal dan
memberikan contoh pelayanan berdasarkan pikiran sehat dan belas kasihan. Ini
sangat penting bagi kita untuk memahami teologi dengan melihat alasan
kehormatan, pertimbangan, dan pikiran sehat Yesus itu. Ini adalah hal yang
vital bagi upaya-upaya teologi kita untuk mengakui kepercayaan pada Yesus yang diletakkan
dalam kemampuan manusia. (Sedmak, 2002, 28-29). Berdasarkan model ini, maka menurut penulis ada dua
hal yang sangat penting untuk dipakai sebagai cara untuk pemulihan spiritual
ini yaitu kekuatan spiritualitas Yesus
dan teologi pastoral Yesus sendiri.
Dua hal ini menjadi dasar motivasi untuk melakukan pendampingan untuk pemulihan
spiritual korban trauma.
Di pihak lain, penulis juga sangat
tertarik dengan pandangan Anton Theophilus Boisen mengenai konsep ‘dokumen
manusia yang hidup’ (living human
document) saat melakukan pendampingan pastoral. Perhatian Boisen yang lebih
mendasar adalah mengobyektifkan bahasa teologis yang tidak kehilangan pertalian
dengan data konkret pengalaman manusia melalui studi yang sistematis dan teliti
atas kehidupan orang-orang yang sedang bergumul dengan pokok-pokok kehidupan
rohani di dalam kekonkretan hubungan sosial mereka. Perhatian risetnya disertai
oleh perhatian yang mendalam terhadap kesejahteraan orang-orang yang
bermasalah. Bagi Boisen penyembuhan batin harus secara fundamental dilaksanakan
dengan bahan mentah pengalaman religius. Dalam citra (image) Boisen seorang manusia dapat dipandang sebagai suatu dokumen yang dapat dibaca dan
diinterpretasikan dalam cara-cara yang sama dengan interpretasi terhadap
teks-teks historis (Alkitab) yang darinya dasar tradisi iman Yahudi-Kristen
kita gali. Citra ini menegur kita untuk mulai mengembangkan teori pelayanan
pastoral dengan pengalaman manusia konkret. Maksudnya adalah pengalaman
mendalam dari orang-orang di dalam pergumulan kehidupan mental dan rohani
mereka. Setiap dokumen yang hidup
dari tiap orang mempunyai integritasnya masing-masing dan menuntut pemahaman
dan interpretasi khas. Seperti teks Alkitab tidak boleh dibelokkan ke dalam
makna yang diinginkan pengkhotbah, demikian juga teks manusia menuntut pemahaman bagi kepentingannya sendiri. Orang
yang sedang bermasalah adalah pribadi yang dunia dalamnya (inner world) tidak terorganisir sehingga kehilangan dasar-dasarnya.
(Hommes. 1992, 379-381).
Gagasan utama Boisen adalah untuk
memahami sifat dasar penderitaan dari orang yang sakit mental dengan mengaitkan peristiwa-peristiwa kehidupan orang yang
bermasalah dengan pemahamannya terhadap segala sesuatu yang sudah dan sedang
terjadi. Di sini Boisen menunjuk pada masalah eksistensial dan dilema dari
kehidupan manusia sebagai pembuat makna yang senantiasa dihadapkan pada dua
sisi. Pertama, terdapat aliran
realitas yang keras di dalam peristiwa-peristiwa. Kedua, ditengah-tengah peristiwa situasi individual itu, setiap
orang yang sungguh-sungguh ingin hidup dengan integritas harus dapat memelihara
perasaan kemandiriannya dan menjadi seseorang
yang mempunyai kuasa untuk bertindak dan memilih.(Hommes. 1992, 394-395).
Kini,
kita tiba pada aksi-aksi nyata untuk pemulihan spiritual lewat kata-kata yang
memulihkan, percakapan pastoral, dan pendampingan pastoral tersebut diatas yakni
kunjungan rumah tangga warga jemaat
dan doa penyembuhan. Kunjungan rumah
tangga mengandung segi gerejawi dan manusiawi. Maksudnya adalah untuk
memelihara hubungan dan mau berusaha untuk membantu jemaat dalam persoalan dan
pergumulan mereka. Pada sisi kemanusiaannya, majelis bertemu dengan jemaat
sebagai manusia biasa yang hidup di dalam dunia di mana mereka hidup dan
bekerja dalam segala suka dan duka mereka. Sedangkan pada sisi agamawinya,
mereka bisa mencurahkan isi hati mereka kepada pendeta. Dalam kunjungan rumah
tangga, jemaat tahu bahwa pendeta adalah orang yang tepat untuk mereka minta
bantuan dan mereka sangat senang atas kunjungan itu.(Abineno. 1999, 93-95).
Satu kunci untuk perkunjungan rumah
tangga ini adalah sebagai fungsi kedisiplinan pelayanan gereja. Tujuan dan
model dalam perkunjungan sangat dekat dengan gambaran sebagai gembala. Semua
aksi perkunjungan harus dipahami sebagai reinterpretasi disiplin gereja dan
model dari hubungan pastoral sebagai suatu jenis gambaran persahabatan.
Bagaimana pun, kunjungan pastoral modern harus memperhitungkan kebutuhan untuk
pelayanan bersama dan disiplin positif yang berorientasi ke arah pertumbuhan
dan kekudusan. Menurut William Oglesby dalam bukunya Biblical Themes for Pastoral Care mengatakan bahwa hal yang krusial
dalam perkunjungan adalah bahwa setiap kunjungan akan mengandung elemen
inisiatif dan kebebasan. Model ini tergambar dalam Alkitab ketika Allah
berinisiatif, manusia dapat meresponnya (Wahyu 3:20).(Pattison. 1988, 73-77).
Intinya, seperti Yesus, para pendeta
harus berinisiatif dalam pendekatan terhadap jemaat dalam pelayanan pastoral.
Inisiatif adalah suatu yang pasti dalam pelayanan pastoral karena mengatasi
isolasi dan kesendirian dan membawa rekonsiliasi dan kebersamaan. Selalu ada
kebutuhan untuk para pendeta membuat suatu gerakan awal dan persiapan untuk
bergerak ke arah orang lain. Ketika melakukan perkunjungan sebagai suatu
inisiatif diri sendiri, pendeta harus mengikuti percakapan untuk memahami
keinginan keluarga yang dikunjungi. Ini menegaskan kebebasan mereka, sehingga
pendeta harus sensitif terhadap saat yang baik untuk lakukan suatu
perkunjungan. Ini adalah kebenaran mendasar ketika pendeta mengambil inisiatif
dalam panggilan pelayanannya melalui perkunjungan rumah tangga ini. (Pattison. 1988,
78-79).
Kemungkinan
aksi nyata lain yang bisa terjadi dalam upaya pemulihan spiritual terhadap
manusia yang mengalami trauma seperti warga jemaat HKBP Taman Sari tersebut
adalah melalui doa penyembuhan. Dalam
hal ini penulis tertarik dengan pandangan seorang misiolog dan ahli pertumbuhan
gereja, C. Peter Wagner. Menurut Wagner, model-model penyembuhan yang kita
lihat di berbagai denominasi gereja masih menjadi kontroversi bagi
gereja-gereja tertentu. Model penyembuhan yang baik adalah sesuai dengan
kebiasaan masing-masing gereja lokal atau tidak perlu memakai atau mengimpor
gaya penyembuhan dari gereja lain yang tidak tahu tentang tradisi gereja lokal.
Untuk memahami model penyembuhan ini, harus belajar dari model pelayanan dalam
Alkitab. Alkitab menyediakan norma-norma yang harus kita percayai dan juga
harus bertindak dengan mempraktekkan pelayanan Yesus saat menyembuhkan orang
sakit. Model penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus biasanya dengan memerintahkan suatu penyakit untuk
keluar atau meninggalkan tubuh seorang yang sakit. Lalu kemudian gereja
mula-mula mengikuti model penyembuhan ini dengan cara yang berbeda yakni dengan
berdoa dalam nama Yesus. Lebih lanjut
Wagner mengatakan bahwa pelayanan penyembuhan sudah terbentuk dalam berbagai
tradisi gereja Ortodoks Yunani, Roma Katolik, Episkopal-Anglikan, Lutheran,
Calvinis, Pentakosta, dan berbagai kelompok Karismatik. Semuanya tidak memiliki
unsur kesamaan struktur dan prosedur karena setiap tradisi memiliki model
pelayanan yang mencerminkan sejarah dan ideal teologis yang mereka pegang. Hal
ini penting untuk dipelajari dan menguatkan hati karena ternyata sangat luar
biasa Allah bekerja melalui ciri khas dan kepercayaan masing-masing untuk
memfasilitasi proses penyembuhan. Kita tidak perlu harus beradaptasi dengan
teknik kelompok lain, apa lagi menghakimi mereka. (Blue 2010a, 125-130).
Ada beberapa unsur penting yang
dipegang oleh orang-orang Kristen yang terlibat dalam proses penyembuhan ini
yakni: (1) Allah berkehendak menyembuhkan orang sakit karena Ia lebih menyukai
keutuhan daripada penyakit pada umatNya; (2) yang ada dalam komunitas
penyembuhan adalah belas kasih kepada yang menderita; (3) ada sikap keberanian
untuk investasi pribadi dan pengambilan resiko dalam iman yang dibuat oleh para
pendoa, seperti yang dikatakan Jim Glennon: “Saya merasa berada di tepi
kemalangan dan di sisi mukjizat.”; (4) penyembuhan Kristen adalah suatu misteri
yang tidak dapat dikendalikan dengan menerapkan suatu formula sebab-akibat
tertentu. Baik Alkitab, maupun gereja manapun tidak pernah menetapkan unsur
struktural atau prosedural tertentu sebagai hal yang hakiki untuk model
penyembuhan ini. (Blue 2010, 131-132). Demikian juga halnya dengan gereja HKBP
Taman Sari, pasti bisa melakukan pemulihan spiritual bagi warga jemaatnya pasca
kekerasan intoleransi tersebut sesuai dengan tradisi pelayanan doa penyembuhan
di HKBP.
Penutup/Refleksi
Eksistensi manusia menurut Alkitab dan iman
kristiani adalah merupakan entitas tunggal yang terdiri dari dimensi akal budi
(hati/jiwa). roh, dan tubuh. Ketika manusia mengalami kesakitan atau
penderitaan pasti ketiga dimensi ini merasakannya. Oleh karena itu, upaya pemulihannya
sangat membutuhkan pelayanan pastoral melalui salah satu fungsi utamanya yakni
menyembuhkan (healing). Arti
menyembuhkan dalam perspektif pastoral adalah lebih pada memperhatikan dimensi spiritual kehidupan manusia yang
berkaitan dengan kesehatan utuh manusia
umumnya dan kesehatan mental manusia khususnya. Tidak memisahkan dimensi fisik,
emosional, dan spiritual seseorang sehingga bisa mencegah putus asa dan bunuh
diri.
Dalam hal ini penulis mengangkat
contoh kekerasan intoleransi beragama di Indonesia yang dialami oleh gereja
HKBP Taman Sari sebagai objek pemulihan spiritualnya yang berkaitan dengan
fungsi pastoral dan dimensi spiritual tersebut. Metode pemulihan spiritual yang
ditawarkan penulis di sini adalah melalui kekuatan bahasa atau kata-kata yang memulihkan dan percakapan pastoral, dan aksi-aksi nyata pendampingan pastoral melalui kunjungan rumah tangga dan doa
penyembuhan. Semua tindakan ini tetap berpatokan pada spiritualitas yang rela
berbagi atau menolong orang lain, sebagai suatu disiplin pemuridan, sikap yang
berani mengambil keputusan dan bertindak untuk menolong melalui sebuah
bimbingan spiritual; dan tindakan teologi pastoral Yesus yang menggunakan
pikiran yang sehat serta kemampuan untuk melakukan salah satu tidakan nyata
pendampingan pastoral seperti yang dicitrakan oleh Anton Theophilus Boisen,
dengan nama membaca “dokumen manusia yang hidup”(living human document).
_______________________
Daftar Acuan
Buku
Abineno, J.L.Ch.
1999. Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral
Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Bevans,
Stephen B. 1992. Models of Contextual
Theology. New York: Orbis Books.
Bidwell,
Duane R. 2004. Short-Term Spiritual
Guidance. Minneapolis: Fortress Press.
Blue, Ken. 2010. Authority to Heal (Otoritas untuk Menyembuhkan).
Terj. Paul Hidayat.
Jakarta: Pancar Pijar
Alkitab.
Carr, Wesley. 1989. The Pastor As Theologian: The Integration of
Pastoral Ministry
Theology and Discipleship. London: SPCK.
Fountain, Daniel E.
1999. God, Medicine & Miracles (Allah,
Kesembuhan Medis & Mukjizat). Terj. Doreen Widjana. Bandung: Lembaga
Literatur Baptis.
Hasani, Ismail. 2009.
peny. Siding and Acting Intolerantly. Jakarta:
Publikasi Setara Institute.
Hommes, Tjaard G. dan
E.G. Singgih. 1992. peny. Teologi dan
Praksis Pastoral: Antologi Teologi Pastoral. Jakarta dan Yogyakarta: BPK
Gunung Mulia dan Kanisius.
Jones, Serene. 2009. Trauma+Grace: Theology In a Rupturd World. Louisville-Kentucky:
Westminster John Knox Press.
Neusner, Jakob. dan Bruce Chilton. 2008. peny. Religious Tolerance in World Religions. Pennsylvania:
Templeton Foundation Press.
Pattison, Stephen. 1988. A
Critique of Pastoral Care. London: SCM Press.
Sadmak, Clemens. 2002. Doing Local Theology: A Guide for Artisan of a New Humanity. New
York: Orbis Books.
Thompson, Ross. dan Gareth Williams. 2008. Christian Spirituality. London: SCM
Press.
Artikel dari Jurnal
Fifield, Mary Anne. 2005. Spirituality in the
Therapeutic Community: A Christian Perspective. American Journal of Pastral Counseling . Vol.8 (Januari): 67-72.
Shea, John J. 2003. Adulthood-A Missing Perspective:
Psychotherapy, Spirituality, and Religion. American
Journal of Pastral Counseling . Vol.7 (Januari): 39-60.
Kamus
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1194. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka s.v. Trauma.
Website dari Internet
Pembongkaran Gereja. http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-03-22/pembongkaran-gereja-hkbp-taman-sari-bekasi/1105560.
Diperbaharui 22
March 2013, 11:02 AEST (diakses tanggal 7 Mei 2013)
gumul & juang